Syariah

Viral Bandar Judol Dirugikan, Begini Hukum Menipu Penipu dalam Islam

NU Online  ·  Ahad, 10 Agustus 2025 | 10:30 WIB

Viral Bandar Judol Dirugikan, Begini Hukum Menipu Penipu dalam Islam

Ilustrasi judol. (Foto: NU Onlne/Freepik)

Belakangan media sosial dihebohkan dengan kabar penangkapan sekelompok orang di Bantul, Yogyakarta, yang berhasil mengelabui bandar judi online (judol). Mereka berpura-pura ikut bermain, namun dengan taktik tertentu justru membuat sang bandar jadi rugi besar. Netizen pun ramai memberi dukungan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “karma instan”.

 

Dalam keterangan resminya, pihak kepolisian yang menggerebek mereka mengaku bahwa penangkapan tersebut berdasarkan adanya aduan masyarakat. Sebagian besar netizen juga menuntut agar bukan hanya pelaku “pembobol” sistem bandar judol yang ditangkap, namun yang lebih penting adalah menangkap para bandar tersebut.

 

Lalu, bagaimana sebenarnya hukum “menipu penipu” dalam pandangan Islam? Apakah ini boleh, atau justru tetap dilarang?

 

Secara hukum syariat, menipu (ghisy) adalah perbuatan yang haram tanpa memandang siapa yang menjadi korbannya. Hukum tersebut Nabi tegaskan saat beliau menjumpai pedagang yang menyembunyikan bahan makanan berkualitas buruk akibat terkena air hujan dalam tumpukan besar. Dari riwayat Abu Hurairah ra, ia menceritakan:

 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ. قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

 

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102)

 

Sabda Rasulullah SAW: “bukan dari golongan kami” mengindikasikan bahwa pelaku penipuan masuk dalam kategori telah melakukan dosa besar. Hal yang harus kita perhatikan pula dalam hadits ini ialah bersifat umum. Menipu tetap dosa meskipun dilakukan kepada pelaku maksiat seperti bandar judi, apalagi jika tujuannya untuk mencari keuntungan pribadi secara zalim.

 

Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda:

 

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

 

Artinya: “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka.” (HR. Ibnu Hibban 2: 326).

 

Boleh mengelabui untuk hentikan kemungkaran

Berbeda dengan penipuan murni, strategi atau tipu muslihat yang bertujuan menghentikan kemungkaran bisa dibolehkan dalam Islam. Ulama menyebutnya sebagai khid‘ah (strategi licik yang dibenarkan). Kebolehannya sama seperti kebolehan berbohong yang bertujuan untuk mewujudkan kemenangan kaum muslimin dalam peperangan serta tujuan lainnya yang diperkenankan secara syariat.

 

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan:

 

ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻴﻪ ﻣﺒﺎﺡ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺤﺼﻴﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﻣﺒﺎﺣﺎً ، ﻭﻭﺍﺟﺐ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻭﺍﺟﺒﺎً ، ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﻋﺼﻤﺔ ﺩﻡ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻭﺍﺟﺒﺔ. ﻓﻤﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻕ ﺳﻔﻚ ﺩﻡ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺴﻠﻢ ﻗﺪ ﺍﺧﺘﻔﻰ ﻣﻦ ﻇﺎﻟﻢ ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻴﻪ ﻭﺍﺟﺐ. ﻭﻣﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺘﻢ ﻣﻘﺼﻮﺩ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺃﻭ ﺇﺻﻼﺡ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﺳﺘﻤﺎﻟﺔ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻻ ﺑﻜﺬﺏ ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻣﺒﺎﺡ،

 

Artinya: “Dalam hal ini berbohong hukumnya diperbolehkan jika tujuannya adalah menghasilkan sesuatu yang diperbolehkan, dan jika menghasilkan tujuan yang terpuji hukumnya wajib, maka hukumnya berbohong juga wajib, sebagaimana wajibnya menjaga darah seorang muslim. Jika ia jujur malah dikhawatirkan menyebabkan mengalirnya darah seorang muslim, maka ia wajib berbohong. Ketika tujuan peperangan atau mendamaikan orang yang bersengketa atau menenangkan hati orang yang menjadi korban kejahatan tidak bisa hasil kecuali dengan cara berbohong, maka berbohong dalam keadaan tersebut diperbolehkan”. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, [Beirut: Dar al-Kutub, 1999 M], j. II, h. 332)

 

Rasulullah SAW sendiri pernah menyatakan kebolehan melakukan tipu daya (khid’ah) dalam peperangan, bahkan menyatakan bahwa peperangan itu sendiri intinya adalah tipu daya:

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلَكَ كِسْرَى ثُمَّ لَا يَكُونُ كِسْرَى بَعْدَهُ وَقَيْصَرٌ لَيَهْلِكَنَّ ثُمَّ لَا يَكُونُ قَيْصَرٌ بَعْدَهُ وَلَتُقْسَمَنَّ كُنُوزُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَسَمَّى الْحَرْبَ خَدْعَةً

 

Artinya: “Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Muhammad, telah bercerita kepada kami 'Abdur Rozzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Hammam dari Abu Hurairah RA. dari Nabi SAW, beliau bersabda: ‘Kisro (Raja Persia) akan hancur dan tidak akan ada lagi Kisro setelah itu. Sedangkan Qoishor (Raja Romawi) pasti akan hancur dan tidak ada lagi Qoishor setelah itu. Dan sungguh kalian akan membagi-bagikan perbendaharaan kekayaan mereka di jalan Allah.’ Dan Beliau mengistilahkan perang adalah tipu daya.” (Shahih Bukhari hadis no.2803)

 

Jika aksi warga Bantul ini diniatkan untuk melemahkan atau menghentikan aktivitas bandar judi yang merusak masyarakat, tanpa merampas hak yang halal, maka perbuatan itu lebih dekat kepada strategi amar ma’ruf nahi munkar daripada penipuan haram. Maksudnya, secara teknis apabila yang dilakukan oleh mereka adalah penghancuran sistem judol tersebut dengan niat memerangi mereka tanpa berharap keuntungan pribadi, maka hal tersebut diperbolehkan.

 

Dalam syariat Islam, harta hasil judi termasuk harta haram karena diperoleh secara batil dan pemiliknya tidak memiliki hak legal atasnya. Oleh karena itu, konsekuensinya harta semacam ini tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi yang murni duniawi dan perampasannya harus melewati mekanisme yang diperkenankan secara syariat dan hukum positif yang berlaku di suatu negara, misalnya dialihkan atau dimusnahkan untuk mencegah kemaksiatan.

 

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa menipu untuk mengambil keuntungan pribadi dari penipu hukumnya tetap haram. Namun demikian, jika mengelabui sebagai strategi untuk menghentikan kemungkaran, seperti membongkar atau melemahkan bandar judi, maka hal ini boleh selama tidak melanggar ketentuan syariat. 

 

Terakhir, bagaimana pun juga harta hasil judi tidak halal dimiliki, meskipun boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat setelah dipisahkan dari niat mencari untung pribadi. Islam membolehkan tipu muslihat untuk melawan penipu hanya jika niat dan caranya benar, serta tidak mengubah pelaku menjadi penipu baru. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ibnu Sahroji, atau Ustadz Ges.