Sirah Nabawiyah

Biografi Abu Bakar: Mendakwahkan Islam hingga Hijrah ke Yatsrib

Kam, 10 September 2020 | 01:00 WIB

Biografi Abu Bakar: Mendakwahkan Islam hingga Hijrah ke Yatsrib

Kaligrafi Abu Bakar as-Shiddiq. (Ilustrasi: thoughtco)

Mendakwahkan Islam
Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq adalah salah satu dari generasi awal yang memeluk Islam (assabiqunal awwalun). Bahkan dia laki-laki pertama yang menerima Islam, setelah Nabi Muhammad. Abu Bakar as-Shiddiq kemudian ikut mendakwahkannya bersama dengan Nabi Muhammad. Keilmuan, kepandaian dalam berdagang, kebaikan dalam bergaul, dan status sosial yang terpandang menjadi modal  penting bagi Abu Bakar untuk mensyiarkan Islam.


Berkat dakwah Abu Bakar, beberapa orang seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Waqash akhirnya menerima Islam pada masa-masa awal. Nantinya, mereka menjadi sahabat utama Nabi Muhammad.

 

Baca juga: Biografi Abu Bakar: Kelahiran hingga Memeluk Islam Tanpa Keraguan


Abu Bakar adalah seorang pemberani. Ia membujuk agar Nabi Muhammad melakukan dakwah secara terang-terangan. Semula Nabi Muhammad tidak memperkenankannya karena jumlah umat Islam yang masih sangat sedikit. Namun beliau akhirnya menyetujuinya setelah didesak Abu Bakar. Maka kaum Muslim mengajak kabilahnya masing-masing. Sementara Abu Abu Bakar berpidato di hadapan masyarakat Makkah dan menyeru mereka untuk memeluk Islam.


Mengetahui hal itu, kaum musyrik Makkah marah. Ahmad Abdul `Al Al-Thahtawi dalam 150 Kisah Abu Bakar Al-Shiddiq (2015), salah satu pembesar mereka, Utbah bin Rabi’ah, kemudian menginjak-injak dan memukuli wajah Abu Bakar hingga babak belur. Beruntungnya, kabilah Abu Bakar, Bani Tamim, datang dan menolong Abu Bakar. Abu Bakar lalu dibawa ke rumah untuk dirawat. Melalui perantara Abu Bakar, sang ibunda—Ummul Khair- juga langsung mengucapkan kalimat syahadat ketika diajak memeluk Islam.

 

Baca juga: Biografi Nabi Muhammad: Kelahiran hingga Masa Remaja (Bagian I)

Baca juga: Biografi Nabi Muhammad: Pernikahan dengan Sayyidah Khadijah hingga Hijrah ke Madinah (Bagian II)


Menyelamatkan kaum lemah dengar hartanya
Dalam Abu Bakar As-Siddiq (Muhammad Husain Haekal, 2004) disebutkan bahwa harta kekayaan yang disimpan Abu Bakar ketika masuk Islam tidak kurang dari 40 ribu dirham. Setelah masuk Islam, ia juga masih terus berdagang dan mendapatkan untung yang banyak. 


Abu Bakar menggunakan semua hartanya itu untuk kepentingan dakwah. Ia melindungi kaum lemah dan budak-budak yang telah masuk Islam dengan hartanya. Agar mereka tidak lagi disiksa majikannya dan diminta untuk meninggalkan Islam, Abu Bakar membeli dan kemudian memerdekakannya. 


Di antara kaum lemah dan budak yang dibebaskan Abu Bakar adalah Bilal bin Rabbah (budaknya Umayyah bin Khallaf), Abu Fukaihah (budaknya Shofwan bin Umayyah), Amir bin Fuhairah (budaknya Thufail bin Abdullah), Ummu Ubais, Nahdiyah dan putrinya (majikannya dari Bani Abd al-Dar), Zinniroh (budaknya Abu Jahal), Labibah, budak perempuan dari Bani Muammal (budaknya Umar bin Khattab), dan lainnya. Para budak tersebut disiksa—ada yang dijemur, ditindih dengan batu punggungnya, dirantai kaki, tangan, dan lehernya, sebelum akhirnya dibebaskan Abu Bakar.


Mengetahui anaknya membebaskan banyak budak dan orang lemah, ayah Abu Bakar mengatakan bahwa bisa saja anaknya itu membebaskan orang-orang kuat dan menjadikannya sebagai pengawal atau pekerjanya. Mendengar pernyataan seperti itu, Abu Bakar menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya yang aku inginkan hanyalah keridhaan Allah.”


Sikap Abu Bakar terhadap peristiwa Isra Mi’raj
Kaum musyrik mengolok-olok Nabi Muhammad yang menceritakan kisah Isra Mi’raj. Bahkan, sebagian yang sudah memeluk Islam pun ada yang ragu dengan kisah Nabi tersebut dan kemudian murtad. Memang, peristiwa Isra Mi’raj tidak akan masuk akal jika dinalar. Karena bagaimana bisa seseorang pada saat itu melakukan perjalanan pulang-pergi dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Madinah—yang jaraknya sekitar 1.800 kilimeter- dan kemudian naik ke Sidratul Muntaha hanya dalam waktu satu malam. Padahal kafilah dagang yang berangkat dari Makkah ke Syam biasanya memakan waktu sebulan untuk berangkat dan sebulan untuk pulang.  

 

Baca juga: Biografi Nabi Muhammad: Istri-istri dan Putra-Putri Nabi (Bagian III)

Baca juga: Biografi Nabi Muhammad: Perang yang Pernah Diikuti dan Kewafatan Nabi (Bagian IV-Habis)


Sikap yang berbeda ditunjukkan Abu Bakar. Setelah Nabi melukiskan keadaan Baitul Maqdis, Abu Bakar langsung percaya dan membenarkan peristiwa Isra Mi’raj yang dilalui Nabi Muhammad itu tanpa ada ragu sedikit pun di dadanya. Karena bagaimana pun juga Abu Bakar pernah pergi ke kota itu. Maka sejak saat ini Nabi Muhammad memanggil Abu Bakar dengan ‘As-Shiddiq’.


Hijrah
Pada tahun setelah kenabian, para sahabat Nabi yang baru memeluk Islam dipersekusi kaum musyrik. Atas kejadian itu, Nabi Muhammad kemudian memerintah para sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Nabi memilih Habasyah sebagai tempat hijrah karena di sana rajanya adil dan tidak pernah mendzalimi seorang pun.


Abu Bakar sebetulnya juga ikut dalam hijrah yang pertama dalam Islam ini. Namun ketika sampai di Bark al-Ghamad—sebuah tempat dari Makkah ke arah Yaman dengan perjalanan sekitar lima hari, Abu Bakar bertemu dengan Ibnu al-Daghnah, seorang kepala suku dari Bani Hawn bin Khuzaimah. 


“Kaumku telah mengusirku. Maka aku ingin keliling dunia agar bisa beribadah kepada Tuhanku,” jawab Abu Bakar ketika ditanya Ibnu al-Daghnah hendak pergi ke mana. Ibnu al-Daghnah akhirnya meminta Abu Bakar agar tidak jadi hijrah ke Habasyah. Karena menurutnya, Abu Bakar adalah orang yang bekerja untuk kaumnya yang miskin, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang lemah, menjamu tamu, dan selalu menolong dalam kebenaran. 


“Seharusnya orang sepertimu tidak patut keluar atau diusir,” kata Ibnu al-Daghnah. Dia juga bersedia menjadi pelindung Abu Bakar. Setelah berdialog dengan al-Daghnah, Abu Bakar akhirnya tidak jadi berhijrah ke Habasyah.


Beberapa tahun setelahnya, terutama setelah Abu Thalib (619 M) dan Sayyidah Khadijah (620 M) wafat, kondisi umat Islam semakin terjepit di Makkah. Kaum musyrik semakin terang-terangan memusuhi Nabi Muhammad dan umatnya. Kemudian pada 622 M, Allah memerintah Nabi Muhammad dan umat Islam untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah). 


Abu Bakar memiliki andil yang besar dalam perjalanan hijrah Nabi ke Yatsrib. Unta yang dinaiki Nabi untuk berhijrah adalah untanya Abu Bakar—semula unta tersebut hendak diberikan secara gratis, namun Nabi Muhammad tidak mau dan kemudian membelinya. Orang yang menghapus jejak kaki Nabi Muhammad dan Abu Bakar agar tidak bisa dilacak kaum musyrik adalah pegawai Abu Bakar, Amir bin Fuhaira. Di tengah perjalanan, Abu Bakar memerintahkan putranya yang ikut serta dalam rombongongan, Abdullah, kembali ke Makkah untuk menghimpun informasi. 


Lebih dari itu, Abu Bakar terus menemani Nabi Muhammad dari Makkah hingga tiba di Madinah. Termasuk ketika bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari kaum musyrik. Di sini, kaki Abu Bakar digigit ular setelah dia menutup lubang ular dengan kakinya, agar Nabi bisa tidur dengan tenang. 


Abu Bakar di Madinah
Salah satu langkah yang diambil Nabi Muhammad ketika tiba di Madinah adalah mempersaudarakan kaum Muhajiri (Muslim Makkah) dengan kaum Ansor (Muslim Madinah). Hal ini dilakukan Nabi Muhammad untuk memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam sehingga mereka tidak mudah bertikai dan berperang.


Abu Bakar sendiri dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid dari Bani al-Harits dari Suku Khazraj. Dia tinggal bersama keluarga Kharijah di Sunh, pinggiran Kota Madinah. Pada awal-awal tinggal di Madinah, Abu Bakar—sama seperti kaum Muhajirin- sempat terkena demam. Hal itu disebabkan karena perbedaan iklim udara; udara di Makkah kering dan sahara, sementara udara di Madinah lembab.  


Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang banyak mendampingi Nabi Muhammad, baik dalam peperangan maupun ketika berada di dalam Kota Madinah. Termasuk ketika dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Pada saat itu, banyak umat Islam—termasuk Umar bin Khattab- yang marah dengan perjanjian itu. Mereka menilai, perjanjian itu sangat merugikan umat Islam dan menguntungkan kaum musyrik. Namun sikap berbeda lagi-lagi ditunjukkan Abu Bakar. Dia percaya dan yakin dengan kebijaksanaan Nabi Muhammad—yang menyetujui perjanjian itu. Maka setelah itu, Allah menurunkan QS Al-Fatih—yang menunjukkan bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenang nyata bagi umat Islam.    


Pada tahun ke-9 H, umat Islam berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji. Nabi sendiri tidak ikut pada rombongongan haji tahun ini. Beliau baru berhaji pada tahun ke-10 H. Pada haji tahun ke-9 H itu, beliau mengutus Abu Bakar menjadi Amir al-Hajj, memimpin rombongan umat Islam dari Madinah ke Makkah untuk melaksanakan haji. 

Pada tahun ke-11 H, kondisi kesehatan Nabi Muhammad semakin menurun beberapa bulan setelah kepalanya sakit usai dari Baqi'. Beliau menderita sakit yang cukup parah sehingga membuat para keluarga dan sahabatnya bersedih dan khawatir. Meski begitu, Nabi Muhammad masih tetap menjadi imam shalat lima waktu. 


Merujuk buku Sirah Nabi (Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012), pada hari-hari terakhirnya Nabi Muhammad hendak pergi ke masjid untuk mengimami Shalat Isya. Namun karena kondisinya yang tidak memungkinkan, beliau akhirnya pingsan. Setelah bangun, beliau berupaya untuk berangkat ke masjid lagi. Namun Lagi-lagi pingsan. Hal ini berlangsung hingga tiga kali.


Akhirnya Nabi Muhammad meminta Abu Bakar as-Shiddiq untuk menjadi imam shalat, menggantikan posisis beliau yang tidak sanggup mengimami lagi. Maka sejak saat itu, Abu Bakar menjadi imam shalat di Masjid Nabawi. Total ada 17 shalat di mana Abu Bakar menjadi imam dan Nabi Muhammad masih hidup.  


Pada hari terakhir, Nabi Muhammad merasakan kalau kondisinya membaik. Demam yang menyergap tubuhnya selama ini menjadi reda. Beliau kemudian menuju ke masjid untuk mengerjakan Shalat Shubuh. Nabi Muhammad dibopong Ali bin Abi Thalib dan al-Fadhl bin Abbas ketika hendak menuju masjid. Para sahabat gembira sekali ketika melihat kondisi Nabi Muhammad yang membaik sehingga bisa datang ke masjid.  


Abu Bakar yang sudah mengambil posisi imam shalat hendak mundur setelah melihat kedatangan Nabi Muhammad. Ia mempersilahkan Nabi Muhammad untuk mengimami Shalat Shubuh, namun Nabi Muhammad tidak berkenan. Beliau meletakkan tangannya di pundak Abu Bakar dan memintanya tetap menjadi imam shalat. Dan Shalat Shubuh ini menjadi shalat terakhir Nabi Muhammad bersama para sahabatnya. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu atau Ahad di hari-hari terakhir wafatnya Nabi.


Penulis: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad