Salah satu yang disyariatkan dalam rangkaian Jumat adalah shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah Jumat. Qabliyyah dilakukan sebelum shalat Jumat, biasanya dilakukan sebelum khathib naik ke mimbar. Sedangkan ba’diyyah Jumat dilaksanakan setelah shalat Jumat.
Sebagian masyarakat masih berselisih mengenai jumlah rakaat shalat tersebut. Ada yang beranggapan dua rakaat, ada pula yang mengatakan empat rakaat. Sebenarnya, berapa rakaat yang dianjurkan dalam pelaksanaan qabliyyah dan ba’diyyah Jumat?
Dasar kesunnahan qabliyyah dan ba’diyyah Jumat ditetapkan berdasarkan dua pola istinbath (penggalian hukum). Pertama melalui metode qiyas (analogi) kepada shalat Zhuhur. Kedua, berdasarkan nash hadits, di antaranya adalah:
كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
Artinya, “Nabi shalat dua rakaat setelah shalat Jumat,” (HR Al-Bukhari dan Muslim, hadits shahih).
Dan hadits Nabi:
مَا مِنْ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ إلَّا وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ
Artinya, “Tidaklah shalat fardlu kecuali sebelumnya terdapat dua rakaat sunnah qabliyah,” (HR Ibnu Hibban, hadits Shahih).
Dua hadits tersebut sekaligus memberi petunjuk bilangan rakaat yang dilaksanakan dan diperintahkan Nabi. Di dalam dua hadits tersebut secara tegas mengatakan jumlah rakaat qabliyyah dan ba’diyyah Jumat adalah dua rakaat.
Namun demikian, terdapat pula hadits lain yang menyatakan bahwa jumlah rakaat ba’diyyah Jumat adalah empat rakaat, di antaranya hadits Nabi:
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
Artinya, “Apabila salah satu dari kalian shalat Jumat, maka shalatlah empat rakaat setelahnya,” (HR Muslim, hadits Shahih).
Bagaimana memahami hadits yang terkesan bertentangan di atas? Manakah yang bisa dipakai?
Beberapa hadits di atas tidak bertentangan. Keduanya sama-sama benar. Sebab redaksi hadits yang menyatakan empat rakaat diarahkan pada shalat sunnah yang tidak dikukuhkan (sunnah ghairu muakkadah). Maksudnya, tambahan dua rakaat tidak konsisten dikakukan oleh Nabi.
Adapun redaksi hadits yang mengarah jumlah rakaatnya adalah dua rakaat, diarahkan kepada jumlah rakaat shalat sunnah yang dikukuhkan, artinya konsisten dilakukan Nabi.
Pola kesimpulan demikian sejalan dengan teori pengambilan hukum sunnah shalat qabliyyah dan ba’diyyah Jumat yang berupa penganalogian pada shalat Zhuhur. Dengan demikian dalam status kesunnahan dan status pengukuhan kesunnahannya sama persis dengan shalat rawatib Zhuhur.
Di dalam shalat Zhuhur, baik qabliyyah atau ba’diyyah yang dihukumi sunnah muakkadah adalah dua rakaat, sedangkan tambahan dua rakaat adalah sunnah yang tidak dikukuhkan.
Penjelasan di atas sebagaimana diterangkan dalam referensi berikut ini:
وَالْجُمُعَةُ كَالظُّهْرِ ) فِي الرَّوَاتِبِ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا مِنْ الْمُؤَكَّدِ وَغَيْرِهِ قِيَاسًا عَلَى الظُّهْرِ
Artinya, “Adapun Jumat seperti Zhuhur dalam hal shalat sunnah rawatib sebelum dan setelahnya, sunnah yang dikukuhkan dan yang tidak dikukuhkan, sebab dianalogikan dengan shalat Zhuhur.”
وَلِلْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ كَخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ } وَخَبَرِ { بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ } وَخَبَرِ مُسْلِمٍ { إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا } وَفِي التِّرْمِذِيِّ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا
Artinya, “Karena beberapa hadits yang menjelaskan hal demikian, seperti hadits Al-Bukhari dan Muslim, ‘Bahwa Nabi shalat dua rakaat setelah Jumat,’ ‘di antara dua azan dianjurkan shalat,’ haditsnya Imam Muslim ‘Apabila salah satu kalian shalat Jumat, maka shalatlah setelahnya empat rakaat.’ Di dalam haditsnya Imam At-Tirmidzi ditegaskan bahwa sahabat Ibnu Mas’ud shalat sebelum dan setelah Jumat sebanyak empat rakaat,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 196).
Dalam menjelaskan pembagian shalat sunnah rawatib, baik yang sunnah muakkadah atau sunnah ghairu muakkadah, Syekh Khathib As-Syarbini mengatakan:
وَهِيَ سَبْعَةُ عَشَرَ رَكْعَةٍ : رَكْعَتَا الْفَجْرِ ) قَبْلَ الصُّبْحِ ( وَأَرْبَعٌ ) أَيْ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ ( قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا وَأَرْبَعٌ قَبْلَ الْعَصْرِ ، وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ ، وَثَلَاثٌ بَعْدَ سَنَةِ الْعِشَاءِ يُوتَرُ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ
Artinya, “Shalat sunnah rawatib ada 17 rakaat, dua rakaat sebelum Subuh, empat rakaat sebelum dan setelah Zhuhur, empat rakaat sebelum Ashar, dua rakaat setelah Maghrib dan tiga rakaat setelah shalat sunnah Isya’ yang dibuat witir dengan salah darinya.”
لَمْ يُبَيِّنْ الْمُصَنِّفُ الْمُؤَكَّدَ مِنْ غَيْرِهِ . وَبَيَانُهُ أَنَّ الْمُؤَكَّدَ مِنْ الرَّوَاتِبِ عَشَرُ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ قَبْلَ الصُّبْحِ وَرَكْعَتَانِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَكَذَا بَعْدَهَا وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { صَلَّيْت مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ } . وَغَيْرُ الْمُؤَكَّدِ أَنْ يَزِيدَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ لِلِاتِّبَاعِ .رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَيَزِيدُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا لِحَدِيثِ : { مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ .
Artinya, “Sang pengarang tidak menjelaskan shalat sunnah yang dikukuhkan dan yang bukan. Penjelasannya adalah bahwa shalat sunnah rawatib yang dikukuhkan ada sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum dan setelah Zhuhur, dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah Isya’. Hal demikian karena haditsnya Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata ‘Aku melakukan shalat bersama Nabi dua rakaat sebelum dan sesudahnya, dua rakaat setelah maghrib dan dua rakaat setelah Isya,’” (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Al-Iqna’, juz II hal 55).
Menurut Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, dalil penetapan sunnah rawatib muakkadah seharusnya tidak seperti yang diutarakan oleh Syekh Khathib di atas, namun dalilnya adalah karena ibadah tersebut rutin dilakukan Nabi. Berbeda dengan sunnah ghairu muakkadah yang terkadang ditinggalkan oleh Nabi. Al-Bujairimi menegaskan:
قَوْلُهُ : ( لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ ) لَيْسَ فِي ذَلِكَ مَا يَدُلُّ عَلَى التَّأَكُّدِ الْمُدَّعَى وَلَوْ قَالَ لِمُوَاظَبَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكَانَ أَوْلَى .ا هـ .ق ل .
Artinya, “Ucapan Syekh Khathib, ‘Hal demikian karena hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar,’ tidak ada redaksi di dalam hadits tersebut yang menunjukkan vonis pengukuhan sunnah ibadah shalat sunnah rawatib yang diklaim. Bila Syekh Khathib (dalam berargumen) mengatakan, karena Nabi rutin melakukannya, maka lebih baik,” (Lihat Syekh Bujairimi ala Al-Khathib, Hasyiyatul Bujairimi alal Iqna’, juz II, halaman 55).
Demikian penjelasan mengenai jumlah rakaat shalat qabliyyah dan ba’diyyah Jumat, simpulannya baik yang mengatakan dua dan empat rakaat sama-sama benarnya. Dengan demikian, qabliyyah dan ba’diyyah Jumat minimal dilakukan sebanyak dua rakaat, lebih baik lagi ditambah dua rakaat sehingga menjadi empat rakaat. Wallahu a‘lam.
(Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat).