Sirah Nabawiyah

Dasar Relasi Antarumat Beragama adalah Damai

Jum, 6 Agustus 2021 | 13:30 WIB

Dasar Relasi Antarumat Beragama adalah Damai

Nabi membangun masyarakat majemuk atas dasar kehendak hidup damai secara bersama dan setara. Bukan atas perdamaian semu atas dasar diskriminasi di bawah payung dominasi Muslim. (Ilustrasi: Wikihow)

Seorang sejarawan Islam kontemporer bernama Ahmad Ma’mur Asiry dalam karyanya Mujir al-Tarikh al-Islami min ‘Ahdi Adam ila ‘Ashrina al-Hadlir, menyampaikan bahwa:

 

كان بالمدينة ثلاث طوائف: المسلمون، والعرب غير المسلمين، واليهود (بنو النضير وبنو قريظة وبنو قينقاع)، فوضع الرسول - ﷺ - معاهدة لضمان الأمن والسلام، ولخلق جو من التعاون والتسامح بين هذه الطوائف

 

"[Saat Piagam Madinah ditandatangani] di kota itu terdapat tiga golongan besar, yaitu kaum Muslimin, orang Arab non-Muslim, dan kaum Yahudi (Bani Nadlir, Bani Quraidhah, dan Bani Qainuqa). Untuk mempersatukan mereka, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan fondasi kesepahaman jaminan keamanan harta benda dan keselamatan jiwa, menciptakan iklim masyarakat untuk saling tolong-menolong dan toleransi.” (Mujir al-Tarikh al-Islamy min ‘Ahdi Adam ila ‘Ashrina al-Hadlir, juz 1, h. 70)

 

Di dalam manuskrip yang berjudul al-Siyasatu al-Syar’iyyah, juz 1, halaman 782, disebutkan bahwa akad jaminan keamanan dan keselamatan jiwa ini, pada awalnya tidak dibangun di atas landasan akad dzimmah (jaminan perlindungan karena patuh pada pemerintahan Islam, red), melainkan akad mu’ahadah (kesepakatan untuk hidup bersama secara damai, red), tanpa ada keterikatan salah satu pihak untuk menyerahkan upeti kepada pihak lainnya.

 

Dengan mencermati akan hal ini maka tidak heran bila kemudian para ulama Ahlussunnah wa al-Jamaah menyatakan bahwa landasan utama relasi sosial antarmanusia adalah damai. Syekh Mahmud Abu Zahrah (w. 1394 H) di dalam Khatam al-Nabiyyin shalallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, juz 2, h. 520 menyatakan:

 

ولأن الأصل في العلاقة هو السلم، والحرب لا تكون إلا إذا دفعت إليها ضرورة رد الاعتداء بمثله مع التزام الفضيلة كما ذكرنا، وإذا كانت الموادعة فقد زالت ضرورة الحرب، والضرورة تقدر بقدرها

 

"Karena sesungguhnya landasan relasi sosial antarmanusia itu adalah damai maka perang tidak dilakukan kecuali karena adanya kondisi darurat berupa menolak serangan musuh dengan kekuatan yang sepadan bersama tetap menjunjung nilai-nilai keutamaan. Dan apabila dengan muwada’ah (gencatan senjata) sifat daruratnya perang itu bisa dihilangkan maka intensitas kedaruratan pertahanan dari serangan tersebut harus ditakar ulang.” (Khatam al-Nabiyyin shalallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, juz 2, h. 520).

 

Pendapat senada dengan Syekh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) juga disampaikan oleh sejarawan Nadiyah Syarif al-Umary di dalam karyanya yang berjudul Adlwa’un ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283:

 

يتبين مما تقدم أن القتال في الإسلام ما هو إلا وسيلة لحماية الدعوة والدعاة من العدوان، وإن أصل العلاقات الدولية في اعتبار الإسلام السلم والسلام

 

"Berdasarkan penjelasan di atas maka jelas tampak bahwasanya sesungguhnya peperangan/konfrontasi di dalam Islam adalah semata hanya merupakan wasilah guna menjaga eksistensi dakwah dan melawan serangan musuh. Fondasi sebenarnya dari relasi antarumat beragama dalam aspek kenegaraan adalah damai dan keselamatan” (Adlwa’u ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283).

 

Pertanyaannya kemudian, apakah upaya rekonsiliasi damai dengan agama lain ini merupakan yang wajib dilakukan oleh Muslim ketika mereka dalam kondisi mendominasi dan menjadi mayoritas, atau sebaliknya ketika mereka dalam kondisi sedang lemah? Pertanyaan ini penting mengingat sebagian masyarakat ada yang menganggap bahwa relasi antara kedua pemeluk agama yang berbeda adalah senantiasa bersitegang.

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya menarik untuk menyimak penafsiran dari salah seorang mufasir kenamaan, Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:

 

فَإنِ انتَهَوْا فَلا عُدْوانَ إلاَّ عَلى الظّالِمِينَ

 

"Ketika mereka telah berhenti maka tiada lagi perlawanan kepada mereka, terkecualii atas pihak-pihak yang telah berlaku aniaya.”

 

Dalam hal ini, dengan menukil perkataan dari Mujahid (seorang mufassir dari kalangan Tabi’in), Ibnu Katsir menyampaikan penjelasan tentang ayat ini sebagai berikut:

 

فإن انتهوا عما هم فيه من الشك وقتال المؤمنين فكفوا عنهم، فإن من قاتلهم بعد ذلك فهو ظالم ولا عدوان إلا على الظالمين، وهذا معنى قول مجاهد: لا يقاتل إلا من قاتل

 

“Apabila mereka (kaum kafir) telah berhenti dari apa yang mereka ragukan, dan mengakhiri konfrontasinya terhadap kaum mukminin maka tahanlah diri kalian dari mereka. Sesungguhnya orang yang memerangi mereka setelah penghentian konfrontasi tersebut adalah pihak yang telah berlaku aniaya. Tiada permusuhan lagi ditujukan melainkan atas pihak-pihak yang telah berbuat aniaya. Inilah makna yang dikehendaki oleh Mujahid ketika menyebut: tiada perang melainkan kepada pihak yang sengaja memerangi.” (Tafsir Al-Qur’an al-Adhim li Ibn Katsir, juz 1, h. 227)

 

Penafsiran Ibn Katsir ini senada dengan bunyi Firman Allah SWT di dalam ayat lain:

 

وقاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقاتِلُونَكُمْ ولا تَعْتَدُوا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ المُعْتَدِينَ

 

"Dan berperanglah kalian di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi mereka, namun jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah SWT tidak mencintai kaum yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah: 190)

 

Di dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

 

الَّذِينَ عاهَدْتَ مِنهُمْ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وهُمْ لا يَتَّقُونَ، فَإمّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِي الحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِمْ مَن خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ، وإمّا تَخافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيانَةً فانْبِذْ إلَيْهِمْ عَلى سَواءٍ إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الخائِنِينَ

 

“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Q.S. Al-Anfal: 56-58)

 

Di dalam ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa peperangan hanya ditujukan atas pihak yang melampaui batas. Sementara di dalam QS Al-Anfal, Allah menegaskan termasuk bagian dari pihak yang diperangi adalah pihak yang melanggar perjanjian serta berlaku khianat terhadap isi kesepakatan.

 

Alhasil, dengan berpedoman pada keterangan di atas, sikap toleransi umat Islam senantiasa mengacu pada fondasi kehidupan damai dan selamat, tidak hanya ketika mereka sedang menjadi minoritas saja maupun saat mereka menjadi mayoritas/mendominasi. Itu sebabnya, sejarawan Nadiyah Syarif al-Umary juga berani menarik sebuah kesimpulan bahwa:

 

الإذن بقتال قوى الشر متمثلة باليهود والنصارى الذين تكتلوا ووقفوا ضد الدعوة الإسلامية ومنعوا الناس من الدخول في دين الله

 

"Hadirnya izin dalam Islam untuk melakukan konfrontasi terhadap kaum Yahudi dan Nasrani adalah terhadap mereka yang berusaha membatalkan dan menghentikan dakwah Islam saja, serta melarang masyarakat dari masuk ke dalam agama Allah (Islam).” (Adlwa’u ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283).

 

Wallahu a’lam bish-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur