Meneladani Rasulullah: Membela Kemanusiaan Tanpa Sekat Identitas
NU Online · Rabu, 20 Agustus 2025 | 10:30 WIB
Alief Hafidzt Aulia
Kolomnis
Di tengah gaduhnya perbincangan dunia maya, terkadang kita lupa bahwa di luar sana masih ada jutaan bahkan miliaran orang yang setiap harinya berjuang untuk bertahan hidup. Palestina misalnya, rudal-rudal ditembakkan setiap harinya, angka kematian terus bertambah setiap harinya. Banyak anak yang menjadi yatim atau piatu, dan banyak pasangan menjanda atau menduda. Di Suriah, ribuan keluarga masih mengungsi, meninggalkan rumah yang kini tinggal puing-puing reruntuhan.
Sementara itu, di berbagai belahan lain, bencana alam datang tanpa permisi, membumihanguskan tempat tinggal, memisahkan keluarga, dan memaksa manusia untuk menatap masa depan dengan tatapan yang penuh resah. Fenomena semacam ini tidak mengenal batas negara, bangsa, agama, ras, dan suku. Tidak ada identitas yang lebih pantas disebut selain “Solidaritas Kemanusiaan”.
Hal inilah yang seharusnya menyadarkan kita bahwa solidaritas kemanusiaan lintas bangsa dan agama bukan lagi sekadar wacana semata, melainkan sebuah bentuk keharusan yang dapat menentukan apakah moral-moral kemanusiaan masih tetap hidup di benak kita semuanya.
Baca Juga
Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Islam
14 abad lebih, Rasulullah SAW telah menorehkan sikap keteladanan yang agung tentang bagaimana setiap individu dapat membela dan mempertahankan martabat kemanusiaannya tanpa adanya sekat identitas. Adanya peristiwa-peristiwa penting, mulai dari Hilf al-Fudhul sampai Piagam Madinah, adalah misi utama Rasulullah tentang hubungan sesama manusia (hablum minannas). Misi ini merupakan risalah penting yang beliau pikul guna menghadirkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Bukan hanya untuk sesama muslim saja, tapi untuk siapa pun yang benar-benar membutuhkan uluran tangan.
Sejarah kehidupan Rasulullah SAW sangat erat hubungannya dengan konteks kemanusiaan, sampai-sampai terbilang melampaui batas identitas agama, ras, suku, dan bangsa. Beliau tidak hanya mengajarkan teori hablum minannas melalui sabdanya saja, tetapi beliau pun memberikan contoh langsung kepada para sahabatnya, bahkan kepada kelompok lintas agama.
Membela Kelompok Tertindas sebelum Kenabian
Jauh sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad SAW sudah terkenal sebagai pribadi yang sangat menegakkan keadilan. Salah satu bukti konkretnya adalah ketika beliau berpartisipasi pada peristiwa Hilf al-Fudhul, sebuah peristiwa yang menginisiasi adanya perjanjian oleh sekelompok tokoh terkemuka di Makkah untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia. Sebelum peristiwa ini, Makkah memang menjadi kota yang abai dengan keadilan dan hak asasi manusia, hingga banyak sekali kebijakan yang merugikan kaum lemah dan miskin (mustadh’afin).
Suatu ketika ada seorang pedagang dari kabilah Zabid menjual barang dagangan, kemudian ada lelaki Quraisy yang membeli dagangannya tetapi tidak mau membayar barang yang telah ia dapatkan. Sehingga pedagang tadi melantunkan syair di samping Ka’bah:
يا آل فهر لمظلوم بضاعته ... ببطن مكة نائي الدار والنفر
ومحرم أشعث لم يقض عمرته ... يا للرجال وبين الحِجْر والحَجَر
إن الحرام لمن تمت مكارمه ... ولا حرام لثوب الفاجر الغدر
Artinya: “Wahai keturunan Fihr! Tolonglah orang yang barang dagangannya dizalimi di tengah Kota Mekkah, sedangkan ia jauh dari rumah dan sanak keluarganya. Dalam kondisi ihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya, wahai pembesar yang berada di antara dua batu (Hajar Ismail dan Hajar Aswad). Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya, bukan untuk orang jahat dan suka berkhianat.” (Sa’id Muhammad bin Ahmad al-Afghani, Aswaq al-Arab fi al-Jahiliyah wa al-Islam, hlm. 183).
Sampai suatu ketika cahaya pun datang, beberapa pemuka Quraisy yang masih memiliki jiwa kemanusiaan berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an untuk menginisiasi pembuatan perjanjian yang dapat menolong orang yang terzalimi. Panggilan ini pun dikabulkan, para pemuka Quraisy besar berkumpul, salah satunya adalah Muhammad muda.
Peristiwa ini dikenang oleh Rasulullah SAW ketika beliau sudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Peristiwa ini diabadikan dalam kitab Dalail an-Nubuwwah karya Imam al-Baihaqi (w. 1066 M):
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ، وَلَوْ دُعِيتُ إِلَيْهِ فِي الإِسْلَامِ لأَجَبْتُ
Artinya: “Aku pernah hadir di rumah Abdullah bin Jud’an dalam suatu perjanjian (Hilf al-Fudhul), yang lebih aku sukai daripada unta merah. Sekiranya aku diajak kepada perjanjian seperti itu dalam Islam, niscaya aku akan memenuhi panggilan tersebut.” (Dalail an-Nubuwwah, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], Juz II, hlm. 35).
Kisah ini menegaskan kepada kita bahwa jiwa solidaritas sesama manusia sangatlah dijunjung tinggi oleh Rasulullah SAW, bahkan sebelum beliau menjadi seorang Rasul. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa membela kemanusiaan adalah bentuk universal yang selaras dengan ajaran Islam.
Kesepakatan Lintas Agama (Piagam Madinah)
Setelah hijrahnya ke Madinah, Rasulullah SAW memimpin sekelompok masyarakat yang sangat majemuk: Muslim Muhajirin dan Anshar, Yahudi dan Nasrani, serta suku-suku lainnya. Sehingga beliau menyusun dokumen penting yang diberi nama Piagam Madinah, sebuah dokumen yang mengatur hubungan antar kelompok, dengan prinsip Egalite, Fraternite, dan Liberte (kebebasan beragama, kesetaraan hak, dan keadilan).
Melalui perjanjian inilah Rasulullah memperkenalkan sistem kehidupan yang lebih manusiawi, aman, dan damai untuk seluruh masyarakat Madinah dari berbagai unsur identitas yang berbeda. Peristiwa ini pun diabadikan dalam kitab As-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam:
وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ، لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ
Artinya: “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat bersama kaum mukminin. Bagi orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslim agama mereka.” (As-Sirah an-Nabawiyyah, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001], Juz II, hlm. 147).
Dokumen ini menjadi penting karena menunjukkan bahwa Islam sejak awal pun mengakui dan menghargai hak asasi manusia dalam hidup berdampingan secara damai, meskipun dengan perbedaan keyakinan.
Relevansi untuk Umat Global
Krisis kemanusiaan akhir-akhir ini menjadi problematika yang sulit untuk dipecahkan. Bentuk itu tidak mengenal batas bendera ataupun sekat secara geografis, tetapi menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Perang, kelaparan, kehancuran, perubahan iklim, hingga bencana alam merupakan realitas yang menimpa umat manusia secara kolektif, dan menuntut respon kolektif pula.
Rasulullah menegaskan dalam haditsnya, kepedulian antar umat manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya: “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka sekujur tubuh ikut merasakannya, demam dan tidak bisa tidur.” (HR. al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, [Beirut: Dar Ibn Katsir], Juz V, hlm. 2270, no. 6011).
Tantangan di era modern sekarang semakin kompleks. Individualisme, diskriminasi, dan polarisasi politik telah merenggut ikatan sosial. Fenomena echo chamber di media sosial sering memperdalam sekat identitas, membuat orang hanya peduli pada kelompoknya sendiri. Padahal Islam sendiri mengajarkan kita untuk keterbukaan empati.
Pesan hadits di atas sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, yang menegaskan bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk berbuat baik dan berlaku adil.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 60/8).
Di tengah semakin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan, kita dipanggil untuk kembali menyalakan spirit rahmatan lil ‘alamin melalui langkah nyata. Kepedulian kepada sesama hendaknya kita maknai sebagai bagian dari ibadah yang bernilai di sisi Allah, bukan sekadar kewajiban sosial.
Bantuan kemanusiaan pun layak dijadikan bahasa universal yang melampaui sekat agama, bangsa, dan identitas, sehingga mampu meruntuhkan tembok perpecahan serta menumbuhkan kembali harapan dan persaudaraan di antara manusia. Wallahu a'lam.
Alief Hafidzt Aulia, Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi.
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Taj Yasin Pimpin Upacara di Pati Gantikan Bupati Sudewo yang Sakit, Singgung Hak Angket DPRD
4
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
5
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
6
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
Terkini
Lihat Semua