Sirah Nabawiyah

Cara Rasulullah Mengelola Kekayaan Alam

Ahad, 21 Oktober 2018 | 23:00 WIB

Rasulullah adalah seorang pemimpin negara, selain sebagai pemimpin agama (Nabi dan Rasul Allah). Ia menjadi pucuk pimpinan ‘negara Madinah.’ Maka apapun yang menjadi urusan masyarakat Madinah, secara otomatis juga menjadi tanggung jawab Rasulullah. Termasuk dengan masalah ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam ‘negara Madinah.’

Lalu, bagaimana cara Rasulullah mengelola kekayaan alam yang ada Madinah dan wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Pertama, bagi hasil. Dalam kitab Zaadul Ma’ad, sebagaimana dikutip kitab Syakhshiyah Ar-Rasul, diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah hendak mengusir kaum Yahudi dari Khaibar karena mereka mengkhianati perjanjian bersama, Piagam Madinah. 

Namun, kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah agar mereka tetap diizinkan untuk tinggal di Khaibar. Alasannya, mereka akan mengolah dan memelihara tanah Khaibar. 

“Karena kami lebih mengetahui tentangnya (tanah Khaibar) daripada kalian,” kata kaum Yahudi meyakinkan Rasulullah. 

Karena tidak memiliki orang yang cukup dan keahlian –yang lebih baik dari kaum Yahudi- di bidang pengolahan tanah, akhirnya Rasulullah membiarkan kaum Yahudi untuk tinggal di Khaibar dan mengolah tanahnya. Namun Rasulullah memberikan syarat, yaitu setengah hasil kekayaan tanah Khaibar, baik buah atau pun sayuran, untuk kaum Muslim. Sedangkan setengah sisanya untuk kaum Yahudi.   

Kedua, dikelola orang lain sampai waktu tertentu. Dalam kasus kaum Yahudi di Khaibar di atas, Rasulullah tidak hanya memberikan syarat bagi hasil bagi kaum Yahudi tapi juga membatasinya dalam jangka waktu tertentu. 

Rasulullah sadar bahwa pada saat itu memang tidak ada kaum Muslim yang memiliki keahlian lebih baik dari kaum Yahudi dalam hal mengelola tanah Khaibar. Namun Rasulullah sadar bahwa suatu saat pasti ada kaum Muslim yang memiliki keahlian di bidang tersebut. Sehingga Rasulullah hanya mengizinkan kaum Yahudi untuk tinggal di Khaibar dan mengolah tanahnya dalam jangka waktu yang diinginkannya, tidak terus-terusan. 

Alasan Rasulullah membiarkan dan mengizinkan kaum Yahudi tinggal di Khaibar adalah untuk membangkitkan pemanfaatan tanah produktif sebaik-baiknya dan meningkatkan semangat aktivitas ekonomi pertanian masyarakat setempat, tidak lebih.

Ketiga, menghidupkan lahan yang mati. Rasulullah selalu menyerukan kepada para sahabatnya untuk menghidupkan tanah-tanah yang tidak dikelola. Rasulullah tidak membiarkan ada lahan sejengkal pun di wilayah kekuasaan umat Islam yang mati atau tidak dikelola.

“Barang siapa menghidupkan lahan yang mati, maka ia adalah miliknya,” kata Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya Muwattha’.

Dalam hadits lain, Rasulullah juga mendorong agar para kaum Muslim menanam suatu tanaman atau menaburkan benih di atas lahan-lahan kosong. Mengapa? Karena siapapun yang memakan hasilnya itu –baik manusia atau pun hewan- maka yang menaman atau menabur akan mendapatkan pahala sedekah.

“Siapapun Muslim yang menanamkan suatu tanaman atau menabur suatu benih, kemudian hasilnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, melainkan ia menjadi sedekah baginya,” kata Rasulullah.

Demikian cara Rasulullah mengelola kekayaan alam di wilayah yang dikuasainya dan umat Islam. Memang, kekayaan alam pada zaman Rasulullah tidak lah se-kompleks seperti saat ini. Dulu kekayaan alam hanya yang tampak di atas permukaan tanah, saat ini kekayaan alam yang lebih melimpah ada di dalam bumi seperti emas, timah, batubara, gas, minyak, dan lainnya.  

Namun demikian, secara garis besar Rasulullah telah memberikan ‘panduan kebijakan’ tentang bagaimana cara mengelola kekayaan alam. Yakni kekayaan alam harus dikelola untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk perorangan atau kelompok. (A Muchlishon Rochmat)