Sirah Nabawiyah

Pelajaran di Balik Perang Khaibar dan Pembagian Ghanimah

Sel, 12 Oktober 2021 | 10:00 WIB

Pelajaran di Balik Perang Khaibar dan Pembagian Ghanimah

Rasulullah membagikan harta rampasan perang Khaibar kepada pasukan Muslim. Prajurit kavaleri (berkuda) diberi jatah dua bagian. Sementara jatah prajurit infanteri (berjalan kaki) satu bagian. (Ilustrasi: ok.ru)

Setelah perang Khaibar selesai, persoalan tentang Zainab binti Harits juga selesai. Sebagaimana tulisan pada bagian pertama dan kedua, langkah Rasulullah selanjutnya adalah membagi harta hasil peperangan (ghanimah).


Mayoritas penduduk Khaibar merupakan komponen dari masyarakat yang sukses dan sangat kaya, semua itu ditandai dengan sistem dagang mereka yang sukses, dan pertanian sebagian lainnya yang beruntung.


Dari usaha-usaha tersebut, mereka tidak kekurangan bekal dalam menyerang umat Islam ketika perang Khaibar. Hanya saja, banyaknya senjata perang bukanlah barometer untuk meraih kemenangan. Pasukan Rasulullah yang sangat solid, mampu meluluhlantakkan kekuatan mereka.


Akibat kekalahan Yahudi Khaibar, umat Islam mendapatkan banyak harta rampasan milik mereka, tentu ini menjadi salah satu nilai lebih dan bekal tambahan atas kemenangan dan perjuangan umat Islam dalam menegakkan agama Islam di tanah Khaibar. Selain meraih kemenangan, umat Islam juga memiliki tambahan persenjataan yang semakin banyak, serta berbagai harta lainnya dari kemenangan tersebut.


Sistem Pembagian Harta Rampasan

Syekh Muhammad Ali Ash-Shalabi menjelaskan, Rasulullah membagikan harta rampasan perang Khaibar kepada pasukan Muslim. Prajurit kavaleri (berkuda) diberi jatah dua bagian. Sementara jatah prajurit infanteri (berjalan kaki) satu bagian.


Menurut Ash-Shalabi, ketika Rasulullah masih di Khaibar, sahabat Ja’far bin Abi Thalib datang dari Ethiopia (Habasyah) bersama rombongannya yang terdiri atas enam belas laki-laki dan perempuan, sedangkan beberapa rombongan lainnya masih di Yaman. Kedatangan Ja’far bin Abi Thalib disambut langsung dengan penuh gembira oleh Rasulullah, bahkan ia langsung memeluk dan mencium wajah sepupunya itu.


Kemudian Rasulullah berkata, “Sungguh, aku tidak tahu harus bergembira karena apa; apakah karena berhasil menaklukan Khaibar, ataukah karena kedatangan Ja’far.” Bahkan, Rasulullah menyerahkan sebagian rampasan Perang Khaibar kepada rombongan Ja’far bin Abi Thalib, setelah terlebih dulu meminta izin pasukan umat Islam. (Ash-Shalabi, Sirah Nabawiyah wa Tahlilu Ahdatsin, [Lebanon, Bairut, Darul Ma’rifah, cetakan ketujuh: 2008], juz II,  halaman 24)


Setelah semuanya dianggap selesai, Rasulullah kembali ke Madinah bersama pasukan umat Islam dan rombongan Ja’far. Hanya saja, sebelum Rasulullah kembali, ia menunjuk salah seorang sahabat Anshar, Sawad bin Ghaziyah, yang berasal dari kalangan Bani Adi untuk mengurus pemerintahan di Khaibar. Di saat yang bersamaan, Sawad membawa kurma Khaibar kualitas terbaik kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada Sawad, “Apakah semua kurma Khaibar sebagus ini?”


Sawad menjawab, “Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami biasa mendapatkan kurma jenis ini dengan (barter) dua atau tiga sha’ (kurma jenis lain).” Mendengar jawaban itu, Rasulullah menukas,


لاَ تَفْعَلْ! بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا رواه البخاري


Artinya, “Jangan kau lakukan hal itu! Juallah semua (kurma) jenis lain dengan (bayaran) beberapa Dirham, lalu belilah kurma jenis baik ini dengan beberapa Dirham.” (HR Bukhari).


Pelajaran dari Perang Khaibar

Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab sirahnya menjelaskan, bahwa dalam perang Khaibar ini, para ulama berhasil menggali beberapa hukum syariat, di antaranya:


Pertama, Cara Pembagian Ghanimah

Rampasan perang (ghanimah) wajib dibagikan dengan cara seperti telah disebutkan. Cara pembagian harta rampasan perang adalah dengan membagikan 4/5 (empat perlima) dari seluruh rampasan perang kepada semua orang yang berhak dengan perbadingan: satu bagian untuk prajurit invanteri, dan 3 bagian untuk prajurit kavaleri, yaitu: satu bagian untuk prajurit bersangkutan dan 2 bagian untuk kuda yang dia kendarai. Adapun 1/5 (seperlima) bagian sisanya, dibagi lagi menjadi lima bagian kepada mereka dan masing-masing mendapatkan seperlima bagian sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:


وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ آمَنتُمْ بِاللّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Surat Al-Anfal ayat 41).


Menurut Al-Buthi, berkenaan dengan bagian yang menjadi hak Rasulullah dari yang seperlima itu, menurut Imam Al-Syafi`i dan para pengikut Imam Abu Hanifah, harus dibagikan sesuai dengan kemaslahatan umat Islam. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa bagian itu harus diserahkan kepada pemimpin untuk kemudian dibagikan berdasarkan pendapat sang pemimpin.


Tidak hanya itu, orang-orang yang datang ke tempat pertempuran dan tidak ikut bertempur juga boleh mendapatkan rampasan perang. Hanya saja, hal ini baru dapat dilakukan atas perkenan “pemilik sah” (para prajurit) rampasan perang tersebut. Hal ini dilakukan atas dasar Rasulullah yang memberi bagian rampasan Perang Khaibar kepada Ja’far bin Abi Thalib dan rombongannya atas izin dari para sahabat, ketika Ja’far baru tiba dari Ethiopia dan Yaman.


Kedua, Haramnya Riba Fadhl

Riba Fadhl adalah jika ada dua orang yang bertukar dua makanan dari jenis yang sama dengan melebihkan salah satu dari keduanya. Rasulullah melarang perbuatan seperti ini lewat begitu banyak hadits sahih, di antaranya larangan Rasulullah kepada sahabat Sawad bin Ghaziyah, yang ditugaskan untuk mengurus pemerintahan di Khaibar, sebagaimana penjelasan di atas.


Islam melarang penjualan emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, tepung gandum dengan tepung gandum, biji gandum dengan biji gandum, garam dengan garam, kecuali jika kadar yang sama ditukar dengan kadar yang sama, bentuk yang sama dengan bentuk yang sama. Siapa saja yang menambah atau minta ditambah, berarti telah berbuat riba. (Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin Litarikhil Khilafah ar-Rasyidah, [Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan keempat belas: 2019], halaman 262-263).


Hemat penulis, perihal pelajaran yang ketiga ini, adalah tindakan Rasulullah yang tidak hanya memberikan larangan. Yang perlu diperhatikan dari putusan Rasulullah kepada sahabat Sawad di atas bukan hanya sebatas larangannya, akan tetapi ia juga arahan kepada sahabat yang akan melakukan barter kurma, baik dengan kurma jelek ataupun jenis bahan pangan lainnya.


Putusan ini diambil agar mereka melakukan sesuatu yang bersih dari riba, yaitu dengan menjual terlebih dulu kurma berkualitas buruk yang dimiliki sahabat dengan imbalan Dirham, barulah uang hasil penjualan itu dia gunakan untuk membeli kurma baik yang dia inginkan.


Bagi penulis, alangkah baiknya semua tokoh dalam menyampaikan sebuah hukum perihal larangan terhadap kejadian yang sudah biasa di kalangan masyarakat menyertainya dengan arahan dan solusi yang awalnya haram menjadi boleh. Hal ini untuk mengajarkan, bahwa Islam memang benar-benar agama yang tidak rumit, memberikan solusi yang tepat bagi pemeluknya serta tidak pernah memberikan penegasan tanpa adanya jalan keluar.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI