Sirah Nabawiyah

Sejarah Hari Raya Id pada Masyarakat Arab Jahiliyah

Ahad, 26 Juli 2020 | 15:45 WIB

Sejarah Hari Raya Id pada Masyarakat Arab Jahiliyah

Hari raya merupakan momentum untuk mengekspresikan syukur dan puja-puji untuk Allah. Hari raya Idul Fithri pertama dalam Islam disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, sekira 623-624 M.

Masyarakat Arab Jahiliyah telah mengenal hari raya yang diperingati dua kali dalam setahun. Sebelum Islam datang, mereka mengenal hari raya Nairuz dan Mahrajan (atau Mihrajan). (Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H] juz II, halaman 105-106).


Masyarakat memperingati dua hari raya id dalam setahun di mana kondisi cuaca, panas, dan dingin stabil. Ukuran cuaca siang dan malam pada dua hari raya ini sama saja. Hari Id Nairuz adalah awal hari di mana kedudukan matahari beralih ke titik Aries (ekuinoks vernal). Sedangkan hari id Mahrajan adalah awal hari Libra. (Syekh Nuri dan Sayyid Alwi, 1996 M/1416 H: II/106).


Pada kedua hari raya Id ini, masyarakat Arab Jahiliyah memperingatinya dengan pesta pora berbagai macam dosa dan kesenangan yang melalaikan dari ketaatan seperti minum-minuman keras, tarian perang, tarian ketangkasan, dan santapan lezat. Kemudian setelah Islam datang, Allah mengganti isi peringatan kedua hari raya masyarakat Arab dengan ekspresi kebahagiaan yang jauh dari kandungan dosa. (Syekh Nuri dan Sayyid Alwi, 1996 M/1416 H: II/105).


Abu Dawud dan An-Nasai mendokumentasikan kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada 622 M. Diawali dengan kesinggahan di Quba, pinggiran kota Madinah, Nabi Muhammad SAW mendapati dua hari raya yang berlaku sejak lama di masyarakat, Nairuz dan Mahrajan.


Sahabat Anas RA bercerita bahwa ketika Rasulullah SAW mendatangi Madinah, masyarakat setempat telah memiliki dua hari raya di mana mereka bermain dan berpesta pora di dalamnya. 


Allah telah menggantikan keduanya dengan dua hari raya yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fithri,” kata Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah.


Hari raya merupakan momentum untuk mengekspresikan kebahagiaan dan menyenangkan diri, memberi nafkah lebih baik kepada keluarga, serta bentuk syukur atas nikmat. Ketika hari raya pada masyarakat Arab jahiliyah diisi dengan pesta-pesta yang mengandung dosa dan larangan Allah, Islam mengganti isi peringatan hari raya dengan segala kebahagiaan yang tidak mengandung dosa dan ekspresi tahadduts bin nikmah.


Katakanlah, ‘Dengan karunia dan rahmat Allah, maka dengan itu hendaklah mereka berbahagia,’” (Surat Yunus ayat 58).


Hari raya merupakan momentum untuk mengekspresikan syukur dan puja-puji untuk Allah. Hari raya Idul Fithri pertama dalam Islam disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, sekira 623-624 M. (Syekh Nuri dan Sayyid Alwi, 1996 M/1416 H: II/105).


Dengan demikian, Allah membatalkan dua hari raya, Nairus dan Mahrajan, yang selama ini diperingati masyarakat Arab Jahiliyah. Dia kemudian menetapkan syariat dua hari raya yang kemudian dikenal dalam Islam, Idhul Adha dan Idhul Fithri. (Syekh Nuri dan Sayyid Alwi, 1996 M/1416 H: II/106).


Pada hari raya Idhul Adha, masyarakat dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan penyembelihan hewan ternak yang telah ditentukan. Sedangkan pada hari raya Idhul Fithri, mereka dapat berbahagia dengan berbuka dari ibadah puasa sebulan penuh.


Penulis: Alhafiz Kurniawan

Editor: Abdullah Alawi