Syariah

Apakah Mengkritik Pemerintah Bagian dari Suul Adab?

Sab, 8 Juli 2023 | 10:00 WIB

Apakah Mengkritik Pemerintah Bagian dari Suul Adab?

Ilustrasi mengkritik pemerintah. (Foto: NU Online)

Kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Dalam konteks Indonesia, kebebasan berpendapat telah menjadi pilar utama dalam membangun sistem demokrasi yang inklusif dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Tindakan itu juga memberikan wadah bagi individu untuk menyuarakan ide, kritik, pandangan, dan pemikiran mereka tanpa takut akan represi atau hukuman dari pemerintah atau pejabat yang berkuasa.

 

Lebih jauh, kebebasan berpendapat memainkan peran sentral dalam menjaga kebebasan sipil, mendorong perdebatan yang sehat, mempromosikan inovasi dan perubahan sosial, serta memungkinkan terciptanya sistem pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Kran kebebasan berpendapat yang dibuka, sejatinya menjadi sarana bagi individu untuk mengemukakan kekhawatiran, kritik, dan pandangan mereka mengenai kebijakan pemerintah, tindakan politik, atau isu-isu sosial yang relevan.

 

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang mendasar. Setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan pikiran dan pendapatnya tanpa ada campur tangan atau penghalang dari pemerintah atau pihak lainnya. Secara legal formal, hak bersuara, mengkritik dan menyampaikan aspirasi diakui secara universal oleh berbagai instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights, [ICCPR] pada tanggal 16 Desember 1966.

 

Hukum Mengkritik Pemerintah dalam Islam 
Lantas bagaimana dalam Islam dalam memandang kebebasan berpendapat? Apakah Islam membolehkan mengkritik kepala negara atau pemerintahan yang berkuasa?

 

Dalam ajaran Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjalankan tugasnya dan umat Muslim diperintahkan untuk patuh kepada pemimpin yang sah. Kewajiban taat pada pemimpin tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran. Al-Quran menyatakan bahwa taat kepada pemimpin merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah. Dalam Surah An-Nisa [4] ayat 59, Allah berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”

 

Imam Thabari dalam kitab Jāmi’ al Bayān, mengatakan ayat ini menganjurkan untuk mentaati segala perintah Allah dan juga taat kepada Rasulullah. Pasalnya, pelbagai ajaran Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad sejatinya ialah perintah dari Allah. Jika seorang muslim, taat akan perintah Rasulullah dengan mengerjakan ajaran yang dibawanya, sejatinya muslim tersebut juga taat pada Allah. Abu Ja’far al Thabari berkata; 

 

يعني بذلك جل ثناؤه: يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله ربكم فيما أمركم به وفيما نهاكم عنه، وأطيعوا رسوله محمدًا صلى الله عليه وسلم، فإن في طاعتكم إياه لربكم طاعة، وذلك أنكم تطيعونه لأمر الله إياكم بطاعته،

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Tuhanmu, dengan segala macam yang perintahkan kepadamu dan apa yang Allah larang untukmu, dan taatilah Rasul-Nya Muhammad SAW, karena dalam ketaatanmu kepada yang dibawa baginda Nabi adalah ketaatan kepada perintah Allah Tuhanmu, dan demikian juga bahwa anjuran engkau mematuhi Nabi adalah perintah Allah kepada jua mu.”  (Abu Bakar Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabari, Jāmi’ al Bayān, [Mekkah, Dar Tarbiyah wa at Turats, tt] hal. 495)

 

Lebih lanjut, adapun maksud dari taat pada ulil amri, ialah kepala negara atau pemerintahan atau pemimpin. Tentu dengan catatan, ketaatan pada pemimpin, selagi mereka tidak memerintahkan kepada tindakan maksiat yang mencederai ketaatan pada Allah.

 

حدثني أبو السائب سلم بن جنادة قال، حدثنا أبو معاوية، عن الأعمش، عن أبي صالح، عن أبي هريرة في قوله:"أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم"، قال: هم الأمراء.

Artinya: “Menceritakan Abu Saib Salam bin Junadah, berkata ia, menceritakan Abu Muawiyah, dari ‘Amasy. Dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah, firman Allah “taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri”, ia berkata: mereka adalah pemimpin.” (Abu Bakar Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabari, Jāmi’ al Bayān, [Mekkah, Dar Tarbiyah wa at Turats, tt] hal. 495)

 

Kendati wajib taat kepada pemimpin, Islam juga menyediakan ruang untuk mengkritik pada pemerintah. Dalam hukum Islam, tidak ada larangan mengkritik kepala negara atau pemerintah. Namun, kritik haruslah dilakukan dengan cara yang sopan, adil, dan mempertimbangkan kepentingan umum. Mengkritik kepala negara dalam Islam diharapkan dilakukan dalam kerangka menyampaikan saran konstruktif dan memperbaiki situasi, bukan untuk menyebabkan kerusakan atau melanggar keharmonisan sosial.

 

Dalam sejarah Islam, akan ditemukan kisah Abu Bakar meminta untuk dikritik ketika dilantik menjadi khalifah pertama. Ahmad Syalabi dalam kitab Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, [Kairo: Maktabah Andhah Mesir, 1959]  menceritakan dalam menghadapi tugas yang berat ini, Abu Bakar memahami pentingnya mendengarkan suara rakyatnya dan belajar dari kesalahan yang mungkin ia buat. Kisah Abu Bakar meminta orang-orang untuk mengkritiknya jika ia melenceng saat dilantik sebagai khalifah pertama umat Islam mengajarkan kita tentang pentingnya sifat rendah hati, kejujuran, dan kesungguhan dalam kepemimpinan. 

 

Permintaannya tersebut menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, ia mengutamakan kepentingan umat Muslim dan ketaatan kepada prinsip-prinsip Islam di atas kepentingan pribadi. Ia menyadari bahwa kepemimpinannya akan diuji dan bahwa ia akan menghadapi tantangan yang berat. 

 

Dengan meminta orang-orang untuk mengawasinya dengan cermat, ia memastikan bahwa ia akan tetap berada di jalur yang benar dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad. Kesungguhan dan tekadnya untuk menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana tercermin dalam permintaannya yang tulus ini.

 

Adab Saat Mengkritik Pemerintah dalam Islam
Kendati diperbolehkan mengkritik pemerintah, akan tetapi Islam memberikan rambu-rambu dan tata cara mengkritik pemerintah. Seyogianya mengkritik  pemerintah dilakukan dengan menjaga akhlak dan santun.  Islam mendorong umatnya untuk bersikap lembut, sopan, dan menghindari kata-kata yang kasar atau menyakitkan hati. Rasulullah Muhammad SAW adalah contoh teladan dalam hal ini, beliau senantiasa mengkritik pemerintah dengan sikap yang menghormati dan sopan.
 

Dalam Al-Quran, Allah SWT juga memerintahkan umat Islam untuk berdialog dengan orang-orang yang berkuasa dengan cara yang baik; Dalam Q.S. An-Nahl [16] ayat 125, Allah berfirman:


اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

Artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.”

 

Menurut al Wahidi dalam kitab Tafsir al Basith, dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengajak manusia dengan cara berdialog yang baik, tidak menggunakan kata-kata kasar. Pun ketika harus berdebat seyogianya menggunakan kalimat yang baik, tidak menghardik dengan keras. 

 

{وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ} يعني مواعظ القرآن، {وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} أي افتلهم عما هم عليه، غير فظ ولا غليظ القلب في ذلك، أي ألن لهم جانبك (٥)، ومعنى: {بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} بالكلمة التي هي أحسن

Artinya: “[pengajaran yang baik] maksudnya dengan pengajaran Al-Qur’an, [debatlah mereka dengan cara yang lebih baik] artinya “berlapang hati terhadap mereka, tidak kasar dan tidak keras hati dalam hal itu, apakah engkau melunakkan sikap terhadap mereka?” dan [cara yang lebih baik] artinya dengan menggunakan kalimat yang baik.” (Abu Hasan Ali bin Ahmad al Wahidi, Tafsir al Basith, [Riyadh, Imadatun Bahsul Alami, 1430 H] hal. 232)

 

Dengan demikian, ayat ini menekankan pentingnya menggunakan argumen yang baik dan bijaksana dalam berdiskusi atau berdebat dengan orang-orang yang tidak sepaham atau memiliki pandangan yang berbeda. Ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk berdialog dengan cara yang sopan, bertanggung jawab, dan memberikan argumen yang kuat. Tujuannya adalah untuk mempromosikan pemahaman dan mencapai kesepakatan yang lebih baik.

 

Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini menggarisbawahi pentingnya menjalin komunikasi yang baik dan membangun dialog yang konstruktif dengan orang lain. Ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang mendorong perdamaian, penghormatan, dan toleransi antara individu dengan latar belakang dan pandangan yang berbeda.

 

Selanjutnya, seyogianya menyampaikan kritik dengan baik dan tidak memfitnah.  Dalam Islam, fitnah (pencemaran nama baik) dilarang keras. Ketika mengkritik pemerintah, seseorang harus berhati-hati agar tidak menyebarkan informasi palsu atau merusak nama baik pihak-pihak terkait. 

 

Kritik haruslah didasarkan pada fakta yang benar dan tidak bertujuan untuk menyebarkan fitnah. Selain itu, mengkritik pemerintah juga harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan kesatuan umat dan kestabilan masyarakat. Mengedepankan persatuan dan menjaga kerukunan adalah nilai-nilai penting dalam Islam. Tidak pula dengan tujuan menghina ataupun merendahkan. Nabi bersabda;

 

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ

Artinya: “Siapa saja yang menghinakan pemimpin Allah di muka bumi, maka Allah akan hinakan ia.” [HR. at-Tirmidzi].

 

Terakhir, mengkritik pemerintah merupakan tanggung jawab dan hak yang diberikan kepada umat Muslim. Namun, penting untuk mengingat bahwa kritik harus dilakukan dengan adab, kebijaksanaan, dan niat yang ikhlas demi perbaikan masyarakat. Dalam menyuarakan pendapat, menjaga akhlak, menggunakan argumen yang kuat, menghindari fitnah, dan menyampaikan kritik dengan cara yang tepat adalah prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Ciputat.