Sirah Nabawiyah

Hubungan Dakwah Nabi Muhammad dengan Nabi-Nabi Sebelumnya

Sen, 24 Mei 2021 | 14:30 WIB

Hubungan Dakwah Nabi Muhammad dengan Nabi-Nabi Sebelumnya

Dakwah dan risalah yang disampaikan Nabi Muhammad merupakan penegas dan pelengkap bagi risalah-risalah langit yang telah diturunkan sebelumnya.

Nabi Muhammad ﷺ merupakan Nabi penutup dari para nabi yang diutus oleh Allah ﷻ. Wahyu kenabian yang diterima olehnya sudah final dan tidak bisa diubah kembali, serta tidak ada nabi setelahnya. Ini telah menjadi kesepakatan umum (ijmâ‘) kaum Muslimin dan prinsip agama yang harus diyakini. Namun, diutusnya Nabi Muhammad sebagai pamungkas bukan berarti menghilangkan dan mengganti semua ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Hal itu tergambarkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda:


إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الأنبياءِ من قبلي، كمثل رجل بنى بُنْيَانا فَأحْسَنَه وأَجْمَلَه، إِلا موضعَ لَبِنَة من زاوية من زواياه، فجعل الناسُ يطوفون به، ويَعْجَبون له، ويقولون: هلا وُضِعَتْ هذه اللَّبِنَةُ؟ قال: فأنا اللَّبِنَةُ ، وأَنا خَاتَم النَّبيِّين


Artinya, “Perumpamaan diriku dan para nabi sebelumku tak ubahnya orang yang mendirikan bangunan. Dia memperbagus dan memperindahnya, menyisakan satu ruang untuk batu bata di sebuah sudut. Orang-orang pun mengelilingi bangunan itu dan mengaguminya, lalu berkata, ’Bukankah batu bata ini mesti dipasang?’ Nah, akulah batu bata itu. Akulah penutup para nabi” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Oleh karena itu, Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah berpendapat, bahwa dakwah dan risalah yang disampaikan Nabi Muhammad merupakan penegas dan pelengkap bagi risalah-risalah langit yang telah diturunkan sebelumnya. Terbukti, dakwah para nabi itu didasarkan atas dua hal, yaitu aqidah serta hukum dan akhlak.


Berkaitan dengan aqidah, semua umat Islam tahu bahwa kandungannya tidak pernah berubah sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad ﷺ. Semua nabi dan rasul menyeru manusia untuk beriman pada keesaan Allah dan menyucikan-Nya dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Mereka juga mendakwahkan keimanan pada Hari Akhir, hisab, surga, dan neraka. Semua Nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua itu. Masing-masing hadir untuk membenarkan dakwah nabi sebelumnya dan memberi kabar gembira tentang pengutusan nabi setelahnya. Demikianlah kenabian mereka sampai ke berbagai kaum dan umat agar mereka menegaskan satu hakikat yang diperintahkan untuk disampaikan dan manusia mempunyai tugas untuk tunduk padanya, yakni memeluk agama Allah semata (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah [Beirut: Dar al-Fikr], 2020, h. 49).


Terbukti, dalam Al-Qur’an Allah ﷻ berfirman:


شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ


Artinya, “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya” (QS Asy-Syura: 13).


Menurut Syekh al-Buthi, akan rancu seandainya dakwah para nabi yang jujur itu berbeda-beda dalam perkara aqidah. Sebab, urusan aqidah tergolong pemberitaan, sedangkan pemberitaan tentang sesuatu tidak mungkin berbeda-beda antara penyampai berita yang satu dan penyampai berita yang lain, jika semua penyampai berita itu jujur. Tentu tidak masuk akal jika ada salah seorang nabi yang diutus untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah adalah satu di antara yang tiga. Mahasuci Allah dari perkataan mereka itu. Kemudian, setelahnya diutus seorang nabi lain untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Padahal kedua nabi itu jujur dalam menyampaikan risalah dan berita dari Allah ﷻ.
 


Penjelasan di atas merupakan dakwah yang berkaitan dengan aqidah. Sementara, dakwah yang berkaitan dengan syariat, yakni bentuk hukum yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat, setiap nabi mengajarkan cara yang berbeda-beda. Sebab, syariat tergolong dalam penyusunan, bukan pemberitaan sehingga ia tidak memiliki karakteristik seperti yang telah dijelaskan, berbeda dari aqidah. Karena bagaimanapun, perkembangan zaman serta perbedaan antarumat dan antarkaum pasti mempengaruhi perkembangan dan wujud syariat. Perbedaan itu pasti terjadi karena syariat dilandasi prinsip kesesuaian dengan tuntutan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. Inilah alasannya mengapa setiap nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus khusus untuk umat tertentu, bukan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, hukum syariat masing-masing berlaku secara terbatas dalam bingkai yang sempit, sesuai dengan tuntutan keadaan umat yang bersangkutan (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 49).


Sebagai contoh, Nabi Musa alaihissalam diutus kepada Bani Israil dengan menetapkan syariat sesuai dengan kondisi Bani Israil saat itu, syariat yang sangat keras dan ketat. Nyaris tidak ada kelonggaran di dalamnya. Zaman pun berganti, dan kemudian Allah mengutus di tengah mereka Sayyidina Isa 'alaihissalam. Dia menyampaikan syariat yang lebih mudah dan lebih ringan dibanding syariat sebelumnya yang dibawa Nabi Musa alaihissalam. Mengenai hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an melalui lisan Nabi Isa alaihissalam ketika dia berkata kepada Bani Israil:


وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ


Artinya, “Dan sebagai seorang yang membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan agar aku menghalalkan bagi kamu sebagian dari yang telah diharamkan untukmu” (QS Ali ‘Imran: 50).


Nabi Isa alaihissalam juga menerangkan kepada mereka bahwa berkaitan dengan urusan aqidah, dia membenarkan dan menegaskan keterangan yang ada dalam Taurat. Dia menyampaikan kembali bahwa Tuhan yang harus disembah adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sementara, berkaitan dengan syariat serta hukum halal dan haram, Isa alaihissalam ditugasi untuk melakukan beberapa perubahan dan memudahkan beberapa hal yang sulit serta menghapuskan sejumlah keketatan hukum yang ada dalam syariat sebelumnya. (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 49)


Kesimpulannya, semua nabi dan rasul diutus kepada suatu kaum dengan membawa aqidah dan syariat. Dalam urusan aqidah, masing-masing dari mereka menegaskan aqidah yang diajarkan nabi sebelumnya, tanpa adanya perbedaan atau perubahan. Sedangkan dalam urusan syariat, setiap nabi dan rasul menghapus syariat sebelumnya, kecuali beberapa hal yang satu frekuensi dengan syariat yang dibawa oleh nabi setelahnya, atau yang didiamkannya. Hal itu sesuai dengan kaidah yang menegaskan bahwa syariat sebelum kita adalah juga syariat kita selama tidak ada syariat baru yang menentangnya.


Dengan demikian, sangat jelas bahwa agama samawi itu hanya satu. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah ﷻ. Hanya syariat yang berbeda-beda. Syariat yang telah lalu dihapuskan dan dilengkapi sebagiannya oleh syariat yang datang setelahnya. Perkembangan syariat itu mencapai puncaknya yang lengkap dan sempurna melalui kerasulan Nabi Muhammad ﷺٓ, sang penutup para nabi dan rasul.


Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.