Syariah

3 Transplantasi Organ Tubuh dan Hukumnya dalam Fiqih Islam

Senin, 5 Agustus 2024 | 07:15 WIB

3 Transplantasi Organ Tubuh dan Hukumnya dalam Fiqih Islam

Transplantasi organ tubuh (freepik).

Dunia medis modern telah banyak melahirkan dan mengembangkan metode-metode yang baru dalam pengobatan, salah satunya ialah transplantasi organ tubuh. sebenarnya metode ini telah dikenal dahulu sebelum masehi, namun baru berkembang pesat di dua abad terakhir.
 

Metode transplantasi terkadang membuatorang bertanya-tanya mengenai kebolehannya, rinciannya beserta dalilnya. Hal ini menuntut para fuqaha kontemporer untuk bisa menjawabnya masyarakat tidak jatuh dalam kebimbangan.
 

Pada prinsipnya, transplantasi organ atau jaringan tubuh tergolong dalam pengobatan. Sedangkan segala bentuk usaha mencari penawar atas penyakit yang dialami merupakan sesuatu yang wajib. Allah swt berfirman:
 

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِۛ
 

Artinya, “Janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan.” (QS Al-Baqarah: 195).
 

Ayat ini dengan gamblang menginformasikan perihal wajibnya seorang Muslim memelihara jiwanya. Membiarkan diri sakit serta enggan mencari alternatif pengobatan sama dengan menjerumuskan diri pada kebinasaan, dan pastinya ini bertentangan dengan prinsip hifzun nafs (memelihara jiwa) dalam Islam. (Abdurrahman Musthafa Abdul Wahhab Abdul Aziz, Naqlul A’da wa Dhawabituhu fil Fiqhil Islami, [Kairo, Majallatus Syaria’ah wal Qanun Kuliyyatus Syari’ah wal Qhanun bil Qahirah Jami’atul Azhar: 2022 M], halaman 557).
 

Transplantasi organ adalah proses transfer organ atau jaringan tubuh dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau satu bagian ke bagian yang lain pada tubuh yang sama. Tujuannya untuk menggantikan organ yang rusak dan mengembalikan manfaatnya.
 

Tentunya, transplantasi atau pencangkokan organ tidak bisa diterapkan di semua anggota badan. Cendekiawan Muslim telah menyetujui bahwa pencangkokan biji pelir dan ovarium tidak diperbolehkan karena akan mengakibatkan bercampurnya nasab di kemudian hari. (Abdul Aziz, 563).
 

Secara medis organ-organ tubuh yang bisa didonorkan adalah hati, ginjal, pankreas, jantung, paru-paru, usus, kornea, telinga tengah, kulit, tulang, sumsum tulang, jaringan ikat, katup jantung, Rahim, otot, pembuluh darah dan saraf. (halodoc.com).
 

Lantas bagaimana hukumnya? Jika dibolehkan maka apa saja etika dan syarat yang harus dipatuhi? Bila diharamkan, maka apa alasannya?
 

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tidaklah simpel dan mudah, karena tranplantasi organ tubuh memiliki jenis dan macamnya. Berikut ini adalah jenis-jenis transplantasi organ beserta hukumnya:
 

1. Transplantasi jaringan pada orang yang sama

Pencangkokan model seperti ini disebut autograft dalam dunia medis. Contohnya cangkok kulit, yaitu menggunakan kulit yang sehat untuk membantu menyembuhkan luka akibat kebakaran atau sejenisnya di bagian tubuh lainnya.
 

Doktor Hasan As-Syadzili menganalogikan permasalahan ini dengan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i tentang kebolehan seseorang dalam keadaan darurat memotong sebagian anggota tubuhnya untuk dikonsumsi demi kelanjutan hidupnya.
 

Lulusan Al-Azhar bidang perbandingan mazhab mengatakan: 
 

فهذا النوع من الجراحات التصحيحية يمكن القول بجوازه قياسا على جواز اخذ شيء من بدنه لياكله إذا كان مضطرا كما هو رأي الشافعية
 

Artinya, “Jenis ini, yaitu pembedahan untuk menyembuhkan mungkin bisa dikatakan bahwa hukumnya adalah  boleh. Dalilnya berupa analogi atau qiyas kepada bolehnya mengambil sebagian anggota tubuh untuk dikonsumsi jika dalam keadaan darurat sebagaimana pandangan mazhab Syafi’i.” (Hasan As-Syadzili, Hukmu Naqlil ‘Adail Insan fi Fiqhil Islami, [Mesir, Darut Tahrir lit Tab’i wan Nasyr], halaman 59).
 

Pandangan mazhab Syafi’i apat kita jumpai dalam Mugnil Muhtaj karya Al-Khatib As-Syirbini:
 

“Qultu (Pendapat Imam An-Nawawi): bolehnya hal tersebut (memotong sebagian anggota tubuh untuk dikonsumsi), karena hal itu termasuk dalam merusak sebagian demi kelangsungan keseluruhan, maka hukumnya serupa dengan memotong tangan sebab jika dibiarkan maka virus akan menyebar, menjangkit anggota tubuh lainnya. 
 

Namun kebolehan yang disebutkan haruslah sesuai dengan syarat-syaratnya, yaitu: (a) tidak adanya bangkai yang bisa dikonsumsi atau sejenisnya, (b) kekhawatiran tatkala memotong bagian tubuh lebih rendah dibanding kekhawatiran tidak makan di saat itu.” (Khatib As-Syirbini, Mugnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiah: 1994 M], jilid VI, halaman 164).
 

2. Transplantasi organ tubuh dari orang lain

Transplantasi organ tubuh dari orang lain terbagi menjadi dua bagian: dari orang hidup dan dari orang mati.
 

Transplantasi organ tubuh dari hidup

Syekh Al-Buthi mengutarakan bahwa transplantasi organ tubuh dari orang hidup boleh-boleh saja jika diyakini atau diduga bahwa donor organ tidak berakibat kematian bagi pendonor, tidak berdampak buruk baginya, hidupnya baik-baik saja dan normal seperti biasanya.
 

Hal itu dikarenakan sekalipun anggota tubuh manusia hakikatnya adalah hak Allah, namun Allah memberikan kuasa pada manusia untuk menggunakannya, sehingga beralih nama menjadi hak manusia.  Sedangkan kaidah menyebutkan: “Apabila manusia memiliki wewenang untuk menggunakan sesuatu, maka ia boleh untuk merelakannya kepada orang lain.” 
 

أما إن جزم طبيبان عادلان مختصان بأن حياة المستفاد منه من دون ذلك العضو ستظل مستمرة ومستقرة على نهج سوي... فإن استظهار حكم ذلك منوط بالرجوع إلى قاعدتين... وهتان القاعدتان هما: ١) كل ما كان من حق الإنسان أو  تغلب حق الإنسان فيه على حق الله عز وجل، جاز التصرف به، سواء كان مصدر ثبوت هذا الحق تمليكا أو تمتعا. ٢) كل ما ثبت للإنسان حق التصرف فيه كان له حق الإيثار فيه
 

Artinya, "Adapun jika dua orang dokter spesialis yang adil menetapkan bahwa kehidupan pendonor tanpa anggota tubuh yang didonorkan akan baik-baik saja, normal seperti biasanya ... maka penentuan hukumnya dikembalikan kepada dua kaidah, yaitu: 1) setiap hak manusia atau hak manusia pada sesuatu tertentu lebih unggul dibanding hak Allah ... maka boleh bagi seseorang untuk menggunakannya, baik hak manusia tadi berdasar pada kepemilikan atau hanya penggunaan. 2)apabila manusia memiliki wewenang untuk menggunakan sesuatu maka ia boleh untuk merelakannya kepada orang lain." (Al-Buthi, Qadayah Fiqhiyah Muasirah, jilid I, halaman 119-120).
 

Sebaliknya, hukum donor berubah menjadi haram bila diyakini atau diduga kuat berdampak pada keselamatan nyawa pendonor, meskipun pendonor rela dengannya. Alasannya, esensi kehidupan adalah hak Allah, bukan hak manusia. Karena itu ia tak boleh merelakannya demi orang lain. 
 

أن اقتطاف هذا العضو منه إن غلب على الظن تسببه للموت أو بتعبير أصح : إن لم تتحقق الطمأنينة التامة بأن ذلك لن يؤثر على استقرار حياته وسلامتها لم يجز منه الإقدام على ذلك كما لا يجوز  لأحد أن يكرهه على هذا التنازل ولا يجوز للطبيب الجراحي أن يقبل على تنفيذه. وعلة الحرمة واضحة وهي أن الإنسان لا يملك الإيثار في نطاق حقوق الله عز وجل. وأصل الحياة حق لله سبحانه وتعالى
 

Artinya, "Donor anggota tubuh, jika diduga kuat bahwa hal itu akan menyebabkan kematian pendonor, atau dengan ibarat yang lebih benar: apabila ketenangan sempurna tidak terwujud dari proses pendonoran terhadap normalnya hidup pendonor di kemudian hari, atau keselamatan hidupnya, maka tidak boleh bagi dia untuk mendonorkannya, sebagaimana tidak boleh bagi orang lain memaksanya melakukan pendonoran, serta tidak boleh bagi dokter untuk melaksanakan pencangkokan. Adapun alasan keharamannya sudah jelas, yaitu manusia tidak berhak untuk merelakan sesuatu yang merupakan hak Allah, sedangkan esensi kehidupan hanya milik Allah swt." (Al-Buthi, jilid I/118-119).
 

Transplantasi organ tubuh dari orang mati

Transpantasi organ tubuh dari orang yang telah mati maka Nahdhatul Ulama telah memutuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus 1981 M. Keputusan itu sebagai respon dari pertanyaan mengenai hukum cangkok mata.
 

Hasil dari Munas menyebutkan bahwa terdapat dua pendapat menyangkut cangkok mata. Pendapat pertama cenderung mengharamkan karena melihat kehormatan orang yang sudah mati, baik dia muhdarhaddam (orang tidak dihormati) ataupun tidak.
 

بل يحرم أخذ حداقة الميت ولو غير محترم كمرتد وحربي. ويحرم وصله بأجزاء الآدمي لأن ضرر العمى لا يزيد على مفسدة انتهاك حرمات الميت
 

Artinya, “Bahkan haram mengambil biji mata mayit walaupun ia seorang yang tak terhormat seperti murtad dan kafir harbi. Dan haram hukumnya menyambungnya dengan organ tubuh manusia yang hidup karena mudarat buta tidak lebih buruk dari mudarat merusak kehormatan mayit.”
 

Adapun pendapat kedua membolehkan prosedur ini sebab memandang kebutuhan manusia untuk hidup dengan penglihatan normal dan layak. Hal ini disamakan dengan kebolehan menambal dengan tulang manusia, asalkan empat syaratnya terpenuhi, yaitu

  1. Dibutuhkan.
  2. Tidak ditemukan alternatif lain selain anggota tubuh manusia.
  3. Harus dari muhdaraddam (orang yang tidak terlindungi nyawanya).
  4. Antara orang mengambil dan menerima harus ada persamaan agama. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problemtaika Hukum Islam NU, [Jakarta, Qultum Media: 2004 M], jilid II, halaman 20).
 

Sebagai pendapat sandingan, perspektif Syekh Al-Buthi layak dikemukakan. Menurutnya, proses pencangkokan bisa diambil dari orang yang muhtaram (orang yang terlindungi nyawanya) seperti Muslim yang tidak berzina. Asalkan seluruh ahli waris memberikan izin perihal itu.
 

Hal itu dikarenakan kehormatan tubuh merupakan hak maknawi yang dimiliki setiap manusia, dan bila ia mati maka hak kepemilikannya baik maknawi ataupun fisik diwariskan kepada keluarganya.
 

Berangkat dari sini, kehormatan tubuh mayit beralih kuasa kepada ahli warisnya. Sebagaimana si mayit dahulu dapat mempertahankannya ataupun merelakannya kepada orang lain, maka ahli warispun demikian. Ia dapat mempertahankannya untuk menjaga kehormatan mayit dan dapat pula merelakannya.
 

كل ما كان حقا للعبد يورث بالموت عينا كان أو معنويا. ولا شك أن الكرامة بل القداسة التي متع الله بها الإنسان حق من حقوقه ... فإذا مات الإنسان آل حق كرامته الشخصية إلى ورثته
 

Artinya, "Setiap kepemilikan seorang hamba dapat diwariskan baik fisik ataupun maknawi, dan tidak diragukan lagi bahwa kehormatan bahkan kesucian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya merupakan satu di antara hak manusia. Sehingga, apabila manusia telah wafat maka hak kehormatannya berpindah pada ahli warisnya." (Al-Buthi, I/130).
 

Syekh Al-Buthi juga berusaha mentakwil maksud para fuqaha mengenai keharaman mutlak pencangkokan organ mayit dengan alasan menjaga kehormatan mayit. Ketentuan itu berlaku ketika transfer organ mayit ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya tersier, bukan primer ataupun sekunder.
 

ولذا فالمرجح أنهم أرادوا بما أطلقوه من المنع، الاستفادة التي لا تلجئ إليها ضرورة
 

Artinya, "Karena itu, maka pendapat yang diunggulkan bahwa maksud dari apa yang fuqaha sebutkan tentang keharaman pencangkokan secara mutlak, adalah pencangkokan yang tidak berasas keadaan darurat." (Al-Buthi, I/131).
 

Terlihat jelas, Syekh Al-Buthi lebih mengunggulkan pendapat kedua yang membolehkan transfer organ tubuh mayit. Pastinya, dengan mempertimbangkan syarat-syarat sebelumnya serta menafikan syarat ketiga, yakni mayit yang diambil organnya harus muhdaraddam. Beliau condong untuk membolehkan pada semua mayit sekalipun muhtaram, namun harus berlandaskan izin dari ahli waris mayit.
 

Penting untuk digarisbawahi, bahwa ahli waris tidak boleh menjadikan organ tubuh mayit sebagai barang niaga dan bahan komersial. Sebagaimana yang disebutkan dalam fatwa MUI nomor 12 tahun 2019 tentang transplantasi organ dari pendonor mati.
 

3. Transplantasi organ tubuh dari spesies lain

Transplantasi jenis ini mengandalkan hewan baik suci ataupun najis sebagai objek untuk diambil manfaatnya. Masalah ini juga telah diputuskan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung 4 Desember 1994.
 

Keputusan itu merupakan tanggapan dari soal yang dikemukakan tentang transplantasi organ babi yang statusnya najis mughallazhah (berat) pada bagian tubuh manusia. Jawaban yang disepakati dari musyawarah tersebut adalah tidak bolehnya pencangkokan tersebut, dengan alasan masih banyak benda suci yang dapat digunakan.
 

Pencangkokan baru bisa dikatakan boleh kala benda suci atau hewan suci tidak bisa digunakan, atau bisa digunakan namun tak seefektif organ babi tersebut, dan pastinya pencangkokan ketika itu sangat diperlukan, bukan sekedar untuk kecantikan dan semacamnya. (Ahkamul Fuqaha, II/99).
 

Dari yang Haram hingga yang Dibolehkan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, transplantasi dengan tiga jenisnya memiliki hukum masing-masing. Transplantasi pertama, yaitu dari dan untuk tubuh yang sama maka hukumnya boleh asalkan dengan tujuan pengobatan bukan kecantikan.
 

Transplantasi kedua, yaitu dari orang lain terbagi menjadi dua.
 

Pertama, dari orang hidup, hukumnya boleh jika tidak berdampak pada hilangnya nyawa korban. Sebaliknya jika proses pencangkokan berakibat kematian maka hukum pencangkokan berubah menjadi haram.
 

Kedua dari mayit. Hukumnya terdapat perbedaan pendapat antara yang mengharamkan dan membolehkan. Mereka yang mengharamkan berdalil rusaknya kehormatan mayit sebab transplantasi. Adapun mereka yang membolehkan mengharuskan syarat-syarat yang ketat untuk dipatuhi.
 

Transplantasi ketiga, yaitu dari spesies lain berupa hewan yang najis seperti babi dan anjing maka hukumnya dibolehkan selama tidak ada hewan yang suci, atau ada namun tidak seefektif hewan najis. Selain itu, keadaan yang mendesak untuk melakukan transplantasi juga menjadi pertimbangan kuat. Adapun hewan suci maka diperbolehkan. Walllahu a'lam.


 

Ustadz Muhamad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff, tinggal di Palu Sulawesi Tengah