Dinasti Idrisiyyah: Arabisasi Maroko dan Medan Perang Proksi Fatimiyyah-Umawiyyah
NU Online · Jumat, 6 Juni 2025 | 15:00 WIB
Rifqi Iman Salafi
Kolomnis
Daulah Bani Idrisiyyah adalah sebuah kerajaan Islam Syi’ah-Zaidiyyah di ujung Barat-Laut Benua Afrika yang berkuasa pada periode 172-375 H. Nama kerajaan ini dinisbatkan pada pendirinya, Idris bin ‘Abdullah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (w. 177 H). Wilayahnya hampir setara dengan Kerajaan Maroko modern dan sebagian wilayah Barat Alajazair dengan ibu kota Walili (788 M-808 M), berpindah ke Fez (808-927 M), dan kemudian Hajar al-Nasar (927-985 M) (Raghib as-Sirjani, al-Mawsu’ah al-Muyassarah fit Tarikh al-Islami, [Kairo: Iqra’, 2014], Jilid I, hal, 319).
Sejarah pendirian
Ahlu Bait yang dipimpin al-Husein bin ‘Ali al-‘Abid menderita kekalahan atas pasukan Dinasti ‘Abbasiyah di Perang Fakhkh (169 H). Dua orang anggota Ahlul Bait, Idris bin ‘Abdullah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan saudaranya, Yahya, sanggup menyelamatkan diri. Idris melarikan diri ke daerah Maroko, dan kemudian berjumpa dengan pembesar Awraba (salah satu suku bangsa Barber), Ishaq bin Mahmud ‘Abdul Hamid. Meski berbeda aliran, Idris menganut Syi’ah-Zaidi sementara Ishaq menganut Muktazilah, hal ini tak menghalangi Ishaq untuk membaiat Idris sebagai pemimpinnya. Ia membaiat Idris pada 172 H dan mendirikan kerajaan di Walili (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 319).
Baca Juga
Sejarah Cadar di Masa Dinasti Murabithun
Idris berhasil mempersatukan rakyatnya yang terdiri dari pelbagai suku bangsa dan aliran keagamaan. Ia menunjuk banyak tokoh dari suku Awraba untuk menjadi menteri-menterinya. Ia juga sukses menggalang kekuatan militer yang kuat dengan sokongan tentara-tentara suku Zanata, Awraba, Shanhaja, dan Hawara. Pada periode kepemimpinannya, Kota Tlemencen dapat ditaklukkan. Penaklukkan ini memperkokoh kedudukan Emirat Maroko yang sedang Idris I bangun (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 319).
Para amir
Selama dua ratus tahun lebih berkuasa, Dinasti Bani Idrisiyyah dipimpin 13 amir. Mereka adalah Idris bin ‘Abdullah/Idris I (172-177 H), Idris bin Idris bin ‘Abdullah/Idris II (177-213 H), Muhammad bin Idris bin Idris (213-221 H), Ali bin Muhammad bin Idris/Ali I (221-234 H), Yahya bin ‘Ali/Yahya I (234 H), Yahya bin Muhammad,Yahya II (234-250 H), ‘Ali bin ‘Umar bin Idris II (250-265 H), Yahya bin al-Qasim bin Idris II/Yahya III (265-292 H), Yahya bin Idris bin ‘Umar bin Idris II/Yahya IV (292-310 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Qasim bin Idris II (310-312 H), al-Qasim bin al-Hasan bin Muhammad (312-337 H), Ahmad Abu al-‘Aysy (337-348 H), dan Muhammad bin al-Qasim bin al-Hasan (348-375 H) (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 321).
Usaha Pembubaran Emirat Maroko
Masa kekuasaan Idris I berakhir dengan tragis. Ia diracun oleh agen utusan Harun ar-Rasyid (raja Dinasti ‘Abbasiyah), al-Syammakh. Riwayat Emirat Maroko yang baru seumur jagung hampir tamat hingga lahir anak Idris I yang juga diberi nama Idris sesaat setelah ayahnya meninggal.
Mantan budak Idris I, Rasyid, melindungi Idris II hingga ia akhirnya Idris II dibaiat pada usia sepuluh tahun. Meski memulai masa kepemimpinan di usia yang teramat belia, Idris II mampu membawa Kota Fez menjadi kiblat kemajuan pada zamannya. Kota ini banyak dikunjungi para pelancong dari berbagai penjuru dunia Islam, mulai dari Andalusia di Timur hingga Asia Tengah di Barat (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 319).
Jejak peninggalan
Daulah Dinasti Idrisiyyah meninggalkan jejak demografis yang kentara di Maroko. Dinasti ini, terutama Idris II, bertanggungjawab atas arabisasi besar-besaran tanah orang-orang Barber itu. Jika Idris I banyak menyerahkan posisi-posisi strategis di kerajaan pada bangsa Barber, maka Idris II lebih condong kepada bangsa nenek moyangnya, bangsa Arab. Ia mengangkat perdana menteri dan qadi dari kalangan Arab.
Untuk semakin meneguhkan dominasi bangsa Arab, ia memindahkan pusat kekuasaannya dari Walili yang didominasi bangsa Barber ke Fes. Di sana, ia membangun pemukiman baru yang dinamai al-‘Aliya. Idris II mengembangkan Fes menjadi kota yang lebih daripada hanya sekedar kota perdagangan.
Idris II menginisiasi gerakan ini dengan mendatangkan kurang lebih 500 keluarga berbangsa Arab dari seluruh penjuru Dunia Arab dalam dua gelombang (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 320). Pada gelombang pertama (818 M), imigran Arab datang dari Kordoba. Sementara pada gelombang kedua (824 M), imigran Arab datang dari wilayah yang saat ini masuk ke Tunisia (Jamil Abu al-Nasr, A History of the Maghrib in the Islamic Period [Cambridge: Cambridge University Press, 1987], 51-52). Hingga hari ini, menurut Oxford Business Group, populasi bangsa Arab di Maroko menyentuh angka 67% dari total populasi.
Pada masa kekuasaan keluarga Idris juga universitas pertama di dunia dibangun, yakni Universitas al-Qarawiyyin. Embrio dari universitas tertua di dunia ini adalah sebuah masjid yang didirikan oleh “Umm al-Banin” Fatimah binti Muhammad al-Fihriyyah al-Qurasyiyyah (w. 266 H/880 M). Ia melengkapi masjid yang diinisiasinya dengan perpustakaan yang besar. Masjid ini berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan di Dunia Islam pada masanya (Raghib al-Sirjani, Jilid I, hal, 320).
Keruntuhan
Tahta wangsa Idris mulai goncang ketika Idris II mangkat. Emirat Maroko terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin anak turun Idris. Suksesor Idris II, Muhammad, memimpin Kota Fes. Saudara-saudaranya, Al-Qasim, ‘Umar, dan ‘Isa masing-masing bertahta di Tangier, Rif (Kota Shanhaja dan Ghumara), dan Tamesna. Yahya I, putra Muhammad bin Idris II berkuasa atas Hishn Dai. Hamzah memimpin Walili sementara ‘Ubaydullah memegang kendali di Lamta dan Tamdult. Muhammad bin Sulayman yang merupakan sepupu Idris II menancapkan pengaruhnya di Tlemcen (Michael Brett, “The Arab conquest and the rise of Islam in North Africa” dalam The Cambridge History of Africa, [Cambridge: Cambridge University Press, 1978], hal.553).
Mereka yang sejatinya masih satu famili mewarnai delapan tahun kekuasaan Muhammad dengan perang saudara. Masa tenang hadir kala Muhammad mangkat, dan anak serta cucunya, ‘Ali dan Yahya I menjabat. Keduanya membawa stabilitas keamanan bagi negara selama 13 tahun (Dominique Eustache, “Idrisids” di The Encyclopaedia of Islam, [Leiden: E.J. Brill, 1971], Vol. III, hal. 1035-1037).
Seperti halnya Idris II, Yahya memberikan jabatan-jabatan strategis di kerajaan yang sebelumnya dipegang orang-orang Barber kepada orang-orang Arab. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsa Barber dan kemudian menyulut pemberontakan oleh suku Sufri yang beraliran Khawarij. Mereka berhasil merebut Kota Fes, namun dapat dipukul mundur oleh Yahya III (Dominique Eustache, Vol. III, hal. 1035-1037).
Malangnya, Yahya III yang telah susah payah mengembalikan supremasi keluarga Idris di Fes, dikudeta oleh Yahya bin Idris/Yahya IV. Yahya IV tak kuasa menghadapi gelombang ekspansi Dinasti Fatimiyah yang mengkudetanya dan mengangkat keponakannya, Musa bin Abul ‘Afiya sebagai raja pengganti pada 919/921 M. Wangsa Idris tak putus asa. Salah satu cicit Idris II, al-Hasan berusaha merebut kembali Fes namun perlawanannya dapat dipadamkan oleh Musa bin Abul ‘Afiya. Dengan ini, kuasa keluarga Idris di Fes menemui akhir (Dominique Eustache, Vol. III, hal. 1035-1037).
Tak puas sampai di sini, ekspansi Fatimiyyah yang dipimpin bangsa Miknasa melakukan sweeping anak-turun Idris di seluruh penjuru Maroko. Keluarga Idris mengungsi ke Benteng Hajar al-Nasr di Utara Maroko. Sejak saat itu, keluarga Idris tak benar-benar punya kedaulatan. Mereka bagaikan sebuah kapal kecil yang terombang-ambing oleh dua arus besar saat itu, Dinasti ‘Umayyah yang berpusat di Andalusia dan Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir (Dominique Eustache, Vol. III, hal. 1035-1037).
Dinasti Idrisiyyah, yang berkuasa di Maroko dari tahun 172 hingga 375 H, meninggalkan jejak signifikan dalam sejarah Islam di Afrika Utara melalui arabisasi wilayah Barbar dan pendirian pusat kebudayaan seperti Kota Fez serta Universitas al-Qarawiyyin. Didirikan oleh Idris bin Abdullah, dinasti ini mampu mempersatukan suku-suku lokal di bawah bendera keimanan, meskipun menghadapi berbagai tantangan, mulai dari konflik internal hingga tekanan eksternal dari Dinasti Abbasiyah, Fatimiyyah, dan Umawiyyah.
Keberhasilan Idris I dan Idris II dalam membangun fondasi politik, militer, dan budaya menjadikan dinasti ini mercusuar peradaban pada masanya. Namun, perpecahan internal dan ekspansi Fatimiyyah akhirnya mengakhiri kekuasaan mereka, menjadikan Dinasti Idrisiyyah sebagai simbol ketahanan sekaligus kerentanan dalam dinamika politik Islam awal. Warisan mereka, khususnya dalam arabisasi dan pendidikan, tetap hidup hingga kini, mengukir Maroko sebagai salah satu pusat keilmuan dan kebudayaan dunia Islam.
Ustadz Rifqi Iman Salafi, Alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat.
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua