Ramadhan

Thibbun Nabawi: I’tikaf untuk Perkuat Imunitas 

Ahad, 7 April 2024 | 16:00 WIB

Thibbun Nabawi: I’tikaf untuk Perkuat Imunitas 

I'tikaf di masjid. (Foto: NU Online/Freepik)

Pada sepuluh hari terakhir, umat Islam banyak yang beri’tikaf di masjid-masjid. Mereka bermalam sambil memperbanyak amalan di malam hari. Di siang harinya, mereka beristirahat sejenak dan menghabiskan waktu di masjid dengan ibadah sunnah sambil tetap berpuasa. 


Selain membawa bekal untuk keperluan pribadi, peserta i’tikaf biasanya mengandalkan menu makanan yang disediakan oleh panitia. Makanan untuk berbuka dan sahur ditentukan dari masjid sehingga suplai nutrisi mungkin terbatas. Namun, meskipun hidangan makanan dikonsumsi dengan jumlah dan jenis seadanya, mereka tetap bersemangat untuk membaca Al-Qur’an dan berzikir sambil menghidupkan malam-malam di akhir bulan Ramadhan.


Di tengah keterbatasan nutrisi saat i’tikaf, mungkinkah kesehatan yang mengamalkannya mendapatkan dampak positif? Bagaimana pembahasan ilmiah berdasarkan riset terhadap imunitas atau daya tahan tubuh peserta i’tikaf? Bagaimana pula keterkaitan i’tikaf dengan upaya mencegah penyakit berdasarkan Thibbun Nabawi?


Melakukan aktivitas ibadah di malam hari menurut Thibbun Nabawi memang baik untuk kesehatan. I’tikaf relevan dengan aktivitas ibadah di malam hari Bulan Ramadhan seperti shalat malam atau qiyamullail sehingga manfaatnya dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Al-Hafiz Adz-Dzahabi menuliskan sebuah hadits dalam Kitab At-Thibbun Nabawi tentang keutamaan ibadah di malam hari beserta manfaat kesehatannya.


Diriwayatkan dari Bilal ra secara marfu: “Kejahatan-kejahatan ini disingkirkan darimu melalui ibadahmu kepada Allah di malam hari, sebab ini adalah kebiasaan orang-orang bertakwa sebelummu dan ia mencegah tindakan yang salah dan membawamu dekat kepada Allah. Ibadah ini menghapus tindakan-tindakan yang salah dan mengusir penyakit dari badan. (HR. at-Tirmidzi).” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 287)


Bukti ilmiah mengungkapkan bahwa ibadah di malam  hari, khususnya saat i’tikaf di hari-hari terakhir Bulan Ramadhan, ternyata sesuai dengan keterangan dari Kitab At-Thibbun Nabawi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Eker dan timnya membuktikan bahwa imunitas atau daya tahan tubuh peserta i’tikaf mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelumnya. Bila imunitas meningkat, tentu berbagai macam penyakit akan terusir atau tercegah dari tubuh.


Keinsyafan untuk menghabiskan waktu di masjid saat i’tikaf memang membutuhkan pengorbanan. Waktu yang diperlukan untuk beribadah bisa mengurangi waktu bekerja dan waktu untuk keluarga. Fokus dalam meniti jalan spiritualitas ketika i’tikaf ternyata juga membuat peserta i’tikaf merasakan kurangnya asupan untuk fisik mereka sehingga kondisi ini dapat dikategorikan sebagai rasa lapar yang “mendalam”.


Uniknya, rasa lapar dan keterbatasan yang dialami peserta i’tikaf ternyata berdampak baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian di Turki mengungkapkan bahwa jamaah laki-laki yang beri’tikaf selama 8 hari di masjid mengalami peningkatan sistem imun. Makanan yang mereka konsumsi sangat rendah kalori, tetapi efeknya justru menguatkan daya tahan (Eker dkk, 2017, The Impact of Ramazan I’tikaf on Immune System, Malaysian Journal of Public Health Medicine, Vol.17(3): halaman 104-108).


Penelitian itu menyebutkan bahwa peserta i’tikaf mengalami kelaparan secara “mendalam” selama 8 hari. Analisisnya berdasarkan jumlah kalori dari makanan berbuka puasa dan sahur di masjid yang terhitung sangat rendah. Untuk ukuran orang Turki dewasa laki-laki, jumlah kalori dari asupan makanan mereka per hari tidak lebih dari 1.000 kalori sehingga terhitung minimalis.


Menu makanan mereka untuk berbuka puasa terdiri dari satu porsi sup yang terbuat dari kacang adas hijau 200 gram dan roti 150 gram. Untuk sahur, mereka mendapatkan 21 biji kismis dan 150 gram roti. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa makanan mereka sangat sederhana dan rendah lemak.


Penelitian itu menyimpulkan bahwa setelah i’tikaf memang terjadi penurunan berat badan secara signifikan. Namun, ternyata komponen darah yang bertanggungjawab terhadap sistem imun seperti sel darah putih dan immunoglobulin justru mengalami peningkatan. Kedua komponen tersebut merupakan tentara di dalam tubuh yang mampu mengusir berbagai penyebab penyakit seperti mikroba atau infeksi.


Selain meningkatkan imunitas, i’tikaf juga berpengaruh positif terhadap kondisi emosi dan ketenangan umat Islam yang melaksanakannya. Penelitian Karakas dan Eker mengungkapkan bahwa peserta i’tikaf mampu meningkatkan pengendalian rasa marahnya secara signifikan. Selain itu, penerimaan seorang Muslim terhadap kondisi kehidupannya sebagai anugerah dari Allah swt juga mengalami peningkatan (Karakas dan Eker, 2018, The Effect of Itikaf on State-Trait Anger, Intrinsic Religiousness, and Subjective Well-Being, Spiritual Psychology and Counseling, 3: halaman 161-176).


Penelitian pengaruh i’tikaf terhadap kondisi psikologi yang disebutkan di atas sebenarnya masih terkait dengan penelitian sebelumnya yang membahas tentang imunitas. Penelitian tentang imunitas dilakukan terhadap 46 jamaah laki-laki, sedangkan penelitian terkait kondisi emosi dilakukan terhadap 31 orang peserta i’tikaf dari jamaah yang sama. Penelitian itu dilakukan di sebuah masjid di Turki yang menyelenggarakan i’tikaf untuk para jamaahnya.


Jumlah jamaah yang ikut dalam i’tikaf dan diteliti memang tidak banyak. Hal itu disebabkan karena mereka yang ikut i’tikaf harus meninggalkan pekerjaan rutin. Padahal di beberapa hari akhir Ramadhan saat i’tikaf itu dilaksanakan belum merupakan hari libur. Masjid tempat i’tikaf itu telah memenuhi syarat Departemen Agama setempat karena memiliki fasilitas akomodasi yang memadai seperti ruang penginapan, sarana kebersihan, dan tempat khusus untuk makan.


Apabila diterapkan di masjid-masjid lainnya, manfaat i’tikaf untuk kesehatan tentu dapat diperoleh melalui riyadlah dari pesertanya. Riyadlah atau latihan inilah yang menjadi kunci sukses peserta i’tikaf untuk memperoleh pengalaman spiritualitas. Di tengah rasa lapar saat i’tikaf, ada pengorbanan besar dengan meninggalkan kesibukan duniawi sehingga proses penerimaan terhadap anugerah Allah mampu dirasakan dengan penuh makna tanpa emosional.


Apabila seorang Muslim tidak mampu meninggalkan aktivitasnya karena besarnya tanggung jawab yang dipikul, maka aktivitas i’tikaf hendaklah dilaksanakan semampunya. Selayaknya bila seseorang yang sibuk bekerja di siang hari menyisihkan sebagian waktu malamnya untuk berdiam di masjid dengan niat i’tikaf meskipun dengan waktu yang terbatas. Hal yang tidak kalah penting adalah menikmati proses i’tikaf itu dengan berbagai amalan sunnah, bertafakur, bersyukur, dan bertaubat diiringi hati yang ikhlas agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih optimal. Wallahu a’lam bisshawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi