Ramadhan

Rasionalisasi Makan Sahur Hukumnya Tidak Wajib

Sen, 18 Maret 2024 | 17:00 WIB

Rasionalisasi Makan Sahur Hukumnya Tidak Wajib

Ilustrasi makan sahur. (Foto: NU Online/Suwitno)

Makan sahur sebelum puasa memiliki banyak manfaat dan keberkahan. Salah satunya adalah membuat fisik berstamina untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Meskipun demikian, makan sahur hukumnya sunah, tidak sampai wajib. Berikut ini penjelasan terkait makan sahur hukumnya sunah.

 

Hadits Anjuran Makan Sahur

Rasulullah saw menganjurkan umat Islam untuk santap sahur sebelum berpuasa. Diriwayatkan dari sahabat Anas ra:

 

 قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً"

 

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Makan sahurlah kalian,  karena di dalam sahur terdapat keberkahan.”  (Imam Muslim, Shahih Muslim, [Kairo, Al-Babil Halbi: 1955], juz II, halaman 770).

 

Dalam hadis di atas terdapat lafal  ‘tasahharu’ dalam bentuk kata kerja perintah. Namun tidak semua kata kerja menunjukkan wajib. Bisa juga sunah, mubah, atau lainnya tergantung indikator yang ada. 

 

Dalam konteks ini, perintah makan sahur hukumnya masih dalam batasan sunah saja. Karena dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi tidak makan sahur setiap hari. Terkadang Nabi juga melewatkannya. 

 

Rasulullah Pernah Meninggalkan Sahur

Rasulullah terbiasa puasa wishal, yaitu menyambung puasanya sampai malam hari, sehingga melewatkan untuk makan sahur. Dalam hadits Shahih Muslim diriwayatkan:

 

 عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ إن رسول الله صلى الله عليه وسلم وَاصَلَ فِي رَمَضَانَ. فَوَاصَلَ النَّاسُ. فَنَهَاهُمْ. قِيلَ لَهُ: أَنْتَ تُوَاصِلُ؟ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ. إني أطعم وأسقى

Artinya, “Dari Ibnu ‘Amr ra, sungguh Rasulullah saw menyambung puasa di bulan Ramadhan. Orang-orang pun mengikuti Nabi menyambung puasanya. Kemudian Rasulullah melarang mereka. Dikatakan kepada Rasulullah: “Bukankah engkau puasa wishal?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak sama seperti kalian. Aku diberi makan dan diberi minum (oleh Tuhanku).” (HR Muslim).

 

Saat Rasulullah saw meninggalkan sahur, tidak ada wahyu yang menyatakan bahwa Nabi berdosa sebab itu. Bahkan, ketika para sahabat ingin menirunya, mereka kesulitan karena memang fitrah seorang manusia merasakan lapar dan haus. Rasulullah pun melarang sahabat untuk melakukan hal serupa karena sejatinya puasa wishal adalah keistimewaan yang hanya dilakukan Nabi. Karenanya, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk makan sahur terlebih dahulu.

 

Selain hadis di atas, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa para ulama sepakat akan kesunahan sahur. Sahur membantu kaum muslimin agar tetap segar bugar di siang harinya. Alangkah lebih baik juga untuk mengakhirkan waktunya. (An-Nawawi, Al-Majmu Syarah Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub  Al-’Ilmiyah: 2011], juz VII, halaman 442).

 

Berdasarkan pemaparan dapat ditarik kesimpulan, hukum sahur adalah sunah. Perintah sahur tidak sampai wajib karena terikat (muqayyad) fakta bahwa Nabi saw pernah meninggalkannya. Karena itu, orang yang belum sempat sahur maka puasanya tetap sah.

 

Ustadzah Suci Amalia, Pengajar Ma’had Al-Jamiah UIN Jakarta.