Syariah

Apakah Ibu Bersalin dengan Operasi Caesar Harus Mandi Wajib Wiladah?

Sel, 12 Januari 2021 | 10:45 WIB

Apakah Ibu Bersalin dengan Operasi Caesar Harus Mandi Wajib Wiladah?

Bagaimana dengan seorang wanita yang melahirkan melalui operasi caesar, apakah juga wajib mandi? Bukankah bayi keluar dari jalan yang bukan biasanya? 

Setelah seorang calon ibu sempurna mengandung jabang bayi, pada saatnya bayi itu akan lahir dari rahim kandung ibunya. Setelah benar-benar tuntas proses persalinan, maka bagi ibunya ada kewajiban mandi karena melahirkan.


Mengapa kelahiran bayi mewajibkan mandi? Karena pada dasarnya bayi yang dilahirkan itu adalah sperma yang berkumpul dan berproses di dalam rahim sang ibu. Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Nihayatuz Zain menganalogkan kewajiban mandi itu dengan pernyataan beliau,


لِأنّ الغسْلَ يجبُ بِخرُوج الْماء الذِي يخلق منه الولدُ، فَبِخروجِ الولدِ أوْلَى


Artinya, "Karena, sungguh mandi itu wajib dengan sebab keluarnya air (sperma) yang bayi tercipta darinya, maka dengan kelahiran anak (kewajiban mandi) itu lebih utama." (Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa tahun], halaman 29).


Di samping melahirkan dengan cara normal, ada pula kemungkinan dan bahkan menjadi alternatif pilihan melahirkan dengan jalan operasi caesar. 


Di antara perkara yang mewajibkan mandi untuk wanita adalah persalinan atau pelahiran, dan nifas.


Bagaimana dengan seorang wanita yang melahirkan melalui operasi caesar, apakah juga wajib mandi? Bukankah bayi keluar dari jalan yang bukan biasanya? 


Orang yang selesai dioperasi, termasuk wanita yang dioperasi caesar tentu ada bekas operasi di perut wanita tersebut. 


Setelah operasi memang tidak boleh langsung mandi. Luka operasi kemudian dilapisi dengan plastik (perban atau plaster) yang boleh terkena air. Lapisan itu setelah 7 hingga 10 hari sudah bisa dibuka dan boleh mandi seperti biasa (luka ya boleh terkena air), walaupun belum boleh berendam.


Di antara hal yang mewajibkan mandi adalah melahirkan, meskipun masih berupa segumpal darah ('alaqah) dan segumpal daging (mudhgah), bila kelahiran tersebut terjadi secara normal (tanpa operasi), dan dengan catatan bahwa menurut dokter, gumpalan itu memang proses bakal bayi. 


Namun bila proses kelahiran bayi tersebut terjadi dengan cara operasi, bukan melalui jalan normal seperti kebiasaannya, maka ada dua alternatif pendapat ahli fikih:


Pendapat pertama, ia tetap wajib mandi wiladah.


Adapun bagian tubuh yang direkomendasi dokter untuk sementara tidak boleh terkena air, maka diganti dengan tayamum, dengan mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan, adapun bagian tubuh yang normal, dimandikan dengan diguyur air secukupnya, sekira tidak mengenai bagian bekas operasi tersebut.


Pendapat kedua, tidak wajib mandi wiladah.


Jika dengan mengikuti pendapat pertama mengalami kesulitan, maka boleh mengikuti pendapat yang kedua, walaupun mendapatkan penentangan dari ulama pendukung pendapat pertama. 


ولوْ ولدتْ مِن غيْرِ الطَريق المُعْتادِ فَالَّذي يَظهَرُ  وُجوبُ الغسل أخْذا مِمّا بحَثهُ الرَملي .....اِلى اَنْ قالَ وقال بعضُهم قدْ يتّجه عدمُ الوجوبِ.


Artinya, "Jika seorang wanita melahirkan melalui jalan yang bukan biasanya, maka yang jelas ia tetap wajib mandi, dengan mengambil pijakan kajian Syekh ar-Ramli....Sebagian ulama (mazhab Syafi'i) berpendapat bahwa kadang bisa dibuat pegangan pendapat tidak wajibnya mandi (wiladah)." (Imam Al-Baijuri, Hasyiatul Bajuri, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], juz I, halaman 74).


Lebih lanjut, ulama yang memilih tidak mewajibkan mandi dalam persalinan bukan dengan jalan normal itu beralasan bahwa bayi itu adalah semacam sperma yang berproses, sehingga ketika bayi itu keluar dari jalan yang bukan biasanya maka dianggap tidak muktabar, padahal jalan normalnya masih terbuka. Argumentasi ini pun mendapat tentangan dari kelompok pertama, dengan pernyataannya bahwa kelahiran itu sendiri inheren mewajibkan mandi. 


Namun perlu dijadikan perhatian bahwa kewajiban mandi wiladah atau persalinan itu jika tidak disertai dengan keluarnya darah nifas (akumulasi darah haid yang keluar setelah rahim mengeluarkan bayi secara tuntas).


Nah, jika persalinan itu disertai dengan keluar darah nifas, maka kewajiban mandi wiladahnya itu menunggu tuntas keluarnya darah nifas.


Masa nifas sendiri minimal adalah setetes, pada umumnya adalah 40 hari, dan paling lama 60 hari.


Dengan mengacu pada ghalibnya masa nifas ini, maka dapat dikatakan bahwa para ibu yang melahirkan secara caesar tak perlu risau, karena pada masa 40 hari itu InsyaAllah sang ibu aman untuk mandi menghilangkan hadats besar karena persalinan dan nifas. 


Karena pada umumnya, luka operasi akan sembuh sempurna pada masa 2-3 minggu. Untuk memperoleh penyembuhan yang cepat, pasien dianjurkan memperbanyak mengonsumsi protein seperti telur dan ikan, cukup istirahat dan melatih menggerakkan luka operasinya dengan cara yang terukur, sesuai dengan keadaan, dan tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lemah. Wallahu a’lam.


Ustadz Yusuf Suharto, Tim Aswaja NU Center Jatim