Kultum Ramadhan: Tahapan Pensyariatan Puasa Ramadhan, Dari Awal Hingga Kini
Senin, 10 Maret 2025 | 04:00 WIB
M. Tatam Wijaya
Kolomnis
Al-Quran menginformasikan bahwa kewajiban puasa tidak hanya diberikan kepada umat Rasulullah saw, tetapi juga kepada para nabi dan umat-umat sebelumnya, sebagaimana ayat Al-Quran:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).
Hanya waktu dan praktiknya berbeda-beda. Di masa Rasulullah saw pensyariatan puasa 'mencapai puncak kematangannya. Namun perlu diingat, pada awalnya, waktu dan tata cara pelaksanaan puasa Ramadhan tidak seperti yang dikenal sekarang.
Sebelumnya ada beberapa proses dan tahapan yang tentunya sejalan dengan hikmah dan kasih sayang Allah yang maha lembut terhadap keadaan hamba-Nya. Proses dan tahapan dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Fase sebelum turun kewajiban puasa Ramadhan
Sebelum ayat perintah puasa Ramadhan turun, sudah diberlakukan puasa ayyamul bidh setiap bulan hijriah, puasa Nabi Dawud as selang satu hari, dan puasa ‘Asyura setiap 10 Muharram. Rasulullah saw. senantiasa mendorong para sahabat untuk menunaikan puasa-puasa tersebut.
Bahkan, menurut Imam At-Thabari, puasa Ramadhan juga sudah diwajibkan kepada kaum Nasrani. Hanya saja mereka tidak makan-minum dan tidak bergaul suami istri di malam hari. (Tafsir At-Thabari, [Muassasatur Risalah: 2000], jilid III, halaman 411 dan 413).
Namun, ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau tak lagi memerintah mereka, tidak pula melarang. Kewajiban puasa Ramadhan sebagaimana dimaklumi mulai sejak turun surat Al-Baqarah ayat 183.
2. Fase puasa Ramadhan belum secara total
Meski sudah turun perintah puasa Ramadhan, tetapi masih ada keringanan berbuka bagi yang mampu asalkan mengeluarkan fidyah. Artinya, yang mau berpuasa maka berpuasa, sedangkan yang tidak mau, cukup membayar fidyah. Ketentuan ini mempertimbangkan masih banyaknya sahabat yang belum terbiasa berpuasa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
Artinya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin,” (QS Al-Baqarah: 184).
3. Penghapusan keringanan berbuka puasa bagi yang mampu
Jika sebelumnya fidyah diberlakukan kepada orang mampu yang tidak berpuasa. Maka fase berikutnya, kebolehan ini hanya untuk orang yang sakit dan bepergian jauh, sebagaimana bunyi ayat:
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ
Artinya, “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah: 185).
Setelah turun ayat di atas, para sahabat yang menyaksikan hilal Ramadhan, wajib berpuasa. Tidak ada lagi keringanan berbuka selama mampu dan tidak sedang bepergian jauh.
4. Setelah tidur atau shalat Isya tidak boleh makan, minum, dan jimak
Pada awal pensyariatan, seperti yang disinggung At-Thabari, makan, minum, dan hubungan suami-istri pada malam hari tidak diperbolehkan seperti halnya sekarang. Kendati dibolehkan melakukannya hanya sebelum tidur dan sebelum shalat Isya.
Artinya, jika sudah tidur atau sudah shalat isya di malam hari, tidak boleh makan, minum, atau hubungan suami-istri di sisa malam tersebut, hingga menjalani ibadah puasa pada hari berikutnya dan berbuka pada waktu magrib. (At-Thabari, III/487).
Ketentuan puasa ini, sebagaimana diungkap oleh Al-Bara’, tak pelak memberatkan para sahabat, sehingga banyak di antara mereka yang tak mampu menahan diri, dan akhirnya menjadi asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat Al-Quran yang meringankan mereka makan, minum, berhubungan suami-istri pada malam hari.
Beberapa kejadian pun turut mengantarkan turunnya ayat di atas antara lain kisah sahabat Umar yang tak tahan bergaul dengan istrinya di malam hari, dan juga kisah Qais bin Shirmah yang tak sempat berbuka karena ketiadaan makanan. Lalu tak lama turunlah ayat:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ
Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.” (QS Al-Baqarah: 187).
Sejak turun ayat di atas, ditetapkan pensyariatan puasa dengan tata cara seperti sekarang ini, yakni menjauhi segala yang membatalkan, baik makan, mainum, maupun bergaul suami-istri, sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari. Sedangkan pada malam hari, semua itu diperbolehkan, tanpa ada syarat: setelah atau sebelum tidur, setelah atau sebelum shalat Isya. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua