Sirah Nabawiyah

Beberapa Teladan Sikap Tawadhu Nabi Muhammad

Sab, 29 Oktober 2022 | 16:00 WIB

Beberapa Teladan Sikap Tawadhu Nabi Muhammad

Nabi Muhammad juga selalu mendatangi undangan meskipun datang dari orang-orang kecil atau rakyat biasa. (Foto: ilustrasi/NU Online)

Nabi Muhammad saw merupakan seorang nabi dan pemimpin besar umat manusia yang selalu bersikap tawadhu. Sehingga diriwayatkan bahwa orang-orang kecil pun berani berbicara ataupun bercanda dengan Nabi. Mereka senang dan tidak segan.


Sejumlah sikap tawadhu Rasulullah sawa diungkap oleh KH Zakkya Mubarak (2022). Penulis buku Riyadhul Mu’min itu menjelaskan bahwa Sahabat Anas meriwayatkan suatu hadits yang menjelaskan, Nabi selalu menyampaikan salam meskipun kepada anak-anak kecil. Hadits riwayat Bukhari menjelaskan, "Dari Anas ra sesungguhnya Rasulullah saw melewati beberapa anak kecil, maka beliau mengucapkan salam pada mereka."


Masih diriwayatkan Anas ra bahwa, "Ada kalanya wanita-wanita pelayan di kota Madinah memegang tangan Nabi saw dan membawa ke mana ia suka." (HR Bukhari) 


Rasulullah Muhammad saw biasa membantu pekerjaan rumah tangganya, membantu istri dan keluarganya. Hal itu didasarkan pada keterangan Sayyidah ‘Aisyah ra meriwayatkan, "Dari Aswad ra aku bertanya Aisyah ra: "Apa yang dilakukan Nabi saw terhadap keluarganya? Aisyah menjawab: "Bahwa Nabi saw membantu keluarganya, apabila tiba waktu shalat, beliau segera keluar rumah untuk mengerjakannya." (HR Bukhari) 


Demikian besarnya penghormatan dan kasih sayang Nabi terhadap orang-orang kecil, sehingga terkadang menghentikan khutbahnya, karena ada salah seorang sahabatnya yang bertanya masalah agama. Setelah Nabi Muhammad memberikan penjelasan secukupnya beliau naik kembali ke mimbar untuk menyelesaikan khutbahnya.


Para Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Muhammad saw tidak pernah merasa rendah untuk menggembalakan ternak, atau mengambil sebagian kecil dari upahnya. Abi Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, "Allah tidaklah mengutus seorang Nabi kecuali pernah menggembalakan kambing. Bertanya para sahabat: "Dan engkau juga? Nabi menjawab: "Ya aku dahulu menggembalakan kambing milik orang-orang Makkah dengan mendapat upah beberapa Qirath." (HR. Bukhari) 


Tentu saja sikap tawadhu Nabi Muhammad tidak terhingga sehingga sedari kecil ia dikenal dengan akhlak baik dan jujurnya. Nabi Muhammad juga selalu mendatangi undangan meskipun datang dari orang-orang kecil atau rakyat biasa. Beliau senang bergaul dengan orang-orang miskin, membantu mereka, mengantarkan jenazah di antara mereka dan memperlakukan mereka sebaik-baiknya.


Ketawadhuan Nabi Muhammad melekat pada diri sahabat-sahabatnya, termasuk pada pribadi Umar bin Khattab. Maulana Jalaluddin Rumi dalam al-Matsnawi mengisahkan, pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Constantinople datang untuk menghadap khalifah Umar bin Khattab di Madinah. 


Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendikiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah.


"Di manakah istana raja kalian?" tanya sang utusan. Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: "Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa."


Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. "Lalu di manakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?" tanya sang utusan.


"Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?" kata seorang penduduk Madinah.


"Mengapa memang?" tanya sang utusan semakin penasaran. "Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khaththab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda."


Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja. "Beri tahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu," kata sang utusan Romawi.


"Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya."


Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?


Umar berkata: "Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku."


Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya. Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar. (Fathoni Ahmad)