Sirah Nabawiyah

Rasulullah Bukan Nabi Paling Mulia? Ini Penjelasan dan Sanggahannya 

Jum, 11 November 2022 | 14:00 WIB

Rasulullah Bukan Nabi Paling Mulia? Ini Penjelasan dan Sanggahannya 

Nabi Muhammad saw diyakini sebagai nabi dan rasul paling mulia oleh sebagian besar orang kecuali sedikit orang saja.

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafâtîḫul Ghaib mengungkapkan sebanyak 29 argumen untuk mengukuhkan pendapat bahwa Rasulullah saw merupakan nabi paling mulia dibanding 124.000 nabi dan 313 rasul yang pernah Allah utus ke bumi. Selesai pemaparan, ar-Razi menyampaikan sanggahan ilustratif atas argumen yang dibangunnya sendiri. 


Dalam sanggahan itu, ia menyampaikan ada tiga argumen yang bisa dijadikan dasar untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad paling mulia. Pertama, Nabi Muhammad tidak memperoleh penghormatan yang pernah diberikan kepada Nabi Adam, yaitu para malaikat sujud kepadanya. 


Kedua, ada banyak mukjizat yang dimiliki oleh para nabi tetapi Nabi Muhammad tidak mempunyainya seperti Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam kobaran api tapi tidak terluka sedikit pun, Nabi Dawud mampu melunakkan besi hanya dengan tangan kosong, Nabi Sulaiman mampu menundukkan makhluk-makhluk yang ada di bumi. 


Kemudian, Nabi Isa mampu berbicara saat masih bayi, mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal, dan menyembuhkan penyakit buta dan tuli. Sederet mukjizat ini tidak dimiliki oleh Nabi Muhammad. Bagaimana mungkin putra Abdullah ini bisa dikategorikan sebagai nabi paling mulia? 


Ketiga, adanya penegasan dari Rasulullah sendiri terkait larangan membanding-bandingkan di antara para nabi. Beliau bersabda: 


لا تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأنْبِياءِ 


Artinya, “Janganlah kalian pilih-pilih di antara para nabi.” (HR Bukhari dan Muslim). 


Dari hadits di atas, sekilas dapat dipahami bahwa Nabi melarang membanding-bandingkan satu nabi dengan nabi lainnya. (Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîḫul Ghaib [Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2015], juz III, halaman 178-179) 


Sanggahan 

Sejumlah argumen di atas sebatas ilustrasi dari ar-Razi. Hal ini biasa disampaikan ulama berkebangsaan Persia ini dalam paparan-paparannya. Untuk mencounter argumen imajinatif yang sebenarnya sengaja disajikan untuk dikritik itu, ia juga menyampaikan sanggahan-sanggahannya untuk tetap berpegang pada pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah saw merupakan nabi paling mulia. 


Hanya saja, ar-Razi tidak secara lengkap memaparkan sanggahannya, sehingga penulis melengkapinya dari sumber-sumber lain. 


Sanggahan Pertama 

Allah swt memang memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam, tapi Dia juga memerintahkan malaikat untuk membaca shalawat kepada nabi terakhir itu. Jika sujud tersebut dilakukan dalam bentuk penghormatan, maka shalawat dalam rangka ibadah. Jelas, Nabi Muhammad lebih mulia dibanding Nabi Adam. 


Kemudian, perintah shalawat kepada Nabi Muhammad berlaku selamanya sampai hari kiamat, sementara perintah sujud berlaku hanya satu kali saja. Lalu, perintah sujud kepada Nabi Adam hanya dilakukan oleh malaikat, sementara shalawat dilakukan oleh Allah sendiri kemudian para malaikat dan semua umat Muslim. 


Malaikat sujud kepada Nabi Adam karena ada nur (cahaya) Nabi Muhammad dalam diri Adam. Jadi, sujud penghormatan ini sebenarnya dilakukan untuk Nabi Muhammad. (Ar-Razi, 2015 M: III/179-180) 


Sanggahan Kedua

Alasan Nabi Muhammad tidak memiliki mukjizat-mukjizat yang Allah berikan kepada nabi-nabi sebelumnya karena mukjizat bersifat kontekstual. Seperti Nabi Musa, karena ia diutus di tengah-tengah umat yang banyak memiliki kemampuan sihir, maka nabi Bani Israil ini diberi mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular. 


Nabi Isa yang diutus di tengah umat yang ahli dalam bidang pengobatan, maka ia diberi mukjizat bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit hingga bisa menghidupkan orang mati. 


Demikian juga Nabi Muhammad, karena ia diutus di tengah-tengah umat yang memiliki kemampuan sastra cukup mapan, maka ia diberi mukjizat berupa kitab suci Al-Qur’an. Hanya saja, jika mukjizat nabi-nabi yang lain sifatnya temporal, maka Al-Qur’an tetap abadi sampai hari kiamat. Dengan begitu, dilihat dari sisi mkujizat, Nabi Muhammad tetap lebih mulia dibanding nabi-nabi lainnya. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah pernah bersabda: 


مَا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا قَدْ أُعْطِيَ مِنْ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya, “Setiap nabi telah diberikan mukjizat sehingga manusia bisa mengimaninya. Mukjizat yang telah Allah berikan kepadaku adalah wahyu (Al-Qur’an). Oleh karena itu, aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya (dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya ) pada hari kiamat." (HR Muslim). (Ibnu Hajar, Fathul Bari, [Riyadh: Darut Thaibah, 2005], juz XI, halaman 159) 


Sanggahan Ketiga 

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan Nabi Muhammad melarang umatnya untuk membanding-bandingkan satu nabi dengan nabi lainnya tidak bertentangan dengan beberapa hadits yang menjelaskan bahwa beliau nabi paling mulia. Menurut Syekh Badruddin al-‘Aini, sabda Nabi tersebut karena memiliki beberapa alasan. Pertama, saat hadits itu disampaikan, beliau belum tahu kalau dirinya merupakan nabi paling mulia. 


Kedua, larangan tersebut sebenarnya berpesan kepada umat Muslim untuk tidak melebih-lebihkan satu nabi dengan nabi jika hal itu sampai merendahkan salah satu nabi. Sebab, merendahkan nabi hukumnya kafir. Ketiga, hadits ini berpesan agar jangan memperdebatkan tingkat kemuliaan antara para nabi hingga terjadi permusuhan. Keempat, sabda Nabi disampaikan sebagai bentuk tawadhu. (Syekh Badruddin al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2001], juz XII, halaman 351). 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.