Ramadhan

Kultum Ramadhan: Meraih Hikmah Sosial dalam Puasa

Kam, 21 Maret 2024 | 16:00 WIB

Kultum Ramadhan: Meraih Hikmah Sosial dalam Puasa

Ilustrasi kultum Ramadhan tentang meraih hikmah sosial dalam puasa. (Freepik).

Ibadah puasa meningkatkan derajat seorang hamba di sisi Allah swt. Puasa menjadi ibadah yang sangat istimewa karena mendapatkan balasan langsung dari Allah swt. Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw menyebutkan:
 

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّمَا يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِي
 

Artinya, “Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa hanya untuk-Ku (Allah), dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
 

Dalam menjelaskan hadits di tersebut, Syekh Izzuddin Ibnu Abdissalam mengatakan bahwa puasa menjadi sangat istimewa di sisi Allah swt karena puasa merupakan ibadah privat yang sedikit bercampur rasa riya’ (ingin dipuji). Selain itu, ritual puasa yang esensinya menahan makan dan minum tidak pernah dilakukan oleh penyembah selain Allah swt. (Izzuddin Ibnu Abdissalam, Maqasidus Shaum, halaman 13).
 

Hikmah Sosial Puasa

Selain meningkatkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya, ibadah puasa juga mengandung hikmah sosial, meningkatkan hubungan antara sesama hamba. Ibadah puasa mengajarkan umat Islam akan kesederhanaan dan rasa peduli terhadap sesama. Ketika orang berpuasa merasa lapar dan haus, maka disitulah akan tersadar dan ikut merasakan apa yang dirasakan kaum fakir miskin ketika mereka berjuang menahan lapar dan makan.

Hal itu sebagaimana diungkapkan Syekh Ali Al-Jurjawi dalam Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu:
 

أن الإنسان إذا صام وذاق مرارة الجوع، حصل عنده عطف على الفقراء والمساكين الذين لا يجدون من القوت ما يسدون به الرمق
 

Artinya, “Bahwa manusia apabila berpuasa dan merasakan perihnya lapar, dia akan mengetahui bagaimana kondisi orang fakir miskin yang tidak menemukan makanan pokok sebagai pengganjal tenggorokan saja.” ( Ali bin Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, halamn 96).
 

Dari kesadaran hubungan sosial diharapkan tumbuh rasa kepedulian pada diri umat Islam. Sikap sosial bisa dilakukan dalam bentuk berinfak, bersedekah dan semacamnya.
 

Saat bulan puasa tiba, kita bisa melihat masjid-masjid membagikan buka puasa gratis. Kita juga menyaksikan sekelompok orang dengan penuh keikhlasan membagikan takjil di pinggir jalan. Itu semua merupakan hikmah sosial yang didapat dari ibadah puasa.
 

Dalam sebuah hadits, Nabi saw menyebutkan keutamaan bagi orang yang memberi makanan berbuka kepada orang puasa: 
 

مَنْ اَفْطَرَ صَائِمًا فَلَهُ اَجْرُ صَائِمٍ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ 
 

Artinya, “Siapa yang memberi makanan orang yang sedang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang puasa tersebut”. (HR At-Tirmidzi). 
 

Nilai sosial lainnya bisa dilihat bahwa orang berpuasa juga harus selalu menjaga sikap terhadap orang lain, seperti menjaga diri menggunjing orang lain, mengadu domba, dan berbohong. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa perbuatan tersebut dapat melebur pahala ibadah puasa:
 

خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ  
 

Artinya, “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu.” (HR Ad-Dailami).
 

Ibadah puasa tidak sekedar bertujuan meningkatkan derajat kita di sisi Allah swt. Akan tetapi, di dalamnya juga mengandung nilai-nilai sosial yang penting untuk kita ketahui dan renungkan. Kemudian bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan itu, kita bisa menjadi seorang hamba yang tidak hanya meraih keistimewaan di sisi Allah, namun juga memiliki tingkat sosial yang tinggi di hadapan sesama. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan