Shalawat/Wirid

Bacaan Shalawat Pasti Diterima Meskipun Tak Ikhlas? Ini Maksudnya

Kam, 18 Agustus 2022 | 23:00 WIB

Bacaan Shalawat Pasti Diterima Meskipun Tak Ikhlas? Ini Maksudnya

Membaca shalawat itu pasti diterima, meskipun tidak ikhlas.

Shalawat kepada Nabi Muhammad saw adalah amal yang sangat agung. Keagungan shalawat tercermin dalam perintah langsung dari Allah Taala agar kita bershalawat. Bahkan perintah itu diawali dengan pemberitahuan bahwa Allah sendiri dan malaikat juga bershalawat. Allah Taala berfirman: 


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


Artinya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepada nya.” (Al-Ahzab: 56).


Sebagian ulama menyatakan, shalawat adalah ibadah yang pasti diterima, walaupun di hati pembacanya masih terselip riya atau rasa pamer. Dalam hal ini Imam Qalyubi menjelaskan: 


وهي مقبولة من كل أحد في كل حالة، ومن المخلص فيه،  وكذا من المرائي بها على أصح الأقوال


Artinya, “Shalawat itu diterima dari setiap orang dan dalam kondisi apapun. Diterima dari orang yang ikhlas, begitu juga orang yang riya atau pamer amal menurut pendapat yang paling benar. (Yusuf an-Nabhani, Sa’âdatud Dârain, halaman 34).


Lalu apa maksud ‘shalawat mesti diterima’? Bukankah diterimanya suatu amal menandakan kepastian husnul khatimah bagi pelakunya? 

 

Setidaknya ada dua penjelasan tentang hal tersebut menurut kutipan Syekh Ibnu Amir dalam hasyiyah atas kitab Ithâful Murîd Syarh Jauharatid Tauhîd.


Pertama, maksud bacaan shalawat pasti diterima adalah, pembaca akan menemukan pahala shalawat di akhirat bila meninggal dalam kondisi husnul khatimah. Hal ini berbeda dengan amal lain yang masih bisa diterima dan tidak.


Kedua, maksud bacaan shalawat pasti diterima adalah, andaikan tidak meninggal dalam kondisi husnul khatimahnaûdzubillâhi min dzâlik—maka ia tetap akan mendapatkan manfaat syafaat dari shalawat yang dibacanya. Setidaknya shalawat pernah dibacanya akan meringankan siksanya di neraka, sebagaimama Abu Lahab mendapat keringanan siksa tiap hari Senin karena gembira atas kelahiran Rasulullah saw, atau Abu Thalib yang mendapat keringanan siksa karena cintanya kepada Nabi saw dan doa yang dipanjatkan Nabi saw.


Masih merujuk kutipan Syekh Ibnu Amir, ada penjelasan berbeda dari ulama lain. Menurut pendapat ini, shalawat memiliki dua sisi. Pertama, shalawat adalah bentuk doa bagi Rasulullah saw. Sisi inilah yang pasti diterima. Artinya doa tersebut pasti sampai kepada Rasulullah saw. Sisi kedua, shalawat merupakan ibadah dari pembacanya. Dari sisi ini, diterimanya shalawat yang berbuah pahala bagi pembacanya sama seperti amal ibadah lain. Ia akan diterima ketika memenuhi beberapa syarat yang di antaranya adalah niat tulus tanpa riya atau pamer. (Ibnu Amir, Hasyiyah atas Ithâful Murîd Syarh Jauharatid Tauhîd, halaman 21).


Bagaimanapun, shalawat adalah amal yang sangat agung. Dengan bershalawat kita akan mendapat anugerah agung, yaitu termasuk golongan orang-orang yang selalu mengingat dan menyebut makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Nabi Muhammad saw. Tentu mencintai Allah Taala berarti juga mencintai segala yang dicinta-Nya.

 

Tak sembarang orang berkesempatan mendapatkan nikmat yang sangat besar ini. Betapa banyak orang yang lisannya tidak mendapatkan kesempatan untuk selalu menyebut Sang kekasih Allah, Nabi Muhammad saw. Karenanya, masihkah kita malas bershalawat untuknya? Wallâhul musta’ân.

 

Ust Muhammad Masruhan, Pengajar di PP Al-Inayah Wareng Tempuran dan Pengurus LBM NU Kabupaten Magelang.