Sirah Nabawiyah

Sejarah Penulisan Kitab Sirah Nabawiyah

Sen, 6 Desember 2021 | 07:15 WIB

Sejarah Penulisan Kitab Sirah Nabawiyah

Setelah Al-Qur’an, hadits Nabi merupakan salah satu sumber penting dalam penulisan kitab Sirah Nabawiyah. Sebab, dari hadits lah para sejarawan mendapat data-data penting tentang Rasulullah saw. (Foto: NU Online)

Setelah Al-Qur’an, hadits Nabi merupakan salah satu sumber penting dalam penulisan kitab Sirah Nabawiyah. Sebab, dari hadits lah para sejarawan mendapat data-data penting tentang Rasulullah saw.

 

Hanya saja, pada masa awal-awal, pendataan hadits masih mengandalkan hafalan dari para rawi. Selain masih mendapat jaminan hafalan para sahabat, penulisan hadits juga masih belum mendapat restu dari Nabi Muhammad karena khawatir teks Al-Qur’an tercampur dengan teks hadits.


Dalam salah satu hadits, Nabi bersabda,


لَا تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ


Artinya: “Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dihapus.” (HR Abu Sa’id al-Khudri)


Dalam salah satu versi, mengacu pada hadits di atas, para ulama menjelaskan bahwa pada mulanya penulisan hadits dilarang karena ada kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara teks Al-Qur’an dan hadits. Begitu dirasa aman, penulisan hadits mulai mendapat restu. Hadits mulai dikumpulkan persisnya dimulai para masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq atas isyarat Umar bin Khattab sepeninggal Rasulullah dan baru rampung pada masa Khalifah Utsman bin Affan.


Untuk pengkodifikasian hadits sendiri dimulai sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Penulisan hadits terbesar kemudian dilakukan olah Imam Ibnu Syihab az-Zuhri. Adanya inisiatif kodifikasi ini dilatarbelakangi karena semakin banyaknya sahabat yang wafat (yang juga banyak menghafalkan hadits), belum lagi wilayah Islam yang semakin luas. (Muhamad bin Husain al-‘Iraqi, Syarah Alfiyah al-‘Iraqi, juz 1, h. 6-5)


Kodifikasi kitab sirah

Ringkas kisah, setelah dibukanya keran untuk pengkodifikasian hadits, banyak ulama yang menulis sejarah hidup Rasulullah saw berdasarkan riwayat-riwayat yang ada. Berikut penulis kemukakan awal mula penulisan sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw secara khusus berdasarkan catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Nawabiyah-nya. 


Bermula ketika Muawiyah bin Abu Sufyan memiliki keinginan kuat untuk membukukan sejarah dalam buku tersendiri. Ia kemudian meminta Ubaid bin Syariyyah al-Jurhumi untuk menuliskannya. Lantas Ubaid pun menulis buku tantang sejarah raja-raja dan informasi terkait umat-umat terdahulu.


Baru setelah itu bermunculan beberapa ulama ahli hadits yang secara konsen menuliskan sejarah hidup Nabi Muhammad saw. Satu hal yang menjadi motivasi mereka adalah karena ingin mendokumentasikan setiap jengkal kehidupan Rasulullah untuk dijadikan pelajaran dan dipraktikkan dalam keseharian mereka. Selain itu, kesempatan ini juga menjadi momentum tersendiri setelah sebelumnya sempat mendapat larangan untuk menuliskan hadits-hadits Nabi.


Salah satu ulama penting yang menuliskan sejarah hidup Rasulullah secara khusus adalah Urwah bin Zubair bin Awwan, yang selain seorang faqih juga seorang pakar hadits. Ayahnya bernama Zubair, sedangkan ibunya adalah Asma binti Abu Bakar yang merupakan putri sahabat terdekat Nabi, Abu Bakar. Asma merupakan sahabat peprempuan yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi pada masa awal-awal Islam.


Berikutnya, banyak ulama yang meriwayatkan terkait sejarah hidup Rasulullah dari Urwah, seperti Ibnu Ishaq, Al-Waqidi, Ath-Thabari. Ketiga ulama ini terutama banyak meriwayatkan hadits dari Urwah seputar peristiwa hijrah ke Habasyah, hijrah ke Madinah, dan Perang Badar. Urwah wafat sekitar tahun 92 H.


Sepeninggal Urwah, muncul ulama penerus yang memiliki konsen sama, yaitu Utsman bin Affan al-Madani yang meninggal pada tahun 105 H. Kemudian muncul setelah itu Wahab bin Munabbih al-Yumna yang meninggal pada tahun 110 H. Konon, di Jerman terdapat sebuah kitab milik Wahab yang memuat tentang sejarah peperangan (al-Maghazi).


Selain ulama yang telah disebutkan di atas, ada pula ulama yang memiliki konsen serupa dan wafat pada seperempat pertama abad kedua. Mereka di antaranya adalah Syurahbil bin Sa’ad yang wafat pada tahun 123 H, Ibnu Syihab az-Zuhri yang wafat pada 124 H, dan Ashim bin Umar bin Qatadah yang wafat pada tahun 120 H.

 

Selisih beberapa tahun setelah mereka, ada beberapa ulama yang muncul seperti Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm yang wafat pada tahun 135 H. Keempat ulama ini lebih kosen menulis berita tentang peperangan dan hal-hal terkait dengannya.


Di antara generasi keempat ulama tersebut, diperkirakan ada yang hidup hingga pertengahan abad kedua, bahkan mungkin lebih dari itu. Mereka seperti Musa bin Uqbah yang wafat pada tahun 141 H, Muammar bin Rasyid yang wafat pada tahun 150 H, kemudian guru besar dalam bidang sirah Muhammad bin Ishaq yang wafat pada tahun 152 H.


Setelah mereka, muncul generasi berikutnya seperti Ziyad al-Buka’i yang wafat pada tahun 183 H, Al-Waqidi yang memiliki kitab Al-Maghazi dan wafat pada tahun 207 H, dan Muhammad bin Sa’ad yang memiliki kitab Tabaqat al-Kubra dan wafat pada tahun 230 H. 


Penting dicatat, meski Ibnu Ishaq menulis kitab sirah nabawaiyah dengan kualitas dan derajat periwayatan yang begitu kuat, tapi susunannya belum sesistematis seperti yang terdapat dalam kitab sirah milik Ibnu Hisyam. Di tangan Ibnu Hiysam inilah, kitab Ibnu Ishaq mengalami banyak editing, peringkasan, penambahan, kadang-kadang disertai kritik, juga dihadirkannya riwayat ulama lain sebagai pembanding. 


Kendati demikian, Abdussalam Muhammad Harun dalam Tadzhib Sirah Ibnu Hisyam menegaskan, Ibnu Hisyam tetap menjaga orisinilitas kitab Ibnu Ishaq. Bahkan, ia tidak menambahkan atau mengurangi satu kata pun dari naskah kitab aslinya. (Abdussalam Muhammad Harun, Tadzhib Sirah Ibnu Hisyam, h. 10)


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta