Ramadhan

Kultum Ramadhan: Sederhana dan Bahagia Menyambut Hari Raya

Ahad, 7 April 2024 | 03:00 WIB

Kultum Ramadhan: Sederhana dan Bahagia Menyambut Hari Raya

Kebahagiaan dan kesederhanaan dalam menyambut lebaran. (Foto: Freepik)

Selama bulan suci Ramadhan, kita telah berupaya menjalankan ibadah, meningkatkan keimanan, dan menahan diri dari hawa nafsu serta perbuatan dosa. Seiring dengan berlalunya hari-hari di bulan Ramadhan, kita akan segera menyambut Hari Raya Idul Fitri. Namun, dalam menyambut hari yang penuh berkah ini, mari kita merenungkan tentang pentingnya memahami makna minimalis dalam menyambut Lebaran.


Minimalis merupakan sebuah konsep hidup yang sederhana dan berkelanjutan, di mana kita belajar untuk fokus pada substansi dan kebutuhan kehidupan yang sebenar-benarnya. Dalam konteks menyambut Lebaran, konsep minimalis mengajarkan kita untuk bersikap sederhana namun bermakna, serta menghindari pemborosan dan kemewahan yang tidak perlu.


Mari kita renungkan tentang makna Idul Fitri dan Lebaran. Sejatinya, menyambut Hari Raya tidak bergantung pada kemewahan dan kelimpahan harta, tetapi lebih kepada merenung ulang apakah kita sudah mendapatkan tujuan utama dari bulan Ramadhan, berupa ampunan dosa dan dilipatgandakannya pahala?. 


Selain itu, dalam menyambut Lebaran, pada sisa hari-hari akhir Ramadhan ini, mari kita fokus pada kebersamaan dengan keluarga, saling memaafkan antar keluarga, tetangga dan kerabat serta sahabat, dan merayakan kebahagiaan bersama tanpa harus melakukan pemborosan yang tidak perlu. Syekh al-Bujairimi mengatakan dalam Hasyiyah-nya mengenai esensi lebaran:


جَعَلَ اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي الدُّنْيَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ : عِيدَ الْجُمُعَةِ وَالْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَكُلُّهَا بَعْدَ إكْمَالِ الْعِبَادَةِ وَطَاعَتِهِمْ. وَلَيْسَ الْعِيدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيدَ بَلْ هُوَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيدُ، وَلَا لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللُّبْسِ وَالرُّكُوبِ بَلْ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوبُ. وَأَمَّا عِيدُهُمْ فِي الْجَنَّةِ فَهُوَ وَقْتُ اجْتِمَاعِهِمْ بِرَبِّهِمْ وَرُؤْيَتِهِ فِي حَضْرَةِ الْقُدُسِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ عِنْدَهُمْ أَلَذَّ مِنْ ذَلِكَ.


Artinya, “Allah menetapkan bagi orang-orang mukmin di dunia tiga hari yang sangat berarti: Hari Jum’at, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha, hari-hari tersebut ada setelah mereka menyelesaikan ibadah dan ketaatan. Hari raya bukanlah untuk mereka yang hanya memakai pakaian baru, tetapi untuk mereka yang ketaatannya bertambah, dan bukan pula untuk mereka yang berhias dengan pakaian dan perhiasan, namun untuk mereka yang dosa-dosanya diampuni. Adapun hari raya mereka di surga adalah saat mereka berkumpul dengan Tuhannya dan melihat-Nya di hadapan keagungan-Nya, tidak ada yang lebih nikmat bagi mereka daripada itu.” (Al-Bujarimi, Tuhfatul Habib bi Syarhil Khathib, [Beirut: Darul Fikr, 1995], jilid II, hal. 218).


Meskipun para ulama mewanti-wanti untuk menghindari sifat bermewah-mewahan dan pemborosan dalam menyambut lebaran, tentu bahagia dan senang menyambut lebaran dengan sewajarnya sangat dianjurkan. Rasulullah saw pernah bersabda:


كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا مَخِيلَةٍ 


Artinya, “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sikap sombong.” (HR Abu Dawud).


Hadits ini menegaskan kesederhanaan dalam bersikap dan tidak berlebihan. Dalam konteks menyambut Hari Raya, tentu nilai-nilai pesan Rasulullah saw dapat kita praktikkan. Hadits ini dalam konteks lebaran adalah menghindari berlebihan dalam pengeluaran untuk membeli pakaian baru, makanan lezat, atau dekorasi rumah yang mahal.


Selain hadits ini, para ulama juga moderat dalam kesederhanaan memaknai lebaran. Lebaran yang merupakan hari raya umat Islam juga tentu harus diramaikan sebagai syi’ar. Artinya dengan tidak meramaikan dan menyemarakkan hari raya bagi yang mampu pun adalah tindakan yang tidak tepat. Ibnu Hajar al-‘Asqallani dalam Fathul Bari pernah menyebutkan:


إِظْهَارُ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شُعَارِ الدِّينِ


Artinya, “Menunjukkan kegembiraan dalam hari-hari raya adalah salah satu ciri/syi’ar agama.” (Ibnu hajar al-‘Asqallani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], jilid II, hal. 443).


Kalam Ibnu Hajar menggarisbawahi pentingnya menyatakan kegembiraan dan sukacita pada momen-momen spesial keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri. Pada hari raya, kita dapat berbahagia dengan menyantap makanan enak, memakai pakaian baru, serta memberi angpao (sedekah) kepada orang-orang tanpa harus berlebihan.


Kegembiraan dalam merayakan hari raya dapat mencerminkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat-Nya, memperkuat ikatan sosial antar sesama, serta mempererat hubungan dengan keluarga dan kerabat.


Saat kita memilih untuk bersikap sederhana, kita sebenarnya menghargai nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, serta menunjukkan rasa syukur dan penghargaan terhadap karunia-Nya. Wallahu a’lam


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.