Ramadhan

Kultum Ramadhan: Mari Perbaiki Diri di Bulan Suci

Selasa, 4 Maret 2025 | 04:00 WIB

Kultum Ramadhan: Mari Perbaiki Diri di Bulan Suci

Ilustrasi menjadi lebih baik. Sumber: Canva/NU Online.

Ramadhan adalah bulan yang paling istimewa di antara bulan lainnya. Keistimewaan ini terlihat dari rahmat dan ampunan yang Allah SWT curahkan kepada hamba-Nya selama bulan ini.

 

Bagi umat Islam, Ramadhan menjadi momen untuk memperbaiki kualitas diri. Bagi yang sudah saleh, Ramadhan adalah kesempatan untuk melipatgandakan pahala kebaikan. Sementara bagi mereka yang belum saleh, Ramadhan menjadi titik balik untuk menuju kesalehan.


Peluang untuk menjadi pribadi yang saleh di bulan Ramadhan sangat terbuka lebar. Pada bulan ini, pintu-pintu surga terbuka, pintu-pintu neraka tertutup, dan setan yang selama ini menjadi penggoda kemaksiatan dibelenggu, sehingga tidak bisa menggoda manusia untuk melakukan dosa.


Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA:


إذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ


Artinya: "Ketika Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu." (Muttafaq 'alaih)


Menurut Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, terbukanya pintu-pintu surga dan tertutupnya pintu-pintu neraka merupakan tanda masuknya bulan Ramadhan sekaligus bentuk penghormatan atas kemuliaannya. Adapun terbelenggunya setan dimaknai sebagai terhalangnya mereka dari menyakiti umat Islam dan mengacaukan amal ibadah di bulan suci. (Abu Zakariya Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim Bin Hajjaj, [Oman: Baitul Afkar Ad-Dauliyah, 2000], hlm. 680).


Berbeda dengan An-Nawawi yang menafsirkan hadits secara gamblang, Izzuddin bin Abdus Salam menafsirkannya secara majazi (kiasan). Menurutnya, terbukanya pintu-pintu surga adalah ungkapan banyaknya amal ketaatan yang dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan, sedangkan tertutupnya pintu-pintu neraka menunjukkan sedikitnya kemaksiatan. Adapun terbelenggunya setan bermakna terputusnya godaan mereka kepada orang-orang yang berpuasa karena tidak mudah terjerumus dalam rayuan maksiat. (Izzuddin bin Abdus Salam, Maqashidus Shaum, [Beirut: Daar al-Fikr al-Mu'ashir, 1995], hlm. 12).


Hadits ini menjadi motivasi bagi setiap Muslim untuk memperbaiki diri. Bagi mereka yang terbiasa taat, Ramadhan adalah momen melipatgandakan amal saleh. Sedangkan bagi yang masih bergelut dalam kemaksiatan, Ramadhan menjadi peluang emas untuk hijrah dan membersihkan diri dari dosa. Berbenah diri dari segala keburukan adalah esensi hijrah di masa kini.


Konsep hijrah seperti ini, pernah disabdakan nabi Muhammad SAW dalam riwayat Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Umar RA. Nabi Muhammad SAW bersabda :


الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه


Artinya, "Muslim yang sempurna adalah orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari segala yang dilarang Allah SWT". (HR Bukhari)


Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan bahwa kesempurnaan seorang Muslim dapat diukur dari komitmennya dalam menunaikan hak-hak Allah SWT, sebagaimana dalam rukun Islam, sekaligus hak-hak sesama muslim. Salah satu hak sesama muslim adalah terjaminnya kenyamanan hidup tanpa gangguan, baik berupa ucapan maupun perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa muslim yang sempurna adalah mereka yang memiliki hubungan baik dengan Tuhannya, yang pada akhirnya berimbas pada baiknya pergaulan dengan sesamanya. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Beirut: Daar al-Risalah al-Alamiyah, 2013], Juz III, hal. 116).


Dalam keseharian, terutama di era digital seperti saat ini, seseorang sangat mudah menyakiti orang lain melalui ucapan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Hal ini kerap terjadi karena ketiadaan orang yang disinggung di hadapannya. Padahal, menjaga lisan merupakan salah satu cara melindungi pahala puasa agar tidak sia-sia.


Kebiasaan buruk ini pernah disinggung oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin. Ia menyindir dengan bahasa yang indah:


وَهُوَ الَّذِيْ يُمْسِكُ عَنِ الطَّعَامِ الْحَلَالِ وَيُفْطِرُ عَلَى لُحُوْمِ النَّاسِ بِالْغِيْبَةِ وَهِيَ حَرَامٌ


Artinya: "Dia adalah orang yang mampu menahan diri dari makanan halal, tetapi memilih berbuka dengan memakan daging manusia melalui ghibah. Padahal, ghibah itu haram." (Ihya' Ulumiddin, [Jeddah: Daar al-Minhaj Lin Nasyr Wat Tauzi', 2011], Juz II, hal. 114).


Di era teknologi informasi, seseorang bahkan tidak perlu keluar rumah untuk bermaksiat. Cukup dengan handphone, ia bisa berjudi online atau menyebarkan ujaran kebencian. Maka, meninggalkan kemaksiatan seperti ini di bulan Ramadhan adalah bentuk perbaikan diri yang sejalan dengan hakikat hijrah menurut Ibnu Hajar Al-'Asqalani: menolak ajakan nafsu dan setan untuk melakukan hal yang dilarang Allah SWT (Fathul Bari, Juz III, hal. 117).


Ramadhan adalah peluang besar bagi setiap Muslim untuk meningkatkan kualitas diri. Baik dalam memperbanyak ibadah maupun meninggalkan segala keburukan. Harapannya, setelah Ramadhan berlalu, seseorang menjadi pribadi yang lebih berkualitas dibandingkan sebelumnya. Wallahu A'lam.


Ustadz Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember