Sirah Nabawiyah

Muhammad bin Idris: Pewaris Takhta dan Dinamika Kepemimpinan di Maroko

Kamis, 7 November 2024 | 07:00 WIB

Muhammad bin Idris: Pewaris Takhta dan Dinamika Kepemimpinan di Maroko

Ilustrasi Maroko. Sumber: NU Online.


Pada masa itu, ketika sejarah bangsa hendak bergulir di wilayah Maghrib, suasana politik dan sosial berada dalam pusaran yang tak menentu. Di antara gunung-gunung dan dataran padang pasir yang luas, di bawah langit Maroko yang dipenuhi harapan sekaligus kecemasan, masyarakat menjalani kehidupan yang dipenuhi perubahan, ketegangan, dan harapan yang diam-diam tersimpan di setiap hati.

 

Wilayah Maghrib, yang dikenal sebagai tanah yang subur namun kerap diliputi pergolakan, menghadapi banyak tantangan. Berbagai suku yang menghuninya memiliki sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan mempertahankan identitas di tengah hegemoni dari berbagai kekuatan besar di sekitarnya.

 

Di sini, percampuran budaya telah lama terjadi, mulai dari pengaruh Islam dan tradisi lokal telah menyatu dalam napas kehidupan masyarakat. Namun, ketenangan ini sering kali terganggu oleh ambisi kekuasaan yang menyebar dari wilayah-wilayah besar di sekitarnya, yang memandang negara matahari terbenam ini sebagai daerah strategis yang harus dikendalikan.

 

Selain itu, salah satu faktor yang yang menjadikan kondisi tidak stabil di negara tersebut adalah adanya ancaman eksternal dari berbagai dinasti dan kekuatan politik di sekitar Maghrib. Maroko, dengan kekayaan alam dan lokasinya yang strategis, menjadi incaran kekuatan lain yang berusaha menguasainya.

 

Dinasti-dinasti yang kuat di sekitarnya, seperti Aghlabiyah di Ifriqia (sekarang Tunisia) dan Bani Umayyah di Andalusia, memandang Maghrib sebagai wilayah penting yang ingin mereka kuasai.

 

Selain ancaman eksternal, perbedaan budaya dan etnis juga mempengaruhi stabilitas sosial di Maghrib. Meski Islam menjadi perekat utama masyarakat, Maghrib dihuni oleh berbagai suku Berber yang memiliki perbedaan budaya dan tradisi, ketegangan antarsuku dan perbedaan lokal seringkali muncul ke permukaan.

 

Dalam kondisi carut-marut dengan keadaan politik kekuasaan yang tidak pasti itu, lahirlah seorang anak yang kelak akan membawa pengaruh besar dan perubahan yang baik bagi keadaan social yang ada di Maroko. Ia adalah putra dari Sayyid Idris II, penggagas kebangkitan Dinasti Idrisiyah di Maroko, dan cucu dari Sayyid Idris I, pendiri Dinasti Islam pertama di Maroko.

 

Tidak ada catatan khusus tentang tahun kelahirannya, namun sebagaimana dicatat oleh seorang sejarawan terkemuka kontemporer, Khairuddin az-Zirikli, menengarai bahwa ia lahir pada tahun 177 H, dan wafat pada tahun 221 H.

 

Ia Bernama lengkap Muhammad bin Idris II bin Idris I bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra bint Rasulullah saw. Dalam kitabnya ia mencatat:

 

Ł…ŁŲ­ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲÆŁ ŲØŁ’Ł†Ł Ų„ŁŲÆŁ’Ų±ŁŁŠŁ’Ų³Ł ŲØŁ’Ł†Ł Ų„ŁŲÆŁ’Ų±ŁŁŠŁ’Ų³Ł ŲØŁ’Ł†Ł Ų¹ŁŽŲØŁ’ŲÆŁ Ų§Ł„Ł„Ł‡Ł ŲØŁ’Ł†Ł Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŲ³ŁŽŁ†Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ«ŁŽŁ†Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§ŲØŁ’Ł†Ł Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŲ³ŁŽŁ†Ł ŲØŁ’Ł†Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŁŠ ŲØŁ’Ł†Ł Ų£ŁŽŲØŁŁŠ Ų·ŁŽŲ§Ł„ŁŲØŁ

 

Artinya, ā€œMuhammad bin Idris I bin Idris II bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna ibn Hasan bin Ali ibn Abi Thalib.ā€ (al-Aā€™lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid II, halaman 26).

Setelah kelahirannya, Muhammad bin Idris tumbuh di bawah pengawasan yang ketat keluarganya. Sebagai putra dari Sayyid Idris II, ia mewarisi tanggung jawab besar untuk menjaga keutuhan wilayah yang telah diperjuangkan oleh ayah dan kakeknya.

 

Masa kecilnya tidak terlepas dari perhatian yang penuh kasih sayang, namun juga dengan kedisiplinan yang tinggi. Ia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai Islam dan budaya ilmu pengetahuan, yang mendorongnya untuk terus belajar dan memahami peran penting sebagai pemimpin yang akan datang.

 

Dalam masa-masa pembelajarannya, Muhammad bin Idris mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang agama dan ilmu pemerintahan. Ia belajar kepada para ulama terkemuka pada masanya, hingga ia berhasil menguasai berbagai diskursus ilmu syariat, seperti fiqih, sejarah, tafsir dan berbagai ilmu penting lainnya yang dibutuhkan oleh calon seorang pemimpin. Baginya, ilmu bukan sekadar wawasan, melainkan bekal yang akan menuntunnya dalam mengelola masyarakat dengan bijaksana.

 

Meneruskan Kepemimpinan Sang Ayah

Setelah ilmu keagamaan, pengalaman dan kepemimpinan Muhammad bin Idris matang, ia menghadapi cobaan besar ketika ayahnya, Sayyid Idris II wafat, pada tahun 213 H. Akibatnya, di usianya yang masih muda, yaitu 36 tahun, ia dituntut untuk memimpin dinasti dan melanjutkan warisan keluarganya.

 

Kehilangan sang ayah, tentu menjadi pukulan berat baginya, namun dengan bekal ilmu yang telah ia pelajari, Muhammad bin Idris mampu menjalankan tanggung jawab ini dengan penuh kedewasaan. Ia menyadari bahwa posisi yang diwariskan kepadanya bukan sekadar tentang kekuasaan, namun juga amanah besar untuk terus berusaha menjaga kestabilan wilayah Maroko yang luas.

 

Sebagai langkah awal, Muhammad bin Idris membagi wilayah Maroko kepada saudara-saudaranya, untuk memastikan bahwa setiap daerah tetap terkontrol dengan baik dan kondusif.

 

Ia memberikan wewenang penuh kepada masing-masing saudaranya, sehingga mereka bisa memimpin daerah yang telah ditetapkan dengan mandiri. Langkah merupakan strategi politik yang cerdas, karena ia tidak hanya berhasil menjaga stabilitas dalam keluarganya, tetapi juga mengurangi potensi konflik internal.

 

Penjelasan di atas sebagaimana dicatat oleh sejarawan terkemuka asal Maroko, Syekh Abul Abbas Ahmad bin Khalid bin Muhammad an-Nashiri (wafat 1250 H), dalam kitab al-Istiqsha li Akhbari Duwalil Maghribil Aqsha, jilid I (Maroko: Darul Kitab, 1997), halaman 228, ia mengatakan:

 

Ł„ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲ§ ŲŖŁŁˆŁŁŁŁ‘ŁŠŁŽ Ų„ŁŲÆŁ’Ų±ŁŁŠŁ’Ų³Ł ŲØŁ’Ł†Ł Ų„ŁŲÆŁ’Ų±ŁŁŠŁ’Ų³ŁŽ Ł‚ŁŽŲ§Ł…ŁŽ ŲØŁŲ§Ł„Ł’Ų£ŁŽŁ…Ł’Ų±Ł ŲØŁŽŲ¹Ł’ŲÆŁŽŁ‡Ł Ų§ŁŲØŁ†ŁŁ‡Ł Ł…ŁŲ­ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲÆŁŒ ŲØŁŲ¹ŁŽŁ‡Ł’ŲÆŁ Ł…ŁŁ†Ł’Ł‡Ł Ų„ŁŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡ŁŲŒ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲ§ ŁˆŁŽŁ„ŁŁŠŁŽ Ł‚ŁŽŲ³Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ ŲØŁŁ„Ų§ŁŽŲÆŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲŗŁ’Ų±ŁŲØŁ ŲØŁŽŁŠŁ’Ł†ŁŽ Ų§ŁŲ®Ł’ŁˆŁŽŲŖŁŁ‡Ł

 

Artinya, ā€œKetika Idris II bin Idris I wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Muhammad bin Idris II, sesuai amanah yang diberikan kepadanya. Kemudian setelah memegang tongkat kekuasaan, ia membagi wilayah Maroko kepada saudara-saudaranya.ā€

 

Setelah dibagi, saudara-saudaranya menerima berbagai wilayah yang ada di Maghribi, misal di antaranya, al-Qasim memperoleh daerah yang mencakup Tangier, Tetouan, serta wilayah dan daerah di sekitar lokasi tersebut. Saudaranya yang lain, yaitu Umar, mendapatkan wilayah Teksas dan Targha, serta daerah yang dihuni oleh suku Sanhaja dan Ghumarah. Daud, mendapatkan daerah Hawwara, Taza, dan wilayah yang ada di antara suku-suku Miknasa dan Ghayasa. Begitu juga saudaranya yang lain, semuanya mendapatkan hak yang sama, yaitu memimpin wilayah yang ada di Maghribi.

Retak di Balik Takhta

Pada mulanya, pembagian kekuasaan di antara putra-putra Idris II berlangsung dengan baik. Muhammad bin Idris, sebagai pemimpin utama, mendistribusikan wilayah-wilayah penting Maroko kepada saudara-saudaranya agar kekuasaan dinasti Idrisiyah tetap kukuh dan stabil.

 

Setiap saudara diberi tanggung jawab atas daerah tertentu dengan tujuan menjaga kedamaian dan keseimbangan di negeri yang luas ini. Namun, niat baik itu justru menjadi awal dari keretakan dinasti yang dibangun dengan susah payah.

 

Ketegangan yang muncul di antara saudara-saudara Muhammad bin Idris perlahan berubah menjadi pertikaian, hingga akhirnya pecah menjadi pertempuran saudara yang mengguncang stabilitas dinasti Idris.

 

Pertikaian pertama yang terjadi adalah antara Muhammad bin Idris dan saudaranya, Isa. Isa, yang menguasai wilayah Azemmour, memberontak dan menolak tunduk kepada Muhammad. Ia mendeklarasikan diri sebagai pemimpin yang merdeka, dan mulai mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya untuk melawan kekuasaan Muhammad.

 

Mendengar kabar ini, Muhammad segera menulis surat kepada saudaranya, al-Qasim, yang menguasai Tangier, ia memerintahkannya untuk menaklukkan Isa. Namun, al-Qasim menolak perintah tersebut.

 

Tidak menyerah, Muhammad kemudian menulis surat kepada saudaranya yang lain, Umar, penguasa Teksas, memintanya melakukan hal yang sama. Umar mematuhi perintah Muhammad dan mengerahkan pasukan untuk menyerang Isa, dibantu seribu pasukan berkuda dari suku Zenata yang dikirim oleh Muhammad.

 

Dalam pertempuran itu, Umar berhasil mengalahkan Isa, mengusirnya dari wilayah Azemmour, dan mengamankan daerah tersebut untuk sang kakak. Kemenangan ini mengukuhkan posisi Umar sebagai pemimpin yang setia kepada Muhammad. Sebagai tanda terima kasih, ia memberikan Umar kekuasaan atas wilayah yang berhasil direbut dari Isa.

 

Namun, kemenangan ini tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Muhammad kemudian meminta Umar untuk menundukkan al-Qasim, saudara yang sebelumnya menolak perintahnya untuk menyerang Isa.

 

Dengan tekad kuat, Umar memimpin pasukan ke Tangier dan mengepung kota itu. Pertempuran hebat pun terjadi antara kedua saudara tersebut, di mana Umar akhirnya berhasil mengalahkan al-Qasim dan mengambil alih kekuasaannya.

 

Setelah kekalahannya, al-Qasim meninggalkan ambisi duniawi dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada ibadah. Ia membangun sebuah masjid di tepi laut dekat Asilah, di suatu tempat yang dikenal sebagai Tahdarat di tepi sungai, dan memilih jalan zuhud hingga akhir hayatnya.

 

Pertobatan al-Qasim menunjukkan kepasrahan dan keikhlasan yang dalam setelah mengalami kekalahan. Meski ia kehilangan kekuasaan, hatinya justru menemukan ketenangan dan kedekatan dengan Allah yang sebelumnya tidak ia temukan di tengah hiruk-pikuk ambisi dan politik.

 

Sementara itu, Umar menikmati wilayah kekuasaannya yang semakin luas. Dari Teksas hingga Tangier, termasuk wilayah pesisir yang membentang dari Sabta, Asilah, hingga SalƩ dan Azemmour, Umar menjadi penguasa yang sangat dihormati. Kesetiaannya kepada Muhammad tidak pernah pudar hingga akhir hayatnya.

 

Namun, tidak lama setelah itu, ia dipanggil oleh Sang Khalik. Jenazah Umar bin Idris, dibawa ke tengah kota Fez, disaksikan rakyatnya dengan duka yang mendalam. Waktu itu, Muhammad bin Idris, memimpin shalat jenazah atas kepergian saudaranya tersebut.

 

Berlanjut setelah itu, masa kepemimpinan Muhammad bin Idris juga tidak panjang. Hanya tujuh bulan setelahnya, pada bulan Rabiul Akhir tahun 221 H, Muhammad pun wafat. Rakyat Fez kembali berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin yang mereka cintai.

 

Muhammad bin Idris dimakamkan di sebelah timur masjid kota Fez, bersama ayah dan kakaknya, melengkapi rangkaian sejarah para pemimpin yang telah mencurahkan hidupnya untuk rakyat. (Abul Abbas an-Nashiri, al-Istiqsha li Akhbari Duwalil Maghribil Aqsha, [Maroko: Darul Kitab, tt], jilid I, halaman 229).

 

Demikian tulisan tentang sejarah dan biografi Muhammad bin Idris I bin Idris II, salah satu penguasa di Maroko yang melanjutkan kepemimpinan ayah dan kakeknya. Semoga bermanfaat. Wallahu aā€™lam.

 

Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.