Sumpah Ila, Sejarah Kelam Hubungan Suami Istri Pra-Islam
NU Online · Selasa, 8 Juli 2025 | 14:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Dalam bab-bab yang disajikan kitab-kitab fiqih, pembahasan tentang sumpah ila’ merupakan salah satu bahasan yang menarik untuk dikaji, tidak hanya karena ia menjadi hukum yang diatur oleh syariat dengan ketat, tetapi juga karena memiliki akar sejarah yang ada sejak zaman Jahiliyah. Di masa sebelum Islam datang, ila’ menjadi salah satu bagian dari cerai, di mana orang-orang di masa Jahiliyah mencerai istrinya dengan cara sumpah ila’.
Secara sederhana, ila’ dapat dipahami sebagai sumpah seorang suami untuk tidak bersetubuh dengan istrinya selama empat bulan hingga lebih, atau bahkan selamanya. Jika kurang dari waktu minimal empat bulan, maka hal tersebut tidak disebut sebagai ila’. Contoh seorang suami berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menyentuhmu selama empat bulan!” atau ““Demi Allah, aku tidak akan menyentuhmu lagi selamanya!”
Ila’ hukumnya haram, bahkan menurut salah satu pendapat yang dikutip oleh Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi termasuk dari dosa besar, meski pendapat yang lebih diunggulkan menyatakan dosa kecil, namun tetap saja hukumnya haram untuk dilakukan kepada istri. (Hasyiyah I’anah at-Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 1997 M], jilid IV, halaman 39).
Sebab secara logika sederhana, bagaimana bisa tidak haram jika seorang suami yang sah untuk berhubungan badan dengan istrinya bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengannya, tetapi juga tidak mau menceraikannya. Jadi sederhananya, ila’ itu adalah membiarkan istri tanpa mendapatkan hak batinnya, tetapi juga tidak membolehkannya menikah dengan orang lain.
Nah, inilah salah satu tradisi buruk yang sangat merugikan bagi wanita dan dipraktikkan di masa pra-Islam. Orang-orang Jahiliyah melakukannya kepada istri-istri mereka, dan menjadikan sumpah ila sebagai salah satu dari ucapan untuk menceraikan istrinya. Merujuk penjelasan Imam Abul Hasan al-Mahamili asy-Syafi’i (wafat 415 H), terdapat tiga cara orang-orang pra-Islam menceraikan istrinya, yaitu dengan talak, zihar, dan ila’. Dalam salah satu kitabnya dijelaskan,
كَانَ طَلاَقُ الْجَاهِلِيَّةِ ثَلاَثَةً: الطَّلاَق، وَالظِّهَار، وَالْإِيْلاَء، فَنُسِخَ الْإِيْلاَءُ وَالظِّهَارُ، وَبَقِيَ الطَّلاَقُ
Artinya, “Talak pada masa Jahiliyah ada tiga macam, yaitu: (1) talak; (2) zihar; dan (3) ila’. Kemudian ila’ dan zihar di-nasakh (dihapus hukumnya), sedangkan talak tetap berlaku.” (al-Lubab fil Fiqhis Syafi’i, [Madinah: Dar Bukhari, 1416 H], jilid I, halaman 333).
Di-nasakh atau dihapus hukumnya tidak berarti Islam membuang ila’ secara cuma-cuma, tetapi tidak menjadikannya sebagai talak. Artinya, orang yang bersumpah ila’ tidak sedang mentalak istrinya. Hanya saja, jika ia menyesali sumpah tersebut dan hendak menggauli istrinya kembali, maka sang suami harus membayar kafarat sumpah.
Selain itu, ada beberapa hal yang juga Islam rubah dalam praktik ila’, salah satunya adalah waktunya. Di masa sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliyah biasa melakukan sumpah ila’ kepada istrinya selama setahun, dua tahun hingga bertahun-tahun, tetapi mereka juga tidak menceraikannya.
Dan setelah datangnya Islam, kebiasaan ini diubah dan menetapkan masa paling lama ila’ hanyalah empat bulan. Setelah itu, jika sang suami tidak memberikan kejelasan pada istri, maka hakim berhak memaksanya untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap bersama istrinya dan harus membayar kafarat, atau menceraikannya.
Penjelasan ini sebagaimana dicatat oleh Imam al-Qurthubi (wafat 671 H) mengutip pendapat Abdullah bin Abbas, dalam kitab tafsirnya disebutkan:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ: كَانَ إِيْلاَءُ الْجَاهِلِيَّةِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَأَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، يَقْصُدُوْنَ بِذَلِكَ إِيْذَاءَ الْمَرْأَةِ عِنْدَ الْمسَاءَةِ ، فَوَقَّتَ لَهُمْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ، فَمَنْ آلَى بِأَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ فَلَيْسَ بِإِيْلاَءٍ حُكْمِيٍّ
Artinya, “Abdullah bin Abbas berkata: Ila’ di masa Jahiliyah bisa berlangsung satu tahun, dua tahun, atau lebih dari itu. Mereka bermaksud menyakiti perempuan ketika tidak harmonis. Maka (Islam) menetapkan batas waktu bagi mereka selama empat bulan. Siapa bersumpah ila’ kurang dari itu, maka tidak termasuk ila’ secara hukum.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Dar Alamil Kitab, 2003 M], jilid III, halaman 103).
Dengan demikian, maka praktik ila’ pada hakikatnya bukanlah sebuah praktik yang muncul belakangan. Ia sudah ada dan sering dilakukan sejak sebelum wahyu turun kepada Nabi Muhammad, di mana pada masa itu laki-laki boleh melakukan apa saja kepada istri-istrinya. Namun, apa sebenarnya yang melatarbelakangi masyarakat di masa itu melakukan ila’ kepada istri-istri mereka? Mari kita bahas.
Penyebab Sumpah Ila’
Pada masa Jahiliyah, ila’ sering disalahgunakan sebagai alat untuk menyiksa perempuan tanpa menceraikannya. Seorang suami yang sudah tidak menginginkan istrinya, tetapi juga tidak mau membiarkannya menikah dengan orang lain, akan bersumpah untuk tidak mencampurinya selamanya.
Akibatnya, sang istri terjebak dalam status ambigu. Ia tidak menjadi janda yang bebas menikah lagi, tetapi juga tidak diperlakukan sebagai istri yang sah. Tidak mendapatkan nafkah lahir, tidak juga mendapatkan nafkah batin. Tentu saja, praktik semacam ini jelas merugikan perempuan dan mencerminkan betapa tidak berharganya wanita di masa pra-Islam.
Islam kemudian datang dengan aturan ila’ yang lebih adil, membatasi masa ila’ hanya selama empat bulan, serta menghapus kebiasaan buruk Jahiliyah yang membiarkan perempuan menderita tanpa kepastian. Jika setelah itu suami tetap tidak kembali kepada istrinya, maka hakim dapat memutuskan perceraian.
Penjelasan di atas sebagaimana disampaikan oleh Imam Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi (wafat 467 H), dalam salah satu kitab tafsirnya dijelaskan:
كَانَ ذَلِكَ مِنْ ضِرَارِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ، كَانَ الرَّجُلُ لَا يُرِيْدُ الْمَرْأَةَ وَلاَ يُحِبُّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا غَيْرَهُ يَحْلِفُ أَلاَّ يَقْرَبَهَا أَبَداً، وَكَانَ يَتْرُكُهَا كَذَلِكَ لاَ أَيّمًا وَلاَ ذَاتَ بَعْلٍ، وَكَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَفِي الْإِسْلاَمِ، فَجَعَلَ اللهُ الْأَجَلَ الَّذِي يُعْلَمُ بِهِ عِنْدَ الرَّجُلِ فِي الْمَرْأَةِ وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ
Artinya, “(Ila’) itu termasuk tindakan menyakiti (dharar) orang-orang Jahiliyah. Seorang yang lelaki tidak menginginkan seorang wanita, namun juga tidak suka jika wanita itu dinikahi oleh orang lain, maka ia bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya. Kemudian ia membiarkannya dalam keadaan demikian, tidak sebagai janda dan tidak pula sebagai istri yang sah hidup bersama suaminya.
Mereka melakukan hal ini di masa Jahiliyah dan juga di masa (awal) Islam. Maka Allah pun menetapkan batas waktu jelas yang dapat diketahui oleh seorang lelaki terhadap istrinya, yaitu empat bulan." (al-Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an, [Lebanon: Darul Ihya at-Turats, 2002 M], jilid II, halaman 168).
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi ila’ merupakan warisan Jahiliyah yang mencerminkan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan pada masa pra-Islam. Bagaimana tidak, suami menahan hak biologisnya tanpa memberi kepastian perceraian, sehingga istri terjebak dalam keadaan yang membingungkan.
Praktik ini merupakan warisan buruk Jahiliyah yang sering disalahgunakan untuk menyiksa perempuan kala itu, di mana suami bersumpah tidak mendekati istri selama beberapa tahun atau bahkan selamanya tanpa berniat menceraikannya, sehingga istri tidak bisa menikah lagi namun juga tidak memperoleh haknya.
Kemudian Islam datang tidak dengan membiarkan tradisi itu hidup, melainkan dengan menatanya secara adil. Ila’ memang tidak dihapus secara total, namun tidak lagi dianggap sebagai bentuk talak. Islam menetapkan waktu maksimal empat bulan bagi seorang suami untuk menentukan sikap apakah akan kembali kepada istri dengan membayar kafarat sumpah, atau menceraikannya secara baik. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
3
Asyura, Tragedi Karbala, dan Sentimen Umayyah terhadap Ahlul Bait
4
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
5
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
6
I'tikaf hingga Khataman Al-Qur'an, Kebiasaan Gus Baha di Bulan Muharram
Terkini
Lihat Semua