Sirah Nabawiyah

Kisah Pemimpin Islam Terdahulu dalam Merayakan Hari Raya

Sab, 22 April 2023 | 09:00 WIB

Kisah Pemimpin Islam Terdahulu dalam Merayakan Hari Raya

Pemimpin Islam (Ilustrasi: msf.online.com)

Setelah umat Islam bergulat dengan puasa Ramadhan dan rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan penuh, tiba saatnya bagi mereka untuk merayakan kemenangan atas ibadah yang telah berhasil mereka kerjakan, yaitu hari raya idul fitri. Idul fitri merupakan hari pertama bulan Syawal yang diisi dengan perayaan atas kemenangan umat Islam setelah berpuasa selama sebulan.


Pada perayaan ini, banyak tradisi-tradisi yang dilakukan oleh kaum muslimin seantero dunia dengan ragam corak dan tradisi masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, tradisi ketika hari raya idul fitri adalah dengan cara bermaaf-maafan, ziarah ke makam para sesepuh, hingga bersilaturrahmi ke sanak saudara dan kolega juga bagian dari perayaan hari raya.


Namun demikian, tahukah anda bagaimana tradisi para dinasti-dinasti dan pimpinan umat Islam dahulu dalam merayakan hari raya? Berikut ini penulis jelaskan perihal sejarah tersebut.


Merujuk pada penjelasan Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa hari raya dijadikan sebagai momentum oleh para dinasti dan raja-raja zaman dahulu untuk menampakkan kekuatan Islam. Mereka keluar dari kerajaan dengan ribuan prajurit dan penduduknya disertai dengan lantunan lagu-lagu kebesaran kerajaan, dan dengan cara ini umat Islam bisa disegani oleh pemeluk agama lain.


Tradisi seperti ini terus berlanjut hingga masa kepemimpinan sultan Abdul Hamid. Ia sebagai pemimpin ke-34 dalam kesultanan dinasti Utsmaniyah yang sangat adil, dan lebih memprioritaskan kemaslahatan Islam dan rakyatnya. Salah satunya adalah dengan memperlihatkan bala tentaranya di setiap hari raya sambil membacakan takbir sebagaimana yang biasa dibaca setiap hari raya.


Kisah ini sebagaimana diabadikan oleh Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syatiri dalam salah satu kitabnya, ia mengatakan:


وَمُلُوْكُ الْمُسْلِمِيْنَ يُسْتَحَبُّ لَهُمْ اِظْهَارُ الْقُوَةِ وَعِزِّ الْاِسْلَامِ. كَانَ الْمُلُوْكُ السَّابِقُوْنَ يَقُوْمُوْنَ بِاسْتِعْرَاضِ الْجُيُوْشِ، وَأَخِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَبْدُ الْحَمِيْدِ، وَهُوَ أَخِرُ مُلُوْكِ الْمُسْلِمِينَ. اِسْتَمَرَّتْ خِلَافَتُهُ ثَلَاثِينَ سَنَةً، وَكَانَ قَوِيَ الْاِيْمَانِ مُخْلِصًا لِدِيْنِهِ وَرَعِيَّتِهِ


Artinya, “Para pimpinan umat Islam dianjurkan bagi mereka untuk menampakkan kekuatan dan kemuliaan Islam (di hari raya). Para raja terdahulu menampakkan (kekuatannya dan kemuliaan Islam) dengan mempertontonkan bala tentara, dan yang paling akhir (melakukan tradisi ini) adalah Sultan Abdul Hamid, ia merupakan pemimpin terakhir kaum muslimin. Masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Ia merupakan (raja) yang kuat imannya, ikhlas (berjuang) untuk agama dan rakyatnya.” (Habib Ahmad Asy-Syatiri, Syarhu Yaqutun Nafis fi Mazhabi ibn Idris, [Darul Minhaj: 2009], halaman 177).


Selain mempertontonkan bala tentara, raja-raja zaman dahulu juga membawa para pemuda pemberani untuk ikut serta dalam pertontonan ini. Semua berangkat dengan pakaian rapi dan berseragam. Semua pasukan diatur dengan masing-masing kelompok dengan mengikuti barisan masing-masing. Setiap pasukan berkuda berbaris dengan kelompok berkuda lainnya. Pasukan berkendara juga berbaris dengan kelompok berkendara lainnya,


وَمِنْ عَادَاتِهِ فِي يَوْمِ الْعِيْدِ أَن يَخْرُجَ فِي الْحَرسِ، اَلَّذِي يُقَدَّرُ بِثَلَاثِيْنَ أَلْفٍ مِنَ الشَّبَابِ الشَّجعَانِ الْمُوَحِّدِي اللِّبَاسِ، تَتَقَدَّمُهُمُ السَّيَّارَاتُ وَالْعرَبَاتُ، وَيُنْشِدُوْنَ لَهُ السَّلَامَ الْمُلْكِي، وَيَعْتَزُّ كُلُّ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ


Artinya, “Dan termasuk kebiasaannya (Sultan Abdul Hamid) pada hari raya adalah ia keluar bersama pengawal kerajaan, disertai oleh tiga puluh ribu pemuda pemberani yang berseragam pakaiannya. Di depan mereka ada banyak tentara berkendara dan berkuda, mereka menyanyikan lagu-lagu kepadanya (raja) dan ucapan salam khas kerajaan. Dengan kebiasaan tersebut umat Islam menjadi mulia (di sisi pemeluk agama lain).” (Habib Ahmad asy-Syatiri, 177).


Terdapat banyak pelajaran yang bisa kita raih dari kisah ini, selain untuk menampakkan kekompakan dan soliditas umat Islam, juga bisa kita lihat bagaimana upaya raja-raja terdahulu dalam mempertahankan persatuan dan soliditas kaum muslimin. Mereka berupaya dengan serius agar umat Islam tetap berada di jalur yang sama, yaitu persatuan.


Hal itu tidak lain selain karena persatuan ajaran yang sangat mulia dalam Islam. Persatuan merupakan ruh kehidupan, dan menjadi pilar kekuatan dalam hidup beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persatuan juga menjadi pokok utama dan asas yang sangat penting untuk mencapai sebuah hasil yang sempurna. Karenanya, harus ada upaya serius dalam membangun persatuan umat Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:


وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا


Artinya, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).


Demikian tulisan tentang sejarah pemimpin Islam terdahulu dalam merayakan hari raya. Semoga bermanfaat dan menjadikan hari raya kita sebagai hari yang berkah, Amin. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.