Syariah

Akad Syirkah yang Rusak: Waspada Pencaplokan Lahan oleh Pemodal

NU Online  ·  Ahad, 6 Desember 2020 | 15:00 WIB

Akad Syirkah yang Rusak: Waspada Pencaplokan Lahan oleh Pemodal

Ada risiko yang berbeda bila suatu penyertaan modal dirupakan sebagai aset, dan dirupakan sebagai uang.

Tulisan ini masih membicarakan mengenai akad syuf’ah (akuisisi barang) dan jebakan yang mungkin terjadi di dalamnya akibat praktik transaksi yang beruntun, misalnya dengan akad syirkah (kemitraan). Sudah pasti, syirkah yang akan kita contohkan di sini adalah syirkah yang fasidah (rusak).

 

Faedah dari tulisan ini adalah untuk mengenali contoh sengketa yang bisa jadi sangat merugikan masyarakat kalangan bawah (grassroots). Mengapa? Sebab, mereka umumnya berlaku sebagai penderita/korban ketidaktahuan. Akhirnya mereka dijebak dengan kamuflase-kamuflase seolah-olah akad itu legal.

 

Bagi pihak ini, menggugatnya pun kadang justru malah balik mereka yang bisa terjerat hukum. Sebab, masyarakat kalangan bawah ini sudah terjalin kerja sama kontrak yang dibubuhkan dalam suatu materai. Untuk memudahkan pemahaman ini, kita bisa menyimak ilustrasi di bawah ini.

 

“Suatu misal ada seorang pengusaha hendak mendirikan sebuah mal atau pusat perbelanjaan. Lalu, ia mencari tanah untuk bisa didirikan pusat perbelanjaan itu. Pada akhirnya, didapati sebuah tanah dengan luas lahan yang cocok untuk rencana tersebut. Namun, tanah itu milik seorang rakyat kecil. Untuk memudahkan langkah mengakuisisi lahan, sehingga ia tidak perlu keluar uang untuk membelinya, maka ditawarkanlah skema kerja sama berupa anjak modal. Warga pemilik tanah diajak untuk ikut bergabung dalam permodalan. Caranya, tanah tersebut dijadikan sebagai bagian dari modal usaha. Akhirnya terjadilah kesepakatan bersama, lalu didirikanlah sebuah bangunan di atas tanah tersebut.

 

Di tengah perjalanan pembangunan mal, tiba-tiba semua pemodal dihadirkan dalam suatu rapat oleh pengusaha. Klaim pihak manajemen bahwa terjadi kekurangan biaya untuk melanjutkan pembangunan mal. Akhirnya ditawarkan sebuah kesepakatan bahwa pihak pemodal akan dipungut biaya untuk keperluan penambahan modal tersebut, dan biaya itu tidaklah kecil. Merasa dirinya tidak memiliki dana sebesar modal susulan itu, warga yang sebelumnya merelakan tanahnya untuk dilibatkan dalam pendirian mal, merasakan keberatan dan menghendaki agar perjanjian kerja sama itu dibatalkan.

 

Masalahnya adalah tanah itu sudah terlanjur memiliki bangunan mal yang belum jadi di atasnya. Pada akhirnya, jika dipaksakan ikut andil di dalam akad kerja sama (syirkah) itu, maka modal tanah masyarakat tadi menjadi memiliki nisbah saham yang sangat kecil, sehingga berujung pada perolehan pendapatan yang sangat kecil juga. Sementara itu, jika tidak dipaksakan ikut kerja sama, pihak pemilik tanah tidak bisa mengambil lagi tanahnya sebab sudah ada bangunan.”

 

 

Contoh kasus inilah yang disebut oleh penulis sebagai bagian dari jebakan akad. Maju untuk melanjutkan akad syirkah, warga itu rugi. Mundur dengan mengambil alternatif akad syuf’ah (akuisisi), ia juga rugi. Menggugat ke pengadilan pun, masyarakat juga bisa dirugikan karena sudah terikat kontrak materai. Jadilah simalakama baginya. maju kena, mundur juga kena.

 

Lantas bagaimana solusi kewaspadaan itu harus kita bangun agar terhindar dari praktik serupa?

 

Sebenarnya kasus di atas bermula dari akad syirkah (kemitraan). Kesalahan dari akad kemitraan ini dalam mazhab Syafi’i adalah modal yang dikumpulkan oleh peserta syirkah tidak berupa uang (nadlin), melainkan berupa barang/aset.

 

Ada risiko yang berbeda bila suatu penyertaan modal dirupakan sebagai aset, dan dirupakan sebagai uang.

 

Pertama, bila penyertaan modal dihitung berupa aset, maka ketika terjadi pembatalan akad syirkah, pihak yang memiliki aset seharusnya menerima aset itu kembali. Mengapa? Sebab, sifat percampuran modal yang berlaku atas aset-aset tersebut adalah termasuk jenis percampuran tidak sempurna (khalathah jiwar).

 

Dalam percampuran jenis ini, aset masyarakat pemodal yang dipergunakan oleh pihak pendiri mal, tidak bisa dinilai sebagai bagian dari modal, melainkan harus dinilai sebagai aset yang disewa. Oleh karenanya, akad yang terjalin di antara mereka, meskipun di atas kertas berbunyi sebagai akad syirkah (kerja sama permodalan), pada dasarnya syirkah itu adalah termasuk syirkah yang fasidah (rusak).

 

Solusinya, kasus itu harus dikembalikan pada dalil asal dari syirkah, yaitu percampuran sempurna (khalathah isytirak). Mengapa? Sebab kaidah yang berlaku bagi masyarakat sebelum ia terlibat dalam jerat akad adalah ia bebas dari percampuran modal (al-ashlu baraatu al-dzimmah).

 

Jika dalam kasus ini pihak pengelola tidak bisa menjadikannya sebagai bagian dari percampuran sempurna, menandakan pihak pengelola telah melakukan penyimpangan (eksklusi) terhadap akad kerja sama (syirkah). Dan sebagai pihak yang telah melakukan penyimpangan sehingga berakibat kerugian (idlrar) pada pihak lain, maka ia wajib memberikan ganti rugi (dlaman) ke masyarakat peserta syirkah.

 

Lewat apa? Sudah barang tentu hal itu harus dilakukan lewat akad syuf’ah, yaitu mengakuisisi aset, dengan besaran sesuai harga jual aset di tanggal terjadinya pembatalan akad. Harga ini selanjutnya disebut sebagai harga mitsil, yaitu harga jual aset di pasaran.

 

Untuk di Indonesia, harga pasaran semacam sudah ditetapkan dalam nota pajak yang dibayarkan oleh masyarakat pemilik aset setiap tahunnya, dengan istilah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

 

Bagaimana bila pihak pengelola tidak mau membayar ganti rugi?

 

Jika proses akuisisi tidak bisa dilakukan maka kasus di atas bisa dibaca sebagai kasus ijarah fasidah (sewa-menyewa yang rusak). Mengapa? Sebab, dalam praktik ijarah, pihak penyewa (ajir/ musta’jir) tidak boleh mendirikan sebuah bangunan permanen di atas lahan yang disewa.

 

Bagaimana bila sudah terlanjur didirikan bangunan permanen di atas lahan tersebut?

 

Jika hal ini terjadi, dan pihak pemilik aset menyatakan pembatalan akad sewa, sehingga aset harus kembali kepada pihak yang menyewakan (muajjir), maka ada 2 alternatif yang harus dilakukan oleh pihak penyewa (pendiri mal), antara lain:

  1. Ia harus mengakuisisi aset tanah yang sudah digunakan sesuai nota NJOP
  2. Ia harus merobohkan bangunan yang sudah didirikan di atasnya, sehingga pemilik aset kembali menerima tanahnya sebagaimana sedia kala. Dasar solusi ini diterapkan adalah dengan mengikut kembali pada kaidah asal yaitu ketiadaan beban/tanggungan dari pihak pemilik aset.

 

Alhasil, pihak pemodal memiliki keterikatan yang bersifat wajib ditempuh (tsabitah) lewat 2 relasi di atas, sebab secara otomatis dalam ijarah fasidah, berlaku keharusan akad syuf'ah yang hukumnya adalah wajib sebagai risiko rusaknya akad.

 

Kedua, bila penyertaan modal melalui mekanisme jual beli aset terlebih dulu, yang diikuti penyerahan besaran uang modal, maka percampuran modal yang terjadi di antara kedua pihak pemodal dan pengelola mal adalah termasuk percampuran sempurna (khalathah isytirak). Akad syirkahnya termasuk akad syirkah yang sahih.

 

Saat sebuah syirkah dinilai sahih maka pembatalan akad oleh salah satu pemodal meniscayakan kembalinya modal masyarakat kepada pemilik asalnya. Berapa besarannya?

 

Mengingat akad syirkah merupakan akad yang berstatus hukum jaizah (mubah/boleh), maka besaran modal yang kembali adalah sesuai dengan besaran modal awal itu disetor oleh masyarakat. Besaran ini berlaku, selagi mal yang dibangun tersebut belum beroperasi dan masih dalam tahap persiapan.

 

Namun, apabila mal itu sudah beroperasi maka modal yang wajib kembali kepada masyarakat pemodal menyesuaikan dengan nisbah kepemilikan masyarakat terhadap total aset yang berlaku di hari pemodal itu memutuskan keluar dari akad kerja sama (syirkah).

 

Kesimpulan

Dalam kasus terjadinya penyimpangan akad kerja sama (eksklusi) yang diakibatkan pihak pengelola tidak bisa menjadikan akad kerja sama tersebut sebagai berbasis percampuran modal secara sempurna (khalathah isytirak), maka ketentuan yang berlaku dalam syara’, adalah kembalinya aset modal kepada pemilik asalnya.

 

Jika ketentuan kembali ini tidak bisa dilakukan, maka akad yang berlaku sebagai buah dari akad perjanjian kerja sama yang rusak, adalah: pihak pengelola wajib menerapkan akad sewa jasa, dengan catatan tidak ada bangunan permanen yang dibangun di atas aset yang disewa. Pendirian bangunan permanen di atas aset yang disewa, adalah termasuk kategori eksklusi (penyimpangan) akad sewa (ijarah) sehingga termasuk ijarah yang fasidah

 

Bila terjadi akad ijarah fasidah, maka kewajiban yang berlaku bagi pelaku idlrar (merugikan orang lain) ada 2, yaitu:

  1. Merobohkan bangunan yang ada di atas aset yang disewa
  2. Mengakuisisi aset yang disewa dengan jalan membelinya sesuai dengan harga mitsil (standar) aset di pasaran. Harga mitsil, umumnya sudah ditetapkan oleh pemerintah lewat nota pajak, dengan istilah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

 

Wallahu a’lam bish shawab

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim