Kultum Ramadhan: Persaudaraan Tanpa Batas di Bawah Naungan Ukhwah Basyariyah
Kamis, 13 Maret 2025 | 15:00 WIB
M Syarofuddin Firdaus
Kolomnis
Madinah merupakan daerah yang terdiri dari masyarakat heterogen, mirip dengan Indonesia. Seperti agama di sana ada Yahudi, Nasrani, dan agama lokal. Begitu juga sukunya cukup beragam, sebutlah misalnya suku Khazraj, ‘Auz, dan lain sebagainya.
Mengetahui realitas semacam itu, sikap Nabi Muhammad ketika awal-awal hijrah bukan mendakwahkan Islam secara lantang. Namun, Nabi mengumpulkan seluruh pembesar Madinah untuk berkumpul dan membuat keputusan bersama terkait kehidupan bermasyarakat. Keputusan tersebut pada era berikutnya dikenal dengan Piagam Madinah.
Inti dari kesepakatan tersebut adalah hidup berdampingan tanpa mengganggu dan memusuhi satu sama lain. Bila ada yang melanggarnya, maka sanksinya dipasrahkan kepada masing-masing agama dan suku. Selain itu, juga memberikan kebebasan kepada masing-masing kelompok untuk menjalankan tradisi dan ajaran agamanya, termasuk agama Islam itu sendiri.
Dari sekian kesepakatan pada Piagam tersebut, terdapat salah satu klausul yang berbunyi:
إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ
Artinya, "Sesungguhnya mereka (masyarakat Madinah) merupakan satu umat/komunitas dari umat manusia yang lain."
Pernyataan ini menjadi tanda bagaimana visionernya Nabi Muhammad untuk membentuk masyarakat Madinah sebagai komunitas yang independen dengan hidup damai dan rukun.
Dengan membangun kesadaran sebagai satu komunitas, Nabi mencanangkan kehidupan masyarakat Madinah lebih beradab dibandingkan komunitas masyarakat lain. Hal ini berdasarkan pengalaman kultur dan budaya masyarakat Arab pada waktu itu, khususnya Mekkah yang menganut paham tribalisme, yaitu menilai sukunya lebih baik dan kuat dari yang lain sehingga berhak bersikap sewenang-wenang.
Dari Piagam Madinah tersebut juga dapat diambil pelajaran bahwa Nabi tidak membenci orang atau kelompok yang berbeda agama. Bagi Nabi, kepercayaan merupakan hak masing-masing individu sehingga tidak layak dijadikan alasan untuk bersikap antipati, tidak suka, dan sikap-sikap negatif lainnya yang mengarah kepada ketidaksenangan.
Tentu saja hal itu selama tidak mengganggu atau mengusik. Dengan kata lain, sikap yang dibenci Nabi adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar sosial tersebut, bukan pilihan keberagamaannya. Termasuk ketika Nabi berperang dengan non-Muslim, sebagaimana menurut Prof. Ali Mustafa Yaqub, penyebabnya bukan karena perbedaan agama tetapi ada faktor lain seperti sosial dan ekonomi.
Hal ini juga sejalan dengan ayat Al-Qur'an yang berbunyi:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8)
Artinya, "Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan bersikap adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian di dalam agama dan tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil."
Syekh Ibnu ‘Asyur mengomentari ayat ini di dalam kitab tafsirnya, At-Tahrir wa At-Tanwir juz 28 hal. 153, dengan mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan kebolehan berbuat baik dan menyambut dengan ramah terhadap orang-orang non-Muslim yang berkenan hidup berdampingan dengan umat Islam.
Ini sangat relevan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk, yang sama-sama bersepakat untuk hidup di bawah naungan NKRI. Inilah yang disebut dengan ukhuwah basyariyah: persaudaraan sesama manusia sehingga tidak ada alasan untuk tidak berbuat baik, guyub, rukun, dan akur satu sama lain. Dengan begini akan tercipta kehidupan yang tenteram dan makmur. Kehidupan semacam ini sangat berharga dan layak dipertahankan.
Nabi Muhammad telah mencontohkan itu dengan adanya Piagam Madinah dan konsisten sampai wafat. Maka, umat Islam selaku pengikut Nabi sudah seyogyanya meniru sosok yang menjadi panutannya tersebut. Dalam hal ini membuktikan bahwa Nabi memang tidak hanya menjadi role model dalam beragama, melainkan juga dalam bersosial, termasuk kepada non-Muslim.
Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat
Terpopuler
1
Presiden Prabowo Tanda Tangani PP Nomor 11 2025 tentang Pencairan THR dan Gaji Ke-13 ASN
2
Masih Dibuka, 10 Program Mudik Gratis Lebaran Idul Fitri 2025
3
Khutbah Jumat: Ini Amal dengan Pahala Terbaik bagi Orang Puasa Ramadhan
4
Penangkapan KH Zainal Musthafa, Ansor Ciamis, dan Hak Interpelasi Oto Iskandar di Nata
5
Lamine Yamal, Sepak Bola, dan Puasa Ramadhan
6
Kultum Ramadhan: Pentingnya Mengendalikan Amarah
Terkini
Lihat Semua