Syariah

Cara Melunasi Utang yang Tidak Diketahui Nominalnya 

Sab, 3 Februari 2024 | 21:00 WIB

Cara Melunasi Utang yang Tidak Diketahui Nominalnya 

Ilustrasi: uang - dolar (freepik) 2

Sudah maklum bahwa agama Islam sangat menganjurkan untuk saling tolong- menolong antarsesam. Contohnya seperti utang piutang. Banyak kondisi yang memaksa orang harus berutang demi memenuhi kebutuhannya dan orang-orang yang harus dinafkahinya. Seperti ketika sakit dan tidak mampu bekerja, sedangkan ia adalah satu-satunya tulang punggung keluarga.

 

Telah maklum juga bahwa kadang seseorang berutang kepada orang-orang terdekat. Karena kedekatan dan saling percaya, utang piutang tidak ditulis, hanya saling percaya dan pengertian saja. Padahal Islam memerintahkan untuk mencatat utang-piutang sebagaimana Allah berfirman: 

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ 

 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar." (Al-Baqarah:282)

 

Ayat tersebut memerintahkan untuk mencatat utang. Pencatatan ini menjadi penting sebab bila tidak dicatat rawan sekali terjadi kekeliruan, kealpaan, cekcok dan hal-hal negatif lainnya. -
 

Dengan kenyataan ini, saling percaya dan pengertian terkadang justru mempuat lupa jumlah nominal utang sebenarnya, baik si pengutang dan pemberi utang. Ini terjadi karena seringnya berutang atau lamanya pelunasan.
 

Lantas bagaimana cara melunasi utang yang nominalnya tidak diketahui secara pasti? 

 

Kewajiban membayar utang tidak akan pernah hilang sampai mati, bahkan sampai di Akhirat kelak akan tetap menjadi beban kecuali jika pemberi utang telah menghalalkannya. Rasulullah saw bersabda.

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

 

Artinya: "Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Jiwa seorang mukmin itu bergantung dengan utangnya hingga terbayar." (HR Ibnu Majah).

 

Dalam hadits lain disebutkan:

 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ

 

Artinya: "Barangsiapa meninggal sementara ia mempunyai tanggungan utang satu dinar atau satu dirham, maka akan diganti dari pahala kebaikannya pada hari yang dinar dan dirham tidak berguna lagi."

 

Hadits di atas merupakan ancaman bagi orang-orang yang tidak mau membayar utang padahal mampu untuk membayarnya. 

 

Berkaitan dengan permasalahan berapa yang harus dibayarkan bila nominal utannya tidak diketahui secara pasti, Syekh Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya Al-Asybah wan Nazha’ir, menjelaskan:

 

ومنها عليه دين وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإما 

 

Artinya: “Sebagian dari cabang permasalahan kaidah "Hukum Asal dalam Keraguan adalah Tidak Ada" adalah ketika seseorang memiliki tanggungan utang dan ia ragu kadar tanggungannya, maka wajib baginya membayar kadar tanggungan yang diyakininya. Hal ini seperti ketentuan hukum yang telah dipastikan oleh Imam Al-Haramain." (Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1411 H] halaman 56). 

 

Syekh Muhammad Musthofa Az-Zuhaili mengatakan:

 

من كان عليه دين، وشك في قدره، لزمه إخراج القدر المتيقن، ويبقى الورع والاحتياط بإخراج الأكثر

 

Artinya: "Barang siapa yang memiliki tanggungan utang dan ia ragu kadar tanggungannya maka wajib baginya untuk membayar kadar tanggungan yang diyakininya. Sikap wara' dan kehati-hatian menetapkan untuk membayar dengan lebih banyak." (Muhammad Musthafa Az-Zuhaili, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah wa Tathbiquha fil Madzahibil Arba'ah, [Damaskus, Darul Fikr: 1427 H] juz I, halaman 187). 

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang harus dibayarkan bila nominal utang tidak diketahui secara pasti adalah kadar yang diyakini. Sedangkan untuk lebih berhati-hati sebaiknya mengembalikan dengan melebihi dari yang diyakini. Bahkan membayar utang dengan cara dilebihkan adalah akhlak terpuji yang di ajarkan Rasulullah saw. Beliau bersabda: 

 

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

 

Artinya: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah siapa yang paling baik dalam membayar hutang". (HR Al-Bukhari). Wallahu a'lam bisshawab.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dossen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo