Perputaran Kekuasaan Bani Umayyah di antara Kejayaan dan Keruntuhannya
NU Online · Jumat, 4 Juli 2025 | 16:00 WIB
Azmi Abubakar
Kolomnis
Sejarah Islam mencatat berbagai kejayaan peradaban yang gemilang di bawah kepemimpinan berbagai dinasti, namun tidak sedikit pula kebijakan keliru dan kelalaian dalam pengambilan keputusan yang menyebabkan kehancuran daulah-daulah Islam. Kesalahan ini sering kali bersumber dari faktor internal, seperti persaingan politik, keserakahan, atau ketidakharmonisan dalam sistem pemerintahan, yang pada akhirnya memicu keruntuhan kekuasaan Islam di berbagai wilayah.
Oleh karena itu, kita perlu mempelajari sejarah ini sebagai pelajaran berharga untuk masa depan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah ayat 141:
تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ibnu Asyur dalam Tahrir wa Tanwir menjelaskan:
فذُكرت هذه الآية لإفادة أن الجزاء بالأعمال لا بالاتكال
Artinya: "Maka ayat ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa pahala merupakan hasil dari amal kebaikan dan bukan dari ketergantungan semata."
Ia juga menambahkan:
والإشارة بتلك عائدة إلى إبراهيم وبنيه باعتبار أنهم جماعة
Artinya: "Yang dimaksud dengan 'hal itu' adalah Nabi Ibrahim dan anak-anaknya, mengingat bahwa mereka adalah suatu kelompok (jamaah)." (Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, [Beirut: Darus Sahnun, t.t.], jilid I, hlm. 735).
Pada masa Daulah Umayyah, kaum mawali (non-Arab yang masuk Islam) tidak diberi akses terhadap jabatan tinggi, dipandang rendah secara sosial, dan tetap diwajibkan membayar jizyah meskipun telah memeluk Islam. Diskriminasi ini menimbulkan rasa terpinggirkan yang mendorong mereka untuk terlibat dalam berbagai gerakan pemberontakan. Prinsip-prinsip Islam tentang keadilan dan pemerintahan yang bersih pun mulai diabaikan.
Terkait akhir kekuasaan Bani Umayyah dan peralihannya kepada Bani Abbas, firman Allah berikut sering dikaitkan:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: "Katakanlah (Muhammad), 'Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Ali Imran: 26).'" (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, [Beirut: Dar Sahnun, t.t.], jilid XIII, hlm. 254)
Lebih lanjut, Khudari Beik juga menjelaskan tentang faktor kelemahan dan keruntuhan Daulah Umayyah sebagai berikut:
تحكيم بعض الخلفاء من بني أمية أهواءهم في أمر قوادهم وذوي الأثر الصالح من شجعان دولتهم
Artinya: “Beberapa khalifah dari Bani Umayyah lebih mengutamakan keinginan pribadi mereka dalam menangani para pimpinan militer dan orang-orang yang memiliki pengaruh positif serta para pahlawan dari negara mereka.” (Khudari Bek, Daulah al-Umawiyah, [Kairo: Muassasah al-Mukhtar, 2003], hlm. 443)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan sejumlah khalifah Bani Umayyah yang bersifat personal dan tidak objektif telah menjadi salah satu pemicu kehancuran daulah tersebut. Akibatnya, terjadi perpecahan internal dan pemberontakan-pemberontakan besar, seperti dari kalangan Abbasiyah.
Keruntuhan Dinasti Umayyah tidak hanya disebabkan oleh tekanan eksternal dari kelompok-kelompok oposisi, tetapi juga dipicu oleh kebijakan internal yang menyimpang dari prinsip keadilan dan inklusivitas. Salah satu kebijakan paling diskriminatif adalah perlakuan terhadap kaum mawali, yaitu orang-orang non-Arab yang telah memeluk Islam. Dalam praktik pemerintahan Umayyah, kaum mawali tidak memperoleh status sosial dan hak politik yang setara dengan Muslim Arab. Padahal, secara teologis Islam menempatkan seluruh umat Muslim setara di hadapan Allah.
Namun dalam realitas politik saat itu, etnis Arab menjadi penentu utama dalam kepemimpinan dan distribusi kekuasaan. Kaum mawali sering tetap diwajibkan membayar jizyah (yang semestinya hanya untuk non-Muslim) dan sangat jarang diangkat ke posisi strategis dalam pemerintahan maupun militer.
Ketidaksetaraan ini menimbulkan akumulasi ketidakpuasan, terutama di wilayah seperti Khurasan yang didominasi oleh mawali. Ketidakadilan yang berlangsung lama menciptakan lahan subur bagi munculnya gerakan oposisi politik dan ideologis terhadap Umayyah. Banyak dari mereka akhirnya bergabung dengan gerakan revolusi Abbasiyah yang menjanjikan pemerintahan yang lebih egaliter dan terbuka untuk semua etnis Muslim.
Selain itu, sistem pemerintahan Umayyah yang sangat terpusat dan berbasis dinasti menimbulkan resistensi. Pewarisan kekuasaan secara turun-temurun menjadikan kekhalifahan menyerupai monarki absolut, bertentangan dengan idealisme kepemimpinan Islam pasca-Nabi Muhammad SAW yang berbasis musyawarah. Dalam banyak kasus, pengangkatan khalifah lebih didasarkan pada politik keluarga daripada kelayakan moral dan keilmuan.
Kebijakan represif terhadap kelompok oposisi, khususnya terhadap keluarga dan pengikut Ali bin Abi Thalib, memperburuk situasi. Nama Ali dicela secara terbuka dalam khutbah resmi selama bertahun-tahun, dan pengikutnya, yang kemudian dikenal sebagai kelompok Syiah, mengalami marginalisasi sistematis. Hal ini melukai persatuan umat Islam dan memperkuat basis perlawanan.
Gabungan dari diskriminasi etnis, konsentrasi kekuasaan, dan represi terhadap oposisi menciptakan instabilitas sosial-politik. Ketika Bani Abbasiyah muncul dengan dukungan dari berbagai kelompok terpinggirkan, Bani Umayyah tidak mampu menahan gelombang perlawanan. Puncaknya terjadi pada tahun 750 M dalam Pertempuran Zab, yang menandai berakhirnya kekuasaan Umayyah di Damaskus dan lahirnya Dinasti Abbasiyah.
Terkait amanah kekuasaan, Allah SWT berfirman:
قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ ۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ إِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS Ali Imran: 26)
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah menafsirkan ayat ini:
آخر خلفاء بني أمية وتحول الخلافة إلى بني العباس وذلك من قوله تعالى: قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيء قدير
Artinya: “Khalifah terakhir dari Bani Umayyah dan peralihan kekhalifahan kepada Bani al-Abbas, merupakan penggenapan dari firman Allah Ta'ala tersebut.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, Dar Alim Al-Kutub, jilid XIII, hlm. 254)
Dengan demikian, kelahiran, kejayaan, kelemahan, hingga kehancuran sebuah kekuasaan merupakan bagian dari sunnatullah. Kehancuran Daulah Umayyah menjadi pelajaran bahwa kekuasaan bisa dicabut oleh Allah kapan saja. Kebijakan yang tidak adil, ditambah kemaksiatan yang merajalela, dapat menghilangkan keberkahan sebuah negeri. Sebaliknya, ketaatan dan persatuan kaum Muslimin adalah kunci kekuatan, keberkahan, dan peradaban.
Ustadz Azmi Abubakar, Penyuluh Agama Islam Asal Aceh.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
5 Fadilah Puasa Sunnah Muharram, Khusus Asyura Jadi Pelebur Dosa
4
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
5
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
6
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
Terkini
Lihat Semua