Syariah

Meminjam atau Mengutang Uang? Ini Penjelasan menurut Fiqih Muamalah

Sel, 29 Agustus 2023 | 06:00 WIB

Meminjam atau Mengutang Uang? Ini Penjelasan menurut Fiqih Muamalah

Beda Meminjam dan Menghutang dalam Fiqih Muamalah. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Dalam kegiatan sehari-hari, istilah meminjam kerap tertukar dengan istilah mengutang. Praktik yang semestinya disebut mengutang seringkali disebut dengan meminjam. Atau sebaliknya. Padahal, terdapat perbedaan konsep, praktik, dan ketentuan di antara keduanya. 


Untuk itu, kiranya perlu dijelaskan apa perbedaan di antara keduanya. Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitabnya menyebutkan bahwa meminjam sama halnya meminta izin untuk memanfaatkan sesuatu yang halal dimanfaatkan dengan mempertahankan dan tidak merusak zat benda yang dipinjamnya.  


Dengan begitu, barang dan manfaat masih tetap miliki si empunya barang, hanya saja diizinkan oleh si pemilik tersebut untuk diambil manfaatnya oleh si pminjam. Karenanya, Syekh Mushthafa al-Khin mendefinisikan istilah meminjamkan atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “’arah sebagai berikut:   


إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع بقاء عينه. فعقد العاريَّة يتضمن اباحة الانتفاع للمستعير، فهو لا يملك المنفعة وانما يباح له ان ينتفع بالعين، أي الشئ المستعار ،ولذا لا يملك ان يؤجر العين المستعارة لأحد، كما لا يملك ان يعيرها لغيره.


Artinya, “Membolehkan manfaat atas sesuatu yang halal dimanfaatkan disertai dengan tetapnya benda yang dimanfaatkan. Sehingga akad pinjaman mencakup kebolehan manfaat bagi orang yang meminjam (musta’ir). Dan pada dasarnya, ia tidak memiliki manfaat tersebut. Namun ia diperbolehkan memanfaatkan benda atau barang yang dipinjamnya. Karena itu, ia juga tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya kepada orang lain. Begitu pula ia tidak berhak untuk meminjamkannya kembali kepada selain dirinya.” (Lihat: Syekh Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, jilid VII, halaman 39).


Berbeda halnya dengan mengutang atau bahasa Arab dikenal dengan istilah qardh. Sehingga istilah mengutangkan oleh Syekh Musthafa al-Khin didefinisikan sebagai berikut: 


تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة.

 
Artinya, “Memilikkan sesuatu yang bernilai harta kepada orang lain dengan tujuan sesuatu tersebut akan dikembalikan tanpa ada penambahan.”  (Lihat:  al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, [Damaskus: Darul-Qalam], 1992, jilid VI, halaman 101).


Berdasarkan kutipan dan penjelasan ini dapat dibedakan bahwa meminjam adalah izin memanfaatkan barang dari orang lain dengan mempertahankan fisik benda yang dipinjam. Sehingga yang dikembalikan kepada orang yang meminjamkan adalah barang yang sama atau barang yang tadi dipinjam. Lain halnya dengan mengutang yakni izin memanfaatkan barang dengan maksud akan diganti dengan barang yang berbeda. 


Dengan demikian, istilah 'meminjam uang' lebih tepatnya dalam fiqih muamalah diistilahkan dengan 'mengutang uang'. Pasalnya, istilah “meminjam” hanya untuk barang yang akan dikembalikan. Sementara praktik meminjam uang, yang dikembalikan bukan yang semula dipinjam, melainkan penggantiannya dengan nilai yang sama. 


Karenanya, para ulama fikih menetapkan syarat dan ketentuan yang lebih ketat dalam praktik qardh atau mengutang daripada i’arah atau meminjam. Di antaranya: (1) barang yang diutangkan harus jelas timbangan, ukuran, dan jumlahnya. Sehingga tidak sah mengutangkan sesuatu yang tidak jelas timbangan, ukuran, dan jumlahnya. Kemudian (2) barang yang diutangkan harus jelas jenisnya. Tujuannya agar lebih mudah mengidentifikasi pada saat membayar atau mengganti dengan nilainya. (Lihat: al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, jilid VI, halaman 111). 


Sementara dalam praktik pinjam-meminjam yang ditentukan biasanya prosedur pemakaian, manfaat yang diperbolehkan, dan waktu pengembalian barang. Tidak boleh ada kompensasi yang dipersyaratkan dalam praktik peminjaman. Sebab jika ada kompensasi yang disepakati tidak menjadi akad pinjam-meminjam, melainkan akad ijarah atau sewa-menyewa. 


Begitu pula dalam praktik utang-piutang. Tidak boleh ada kelebihan, keuntungan, dan penambahan nilai yang dipersyaratkan oleh pihak yang meminjamkan pada saat pembayaran. Sebab, kelebihan yang disyaratkan di awal peminjaman akan menjadi riba. Dikecualikan si penghutang inisiatif membayar hutang dengan nilai dan kualitas barang yang lebih baik. 


Alasannya, baik akad i’arah atau pinjam-meminjam maupun qardh atau utang-piutang keduanya merupakan bentuk saling menolong di jalan kebaikan dan ketakwaan antar sesama muslim. Wallahu a’lam. 


M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Katib Syuriah MWC NU Sukanagara