Sirah Nabawiyah

Bendera dalam Sejarah Politik Islam Klasik: Dari Identitas Kelompok hingga Simbol Perlawanan

NU Online  ·  Kamis, 7 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Bendera dalam Sejarah Politik Islam Klasik: Dari Identitas Kelompok hingga Simbol Perlawanan

Ilustrasi bendera. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam peradaban Islam klasik, bendera bukan sekadar kain yang dikibarkan. Ia adalah penanda identitas, alat komunikasi militer, dan simbol ideologis yang sarat makna. Dalam berbagai fase sejarah Islam, warna dan bentuk bendera menjadi lambang kekuatan politik, aliran teologis, hingga semangat revolusi. Ketika penguasa berganti, warna bendera pun turut berubah. Fenomena ini menunjukkan bahwa bendera berperan lebih dari sekadar lambang visual. Ia adalah instrumen kekuasaan yang hidup dalam sejarah dan ingatan kolektif masyarakat.


Pada masa Nabi Muhammad SAW, bendera memiliki fungsi militer dasar, yaitu untuk memudahkan identifikasi pasukan dan mengatur formasi dalam perang. Dalam Perang Hunain, misalnya, Nabi mengibarkan panji hitam yang diberikan kepada pamannya, 'Abbas. Di masa itu, warna belum berfungsi sebagai simbol ideologi negara, tetapi lebih pada aspek praktis dan strategis. Namun, akar simbolik mulai tumbuh ketika panji tersebut dikaitkan dengan kemuliaan Ahlul Bait dan keberkahan perjuangan Islam. Simbol ini kemudian digunakan sebagai sumber legitimasi oleh kelompok-kelompok Islam politik setelahnya (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, [Kairo: Matba'ah as-Sa'adah, 1939], juz IV, hlm. 327)


Perubahan besar terjadi ketika kekuasaan politik bergeser dari Khulafaur Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Dalam beberapa catatan sejarah, Bani Umayyah disebut menggunakan bendera putih atau hijau sebagai simbol kekuasaan. Warna putih menjadi penanda identitas mereka sekaligus pembeda terhadap musuh-musuh politik, khususnya para simpatisan Ahlul Bait yang menggunakan warna hitam. Perbedaan warna ini kelak menjadi benih konflik simbolik antara dinasti yang bersaing memperebutkan legitimasi kekhalifahan, sampai memunculkan narasi visual yang menyulut pertarungan ideologis antar kelompok.


Puncak simbolisasi warna dalam politik Islam klasik terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah. Mereka memilih warna hitam sebagai simbol kekuasaan dan perlawanan terhadap Umayyah. Warna ini bukan pilihan estetika semata, tapi sarat pesan ideologis. Hitam dimaknai sebagai simbol duka atas pembunuhan Bani Hasyim dan sebagai tanda berkabung atas kezaliman Umayyah. Pengikut Abbasiyah dikenal dengan sebutan al-Musawwidah (pemakai hitam), dan menjadikan panji mereka sebagai alat revolusi sosial dan agama. Warna menjadi deklarasi ideologi dan identitas dalam satu helai kain.


Pemilihan warna hitam oleh Abbasiyah memiliki basis historis dan religius. Menurut Syamsuddin adz-Dzahabi dalam Siyaru A'lamin Nubala, Nabi Muhammad pernah mengenakan sorban hitam saat Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah). Terdapat sejumlah riwayat terkait ini. Abu Muslim al-Khurasani, panglima besar revolusi Abbasiyah, menggunakan hadits tersebut sebagai pembenaran sekaligus legitimasi simbolis. Dalam sebuah khutbah, ketika ditanya mengapa ia mengenakan pakaian hitam, al-Khurasani menjawab bahwa Rasulullah memakainya saat menaklukkan Mekah, lalu menyebutnya sebagai "Tsiyabul Haybah wa Tsiyabud Dawlah" (pakaian kewibawaan dan kekuasaan) (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lamin Nubala, [Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 2001], juz 6, h. 48)


Narasi ini diperkuat oleh peristiwa tragis pembunuhan Ibrahim bin Muhammad al-Imam oleh Merwan II, khalifah terakhir Umayyah. Dalam al-Awa'il karya Abu Hilal al-ʿAskari, dikisahkan bahwa setelah Ibrahim dibunuh, para pengikutnya mengenakan pakaian hitam sebagai bentuk duka dan janji setia. Warna hitam yang semula tanda belasungkawa, menjelma menjadi bendera resmi revolusi Abbasiyah. Seorang penyair bahkan menyindir kekejaman Dinasti Umayyah lewat syair yang menyesalkan pembunuhan Ibrahim di Harran itu, memperkuat dimensi emosional dari simbol warna. Berikut adalah bait syair yang dimaksud:


عَلَامَ وَفِيمَ يُتْرَكُ عَبْدُ شَمْسٍ
لَهَا فِي كُلِّ دَاعِيَةٍ ثُغَاءُ

فَمَا بِالْقَبْرِ فِي حَرَّانَ مِنْهَا
وَلَوْ قُتِلَتْ بِأَجْمَعِهَا وَفَاءُ


Mengapa dan atas alasan apa Bani Umayyah dibiarkan?
Padahal setiap seruan mereka hanya suara domba yang mengembik.


Apa pentingnya satu kuburan di Harran dari golongan mereka,
Jika seluruh mereka dibantai pun, tak akan setimpal dengan janji yang dikhianati.
(al-'Askari, Al-Awa'il, [Tanta: Darul Basyir], 1987: hlm. 259)


Namun, warna tidak selalu bersifat final dan tunggal. Al-Ma'mun, khalifah Abbasiyah yang terkenal karena kebijakan terbukanya, sempat mengganti warna simbolik dinasti dari hitam ke hijau. Langkah ini dilakukan untuk meredakan ketegangan dengan kaum Alawiyin (pendudung Ali bin Abi Thalib) yang menjadi oposisi pemerintah, sekaligus mendekatkan diri dengan kalangan Syiah. Meskipun kebijakan ini hanya berlangsung sebentar, peristiwa ini menunjukkan bahwa warna panji bisa menjadi alat diplomasi internal dan jembatan ideologis. Ketika Ma'mun kembali ke warna hitam, Alawiyin pun mempermanenkan hijau sebagai warna khas perjuangan mereka. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2020], hlm. 202)


Selanjutnya Fathimiyah, dinasti Syiah Ismailiyah yang berdiri di Afrika Utara dan Mesir, menggunakan warna putih sebagai simbol kekuasaan. Warna ini dipilih bukan karena netralitas, melainkan sebagai bentuk oposisi terang-terangan terhadap Abbasiyah. Dalam simbolisme warna, putih dimaknai sebagai kesucian dan kemurnian ajaran mereka, berbanding terbalik dengan hitamnya Abbasiyah yang mereka anggap sebagai simbol penyelewengan. Konfrontasi ini menjadikan bendera bukan hanya alat perang atau identitas dinasti, tetapi arena kontestasi teologis yang melibatkan narasi spiritual dan politik secara bersamaan.


Abu Manshur an-Naisaburi dalam Yatimatud Dahr fi Syu'ara'i Ahlil 'Ashr mengutip syair dari Sudaif bin Maimin, penyair awal era Abbasiyah, yang secara satiris menyindir kelompok Syiah, khususnya yang berafiliasi dengan penduduk Qumm, Qashan, dan al-Kurj, yang kala itu dikenal mengenakan pakaian putih sebagai bentuk ekspresi ideologis dan identitas politik mereka. Berikut kutipan syair yang dimaksud:


إِنَّ عِيدَ أَهْلِ قُمٍّ
وَقَاشَانَ وَالْكَرَجِ
يَتَلَاقَى بَيَاضُهُمْ
بِالْقُرْبِ مِنَ النَّسِيجِ


Sesungguhnya hari raya penduduk Qumm,
Juga mereka dari Qashan dan al-Karaj,
Pakaian putih mereka berpadu serasi,
Di dekat lokasi penenunan suci
. (an-Naisaburi, Yatimatud Dahr fi Syu'ara'i Ahlil 'Ashr, [tanpa penerbit: 1899], juz II, hlm. 602)


Syair Sudaif bin Maimun ini menyimpan kritik tajam terhadap simbolisme putih sebagai warna politik Fathimiyah. Dalam konteks sejarah, putih digunakan Dinasti Fatimiyah Syiah Ismailiyah sebagai tandingan atas hitamnya Abbasiyah. Qumm, Qashan, dan al-Kurj dikenal sebagai basis pendukung Syiah yang mengadopsi pakaian putih sebagai penanda afiliasi ideologis. Penyebutan "di dekat lokasi penenunan" (النسيج) menyiratkan bahwa gerakan ini bukan sekadar religius, tapi sudah menjelma menjadi gerakan massa yang terorganisasi dan berakar sosial.


Ketegangan simbolik juga tampak dalam kasus Dinasti Zirid, yang semula berada di bawah kekuasaan Fathimiyah. Ketika Zirid memutuskan hubungan politik dengan Fathimiyah dan menyatakan kesetiaan kepada Abbasiyah pada tahun 1048 M, mereka mengganti seluruh simbol kerajaan dengan membakar panji putih dan mengganti busana resmi istana menjadi hitam. Aksi ini adalah deklarasi politik yang amat simbolis. Sebab, melalui warna, mereka menyatakan perubahan mazhab dari Syiah ke Sunni. (Najwan Abu Bakar, Tarikh Ifriqiyah, [Kairo: Maktabah Madbuli, 2013]. hlm. 8)


Fungsi panji dalam sejarah Islam tidak berhenti pada simbolisme kekuasaan. Ia juga berperan sebagai penggugah semangat tempur. Ibn Khaldun mencatat bahwa panji yang mencolok dan banyak dalam perang memiliki efek psikologis bagi pasukan seperti menumbuhkan rasa persatuan dan keberanian, serta menggentarkan musuh. Panji menjadi pusat gravitasi pasukan sebagai tempat berkumpul dan bertahan. Kehilangan panji dalam perang sering dimaknai sebagai kehilangan kehormatan dan arah. Karena itu, para pembawa panji biasanya adalah orang-orang pilihan yang siap mati demi menjaga simbol tersebut tetap berkibar (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202)


Walhasil, sejarah bendera dalam politik Islam klasik memperlihatkan betapa selembar kain bisa memuat muatan ideologi, spiritualitas, dan kekuasaan yang begitu besar. Warna-warnanya menjadi isyarat konflik dan perdamaian, perlawanan dan pengakuan. Bendera tidak hanya mewujud sebagai identitas suatu golongan, tapi juga pergolakan batin umat dalam menentukan arah sejarahnya. Di medan perang, di istana, dan dalam syair-syair para penyair, bendera terus berkibar, sebagai saksi bisu dari pertarungan ide, iman, dan ambisi kekuasaan yang tak pernah benar-benar padam.

 

Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman dan Sejarah Abad Klasik.