Khaizuran, Istri Khalifah Al-Mahdi yang Memperkeruh Panggung Politik Dinasti Abbasiyah
NU Online · Jumat, 11 Juli 2025 | 07:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Sejarah Abbasiyah tak pernah sepi dari intrik, perebutan kekuasaan, dan konflik internal keluarga istana. Di antara tokoh paling kontroversial pada masa awal dinasti ini adalah Khaizuran binti 'Atha', seorang mantan budak asal Yaman yang menjelma menjadi istri khalifah dan ibu dua penguasa besar. Khaizuran bukan sekadar permaisuri, ia dikenal sebagai tokoh ambisius yang mengobrak-abrik sistem kekuasaan dari balik tirai istana kekhalifahan.
Khaizuran awalnya bukan keturunan bangsawan atau anak pejabat. Ia adalah seorang budak yang dipersembahkan kepada al-Mahdi, putra khalifah al-Manshur. Meski awalnya diragukan karena fisiknya yang dianggap kurus, ia menjawab cerdas bahwa bagian tubuhnya yang diragukan justru paling dibutuhkan. Keberaniannya menarik perhatian al-Mahdi. Tak lama, ia menjadi istri favorit dan melahirkan dua anak, yaitu Musa al-Hadi dan Harun ar-Rasyid.
Setelah resmi menjadi istri al-Mahdi, pengaruh politik Khaizuran tumbuh pesat. Ia sering kali menerima tamu penting di istananya untuk menyampaikan aduan dan keperluan, bahkan sebelum mereka menghadap khalifah sendiri. Menurut sejarawan Ath-Thabari, istananya dipenuhi utusan, pejabat, dan rakyat yang berharap bantuan. Ia ikut campur dalam pengangkatan pejabat, penyaluran dana, dan pemberian ampunan. Semua itu dijalankan dari balik pintu kediamannya. Muhammad Al-Alawi dalam Al-Fakhri fil Adabis Sulthaniyah mengungkapkan:
إِنَّ الخَيْزُرَانَ كَانَتْ مُتَبَسِّطَةً (مُتَحَكِّمَةً) فِي دَوْلَةِ المَهْدِيِّ، تَأْمُرُ وَتَنْهَى، وَتَشْفَعُ وَتُبْرِمُ وَتُنقَضُ
Artinya, "Sesungguhnya al-Khayzuran sangat berkuasa (mengendalikan) dalam pemerintahan al-Mahdi; ia memerintah dan melarang, memberi syafaat, menetapkan perkara, dan membatalkannya." (Al-Alawi, Al-Fakhri fil Adabis Sulthaniyah, [Beirut: Darul Hadir, 1860 ], h.191)
Keberhasilan Khaizuran yang paling mencolok terjadi saat al-Mahdi wafat secara mendadak. Di tengah kekosongan kekuasaan di Baghdad, Khaizuran bertindak cepat. Ia mengumpulkan tokoh-tokoh penting seperti al-Rabi' dan Yahya bin Khalid al-Barmaki, lalu membujuk mereka untuk mendukung pelantikan Musa al-Hadi. Bahkan, menurut Ath-Thabari, ia mengumpulkan harta besar lalu membayarkan gaji tentara untuk dua tahun ke depan demi meredam potensi pemberontakan. (Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari, [Beirut: Darut Turats, 1967], juz VIII, h. 188)
Namun, tak lama setelah Musa al-Hadi naik takhta, konflik berdarah antara ibu dan anak mulai mencuat. Al-Hadi, yang awalnya tunduk pada ibunya, mulai merasa jengkel karena pengaruh politik Khaizuran yang terlalu besar. Menurut al-Mas'udi dalam Murujudz Dzahab, pejabat dan rakyat tetap berduyun-duyun datang ke kediaman Khaizuran, seakan ia adalah penguasa sesungguhnya. Kekuasaan al-Hadi pun tampak melemah di mata publik dan elit istana. Al-Mas'udi mengutip syair berkenaan kritik kepada Khaizuran:
يَا خَيْزُرَانَ، هُنَاكِ ثُمَّ هُنَاكِ، إِنَّ العِبَادَ يَسُوسُهُمْ ابْنَاكِ
Artinya, "Wahai Khayzuran, engkau ada di mana-mana, di sini dan di sana, padahal rakyat sedang dipimpin oleh kedua putramu!" (Al-Mas'udi, Murujudz Dzahab, [Tanpa Penerbit: 1867], juz II, h. 203)
Kemarahan al-Hadi mencapai puncak ketika ibunya memintanya mengabulkan permintaan Abdullah bin Malik, panglima keamanan. Al-Hadi menolak keras dan menuduh ibunya bermain mata dengan Abdullah. Dalam versi al-Mas'udi, al-Hadi memaki ibunya dengan kata-kata kasar dan menyatakan tidak akan memenuhi permintaan apa pun darinya lagi. Khaizuran pun bersumpah tidak akan meminta apa pun lagi. Hubungan mereka retak secara terbuka. (Al-Mas'udi, Murujudz Dzahab, juz II, h. 203)
Tak hanya itu, al-Hadi kemudian mengumpulkan para menterinya dan mempermalukan mereka di depan umum. Ia bertanya siapa yang lebih mulia, dirinya atau mereka, lalu ibunya atau ibu mereka. Setelah mereka menjawab bahwa khalifah dan ibunya lebih mulia, ia berkata, "Mengapa kalian suka membicarakan ibuku dan meminta bantuan darinya?" Sejak hari itu, tak ada satu pun pejabat yang berani mendekati istana Khaizuran seperti dulu lagi.
Khaizuran merasa terpukul. Ia menjauh dari putranya dan memutus komunikasi. Namun, sejumlah sumber menyebutkan, ia tidak hanya menjauh, tetapi juga merencanakan pembunuhan terhadap al-Hadi. Menurut Muhammad Al-Alawi dalam Al-Fakhri, Khaizuran menyuruh budaknya untuk membekap wajah al-Hadi hingga tewas. (Al-Alawi, Al-Fakhri fil Adabis Sulthaniyah, h.191)
Dalam satu kisah yang ditulis Ath-Thabari, al-Hadi pernah mengirim makanan kepada ibunya sambil berkata bahwa ia telah mencicipinya. Namun pelayan Khaizuran memberikannya kepada seekor anjing, dan daging anjing itu luruh setelah memakannya. Lalu al-Hadi bertanya, "Mengapa tidak kau makan?" Khaizuran menjawab, "Kalau aku makan, mungkin kau sudah lega dariku." Al-Hadi pun berkata, "Kapan khalifah berhasil jika ibunya masih hidup?"
Tak lama setelah peristiwa itu, al-Hadi jatuh sakit. Ia menghadapi sakaratul maut di usia muda, 25 tahun. Ia sempat mengirim pesan kepada ibunya, memohon maaf dan menegaskan bahwa semua larangannya kepada ibunya adalah karena alasan politik, bukan durhaka. Menurut Ath-Thabari, ia menggenggam tangan ibunya dan meletakkannya di dadanya menjelang wafat. Itulah akhir dari kisah tragis antara ibu dan anak penguasa besar Abbasiyah. (Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari, juz VIII, h. 206)
Setelah wafatnya al-Hadi, Khaizuran kembali memegang kendali penuh. Ia segera memanggil panglima Harthamah bin A'yan dan memerintahkannya untuk mengangkat Harun sebagai khalifah. Bersama Yahya bin Khalid al-Barmaki, ia memerintah dari balik tirai selama tiga tahun pertama kekuasaan Harun. Ath-Thabari menyebut bahwa semua urusan negara dikonsultasikan kepada Khaizuran, dan Yahya hanya melaksanakan perintahnya.
Bahkan Harun ar-Rasyid sendiri mengakui kekuatan ibunya. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh al-Fadl bin ar-Rabi', Harun berkata, "Sering kali aku hendak mengangkat seorang pejabat di malam hari, tetapi ibuku melarangnya. Maka aku pun taat padanya." Kalimat itu menunjukkan bahwa di balik nama besar Harun ar-Rasyid, terdapat bayangan besar bernama Khaizuran yang menentukan jalannya kebijakan kekhalifahan. (Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari, juz VIII, h. 238)
Khaizuran wafat pada tahun 173 H (789 M), meninggalkan warisan yang penuh kontroversi. Ia adalah perempuan pertama di Dinasti Abbasiyah yang berani mengatur pemerintahan secara langsung. Dari seorang budak, ia menjadi ibu dua khalifah dan perempuan paling berkuasa selama dua dekade. Namun, ia juga dituduh menyulut kekacauan dan bahkan terlibat dalam kematian anaknya sendiri demi menjaga kekuasaan dan ambisinya tetap utuh.
Kisah Khaizuran menjadi pengingat bahwa politik istana tidak pernah steril dari intrik, bahkan ketika melibatkan hubungan darah. Ambisi perempuan ini menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dimiliki siapa pun. Asal tahu caranya merebut, menjaga, dan memainkan peran di belakang layar. Meski sosoknya sering dikritik, ia tetap tercatat dalam sejarah sebagai simbol kekuatan, kelicikan, dan bahaya ambisi yang tak terkendali di tengah dinasti paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
2
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan Muharram
3
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Berani Keluar Dari Zona Nyaman
Terkini
Lihat Semua