Sirah Nabawiyah

Mush’ab bin ‘Umair, Sahabat Muda di Awal Kebangkitan Islam

Sab, 28 Oktober 2023 | 07:00 WIB

Mush’ab bin ‘Umair, Sahabat Muda di Awal Kebangkitan Islam

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Dakwah Nabi Muhammad saat di Makkah tidaklah mudah, mulai dari pergerakan secara diam-diam hingga terang-terangan, semuanya memakan tenaga, harta, hingga jiwa karena disiksa oleh kalangan Quraisy. Di antara sahabat Rasulullah saw yang mengalami penyiksaan dari masyarakat Makkah adalah Mush’ab bin ‘Umair.

 

Tidak tercatat waktu kelahiran Muhs’ab, namun diperkirakan saat ia wafat di perang Uhud pada tahun ketiga Hijriyah, umurnya kala itu sekitar 40 tahun lebih sebagaimana penuturan Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah. Maka jarak umurnya dengan Nabi saw sekitar 14 tahun lebih. (Ibn al-Atsir, Usdul Ghabah, jilid V, hal. 175).

 

Di Makkah, Mush’ab dipandang sebagai seorang pemuda tampan dan menawan di Makkah, kedua orang tuanya sangat mencintai Mush’ab, sehingga ia biasa menggunakan pakaian mewah dan sandal yang berasal dari Hadhrami, juga ibunya biasa mengoleskan minyak wangi terbaik yang ada di Makkah.

 

Berkaitan dengan hal itu, al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan, pernah suatu hari Nabi saw memuji Mush’ab, “Saya belum pernah melihat siapa pun di Mekkah yang lebih baik akhlaknya, lebih rapih pakaiannya, juga lebih diberkahi daripada Mush’ab bin Umair.”

 

Ketika Nabi saw mulai menyerukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, beberapa sahabat senior mulai menganut ajaran Islam, sementara gangguan orang-orang Quraisy pun semakin hari semakin parah. Nabi saw pun memilih untuk bersembunyi di rumah al-Arqam yang terletak di daerah Shafa. Di rumah itulah Nabi saw mengajarkan ayat-ayat suci Al-Quran, jumlah kaum muslimin pun kian bertambah hingga mencapai 40 orang pada tahun kelima kenabian.

 

Mush’ab bin ‘Umair yang kala itu hidup di tengah sukunya dengan agama yang mereka anut. Aura Jahiliyah ada di tengah-tengah mereka, sehingga tradisi mabuk-mabukkan dan menyembah berhala marak dilakukan.

 

Dengan akal pikiran yang jernih dan kritis, tatkala Mush’ab melihat ajaran Nabi saw dengan penglihatannya sendiri, ia mulai menyadari secara naluri kemanusiaan bahwa perilaku kaumnya tidaklah benar, sedang agama yang diusung Muhammad kala itu merupakan suatu ajaran yang membawa kebenaran.

 

Tanpa ada yang mengajaknya masuk Islam, Mush’ab datang sendiri pada Nabi saw ke rumah al-Arqam dan menyatakan keislamannya, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqah al-Kubra. Tidak seorang pun dari keluarganya yang mengetahui hal itu, termasuk ibunya sendiri yang sangat memanjakannya. (Ibnu Sa’d, al-Thabaqat al-Kubra, jilid III, hal. 117).

 

Mush’ab memahami, jika terang-terangan mengungkapkan keislamannya, ia akan disiksa dan diburu habis-habisan oleh kaumnya. Ia banyak menghabisi waktu di rumah persembunyian dan belajar kepada Nabi, hingga menjadi salah seorang sahabat yang paling menguasai apa yang diajarkan Nabi kepada para sahabatnya.

 

Penderitaan Mush’ab
Tatkala orang-orang kafir Quraisy mengetahui pergerakan kaum muslimin, pengintaian pun dilakukan oleh mereka. Utsman bin Thalhah yang melihat Mush’ab bin Umair sedang shalat langsung melaporkan pada ibu Mush’ab dan kaumnya, proses penyiksaan dan hukuman pun mulai direncanakan.

 

Seketika Mush’ab dibawa dan ditahan oleh kaumnya dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga akhirnya Mush’ab pun hijrah ke Abesina pada hijrah umat Islam yang pertama, sebagaimana dituturkan Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat (jilid III/hal. 117) dan Ibn ‘Abdil Bar dalam al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab (jilid IV/hal. 1447).

 

Al-Baladzari menceritakan, ketika mengetahui keislaman Mush’ab, ibunya keluar dengan rambutnya yang terurai sambil berkata, “Aku tidak akan memakai kerudung, tidak akan berteduh, tidak akan memakai minyak, tidak akan makan dan minum  apa pun sampai kamu melepaskan agamamu itu!”. (Al-Baladzari, al-Jumal min Ansab al-Asyraf, jilid IX, hal. 406).

 

Mendengar hal itu, saudara Mush’ab yang bernama Abu ‘Aziz berkata, “Wahai ibu, biarkan aku yang mengurusnya, dia adalah anak yang terbiasa dicukupi, jika lapar melandanya, maka niscaya ia akan melepas keyakinannya itu!”

 

Tidak tanggung-tanggung ibunya pun bersumpah untuk tidak makan minum dan menjemur diri di tengah panas terik matahari hingga Mush’ab pulang kembali, namun nyatanya Mush’ab pergi hijrah bersama Nabi saw. Proses penyiksaan diri itu menyebabkan ibunya pingsan hingga anak-anaknya pun membujuk ibunya supaya tidak terus menerus menjemur diri.

 

Mush’ab mengalami berbagai macam siksa sebagaimana para sahabat lainnya, bahkan ia mendapat siksaan yang lebih parah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara apa yang dialaminya pada masa pra-Islam dan apa yang terjadi setelah masuk Islam.

 

Ibu Mush’ab merupakan sosok yang perhatiannya hanya tertuju pada Mush’ab dibanding putranya yang lain. Rasa cinta berlebih itu pun berubah menjadi amarah yang besar disebabkan rasa kecewa, hingga ibunya tidak segan-segan menyiksa anaknya dengan siksaan batin dan menanamkan rasa bersalah pada jiwa Mush’ab.

 

Kehidupan Mush’ab berbalik 180 derajat, kenikmatan yang dirasakannya kini sirna. Tidak ada pakaian bagus, makanan enak serta minyak wangi yang dulu biasa ia gunakan ketika masih bersama keluarganya.

 

Kondisi Mush’ab yang memprihatinkan membuat Nabi saw meneteskan air matanya. ‘Ali bin Abi Thalib menceritakan, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah saw di masjid, kemudian Mush’ab bin ‘Umair muncul di hadapan kita, dia tidak mengenakan apa pun kecuali jubahnya yang ditambal bulu.

 

Seketika Rasulullah melihatnya dan meneteskan air mata sebab kondisi Mush’ab yang berubah drastis. Rasulullah saw bersabda:


كَيْفَ بِكُمْ إِذَا غَدَا أَحَدُكُمْ فِى حُلَّةٍ وَرَاحَ فِى حُلَّةٍ وَوُضِعَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ صَحْفَةٌ وَرُفِعَتْ أُخْرَى وَسَتَرْتُمْ بُيُوتَكُمْ كَمَا تُسْتَرُ الْكَعْبَةُ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مِنَّا الْيَوْمَ نَتَفَرَّغُ لِلْعِبَادَةِ وَنُكْفَى الْمُؤْنَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : لأَنْتُمُ الْيَوْمَ خَيْرٌ مِنْكُمْ يَوْمَئِذٍ

 

Artinya: “Bagaimanakah keadaan kalian pada suatu hari ketika kalian pergi di waktu pagi dengan satu pakaian, dan pergi di waktu petang dengan pakaian yang lain. Dan bila diberikan satu hidangan, diletakkan pula satu hidangan yang lain. Dan kamu menutupi (menghias) rumah kamu sebagaimana kamu memasang kelambu Ka’bah?” Shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tentunya keadaan kami di waktu itu lebih baik dari pada keadaan kami di hari ini. Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepada masalah ibadah saja dan tidak bersusah payah lagi untuk mencari rezeki.” Lalu Nabi saw bersabda, “Tidak! Keadaan kamu hari ini adalah lebih baik daripada keadaan kamu pada hari tersebut.“ (HR. Tirmizi).

 

Jika disimpulkan, siksaan yang didapatkan oleh Mush’ab mencakup tiga hal. Pertama, kerugian finansial sebab sumber penghidupannya diputus oleh ibunya. Kedua, siksaan fisik hingga kulitnya berubah warna dan kelaparan. Ketiga, derita psikologis yang ditanamkan oleh sikap ibunya. Jika bukan karena hidayah dari Allah, niscaya Mush’ab tidak kuat menahan penderitaan tersebut.

 

Mush’ab bin ‘Umair mengikuti banyak peristiwa hijrah, salah satunya ke Madinah. Di Madinah beliau dipercaya sebagai pengajar agama, sebab ilmunya mumpuni, fasih dalam berargumen, tenang dalam menyampaikan dan menguasai kandungan nilai-nilai dalam Al-Quran.

 

Mush’ab juga turut berpartisipasi dalam beberapa perang di awal-awal kebangkitan Islam, yaitu perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud Mush’ab wafat dan syahid setelah memegang salah satu bendera panji peperangan.

 

Al-Hakim meriwayatkan, ketika perang selesai, Rasulullah saw menghampiri para korban perang dan ketika melihat Mush’ab, beliau berhenti di samping jasadnya kemudian membaca ayat 23 surah al-Ahzab:

 

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (QS Al-Ahzab: 23).

 

Al-Mawardi dalam tafsirnya (an-Nukat wal ‘Uyun, jilid I, hal. 47) menyebut, ayat 40-41 surat An-Nazi’at turun ketika Mush’ab bin ‘Umair wafat, ayat tersebut adalah:

 

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

Artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS An-Nazi’at: 40-41).

 

Mush’ab wafat pada umur 40 tahun lebih, kisah perjuangannya penuh dengan teladan yang dapat ditiru, khususnya masa muda yang dipenuhi dengan perjuangan dan kesabaran di tengah guncangan siksa dan hantaman cobaan dari kaumnya sendiri.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences