Sirah Nabawiyah

Hajjaj bin Yusuf dan Kebjiakan Fiskalnya yang Kontroversial

Selasa, 31 Desember 2024 | 19:00 WIB

Hajjaj bin Yusuf dan Kebjiakan Fiskalnya yang Kontroversial

Ilustrasi fiscal policy. Sumber: Canva/NU Online.

Para sejarawan mencatat nama Hajjaj bin Yusuf sebagai sosok pemimpin yang cukup kontroversial, meskipun sebagian menyebutnya memiliki sejumlah kepribadian luhur. Hajjaj merupakan gubernur Irak pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, khalifah Dinasti Umayyah kelima. Salah satu sikap yang memberatkan rakyat adalah soal kebijakan fiskal berupa aturan jizyah. Jizyah yang seharusnya hanya diwajibkan untuk non-Muslim ini ia wajibkan juga kepada rakyat yang telah memeluk Islam.


Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, terdapat sejumlah sumber pendapatan negara yang diperoleh dari rakyat atau dalam konteks modern disebut kebijakan fiskal. Salah satu jenis kebijakan tersebut adalah jizyah, yaitu kewajiban finansial personal yang dikenakan kepada setiap individu dewasa dan mampu dari kalangan ahludz-dzimmah, yaitu non-Muslim seperti Nasrani, Yahudi, Shabi'in, dan Majusi yang tetap memeluk agama mereka.


Besar jizyah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pembayar. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah, tarifnya berkisar antara 12 hingga 48 dirham per tahun, atau setara dengan satu hingga empat dinar. Terkadang jizyah digabungkan dengan beban fiskal lainnya sehingga menjadi satu kewajiban tahunan yang harus dibayarkan oleh seorang individu. Terkait regulasi jizyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyusun kitab khusus yang membahas ini berjudul Ahkamu Ahlidz Dzimmah.


Dalam kehidupan modern, jizyah jarang diterapkan secara eksplisit karena sistem pemerintahan dan hukum di banyak negara Muslim saat ini telah mengalami transformasi menuju model negara bangsa yang lebih modern dan berlandaskan kesetaraan warga negara. Sistem fiskal modern umumnya tidak membedakan berdasarkan agama, tetapi lebih berdasarkan kewarganegaraan atau kemampuan ekonomi.


Kebijakan Kontroversial Hajjaj bin Yusuf

Pada masa akhir Khulafaur Rasyidin dan awal pemerintahan Umayyah, terjadi perubahan besar dalam kepemilikan tanah oleh Muslim Arab. Banyak tanah kharaj yang dikenakan beban fiskal tinggi berubah status menjadi tanah usyur dengan beban fiskal lebih rendah karena pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dimiliki Muslim.


Diketahui, usyur merupakan pajak hasil pertanian yang dikenakan pada Muslim, sebesar 10% jika diairi secara alami atau 5% jika menggunakan irigasi buatan. Sementara kharaj adalah pajak tanah yang dibebankan pada pemilik tanah, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan besaran bervariasi berdasarkan jenis tanah dan hasil panen.


Perubahan ini berdampak pada penurunan pendapatan baitul mal atau kas negara, terutama di era Umayyah. Untuk mengatasi masalah tersebut, Hajjaj bin Yusuf yang merupakan gubernur Irak pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan memberlakukan kebijakan kontroversial yang memberatkan rakyat. Ia menerapkan jizyah kepada mualaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam. Kebijakan ini memicu keresahan besar di masyarakat. 


Banyak penduduk desa memilih hijrah ke kota untuk menghindari beban fiskal tersebut, meskipun Hajjaj memaksa mereka kembali ke desa dan membayar kewajibannya. Kebijakan Hajjaj mendapat dukungan dari beberapa gubernur lainnya, tetapi tidak bertahan lama karena menimbulkan ketidakpuasan yang meluas. Langkah tersebut mencerminkan tantangan keuangan dan sosial yang dihadapi pemerintahan Umayyah dalam menjaga stabilitas ekonomi sekaligus keadilan bagi rakyatnya.


Sejumlah catatan sejarah memang melaporkan perangai Hajjaj sebagai pemimpin yang kontroversial. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah Jilid IX (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, 2015:128) menyebutkan:

 
إن في ثقيف كذابا ومبيرا، وقد ذكرنا شأن المختار بن أبي عبيد، وهو الكذاب المذكور في هذا الحديث، وقد كان يظهر الرفض أولا، ويبطن الكفر المحض، وأما المبير فهو الحجاج بن يوسف هذا، وقد كان ناصبيا يبغض عليا وشيعته في هوى آل مروان بني أمية، وكان جبارا عنيدا مقداما على سفك الدماء بأدنى شبهة.


Artinya, “Sesungguhnya di Tha'if ada seorang pendusta dan seorang yang membinasakan. Kami telah menyebutkan tentang al-Mukhtar bin Abi Ubaid yang merupakan pendusta yang disebutkan dalam hadits ini. Dia awalnya tampak menunjukkan paham rafidhah (syiah), namun menyembunyikan kekufuran yang murni. “


“Adapun yang dimaksud dengan 'yang membinasakan' adalah al-Hajjaj bin Yusuf yang merupakan seorang Nasibi yang membenci Ali dan pengikutnya, serta mengikuti hawa nafsu keluarga Marwan dari Bani Umayyah. Dia adalah seorang tiran yang keras kepala, berani dalam menumpahkan darah hanya dengan tuduhan yang ringan." (hlm. 128)


Reformasi Umar bin Abdul Aziz

Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, segera ia melakukan reformasi besar-besaran yang mengedepankan asas keadilan. Ia merasa muak dengan para pejabat dan pemimpin Dinasti Umayyah sebelumnya yang terlalu banyak membebani rakyat. Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah (T.t.: T.p., 1997: 144), mengutip surat Umar bin Abdul Aziz yang ditujukan untuk Gubernur Kufah, Addi bin Artah, terkait prinsip jizyah yang berkeadilan:


فضع الجزية على من أطاق حملها وخل بينهم و بين عمار الأرض. فإن في ذلك صلاحها لمعاش المسلمين وقوة على عدوعم، وانظر من قبلك من أهل الذمة قد كبرت سنه وضعفت قوته وولت عنه الكاسب فاجر عليه من بيت مال المسـلين ما يصلحه


Artinya, "Ambillah jizyah dari non-Muslim yang mampu membayar dan biarkan mereka terus mengelola tanah mereka. Hal ini akan memberikan manfaat bagi kesejahteraan hidup umat Islam dan memperkuat mereka dalam menghadapi musuh. Khusus Ahli Zimmah yang sudah lanjut usia, lemah, atau tidak mampu mencari nafkah, berilah mereka bantuan sosial dari baitul mal untuk mencukupi kebutuhan mereka (tidak perlu lagi membayar jizyah)” (hlm. 144).


Dari isi surat tersebut dapat dipahami bahwa Umar mengembalikan kebijakan jizyah sesuai prinsip-prinsip Islam yang berkeadilan, yaitu hanya dibebankan kepada non-Muslim sebagai jaminan keamanan. Itu pun hanya diwajibkan pada mereka yang mampu. Bagi yang sudah usia pensiun atau tidak mampu lagi mencari nafkah, Umar justru memberikan mereka bantuan sosial.


Selain itu, Umar juga mengambil langkah tegas dengan memecat pejabat korup termasuk dalam urusan anggaran negara, seperti Osama bin Zaid, Gubernur Mesir, dan Yazid bin Al-Muhallab, Gubernur Khurasan. Bahkan ia dengan tidak segan mencopot keluarga kerajaan yang terlibat dalam kasus penggelapan uang negara.


Meskipun keputusan ini menimbulkan reaksi dari keluarga Umayyah yang merasa dirugikan, Umar tidak gentar sedikit pun. Akibat sikap tegas tersebut, termasuk memecat keluarga kerajaan yang zalim, Umar meninggal dengan tragis. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah Jilid IX (hlm. 205) mencatat bahwa Umar meninggal diracun oleh keluarganya sendiri. 

 

Muhamad Abror, Dosen Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta