Syariah

Cara Mengetahui Illat Hukum

Kam, 30 Mei 2019 | 09:00 WIB

Syekh Ali Jumah menyebutkan bahwa teks-teks syariat yang berhubungan dengan hukum jumlahnya sangat terbatas, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum jumlahnya tidak lebih dari 200 ayat (dari 6.236 ayat). Sedangkan hadits aḥkām juga tidak lebih dari 3000 hadits (dari sekitar 60.000an hadits). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah adagium ‘Nuṣūṣun maḥsūratun” (jumlah naṣ-naṣ terbatas). sedangkan masalah manusia senantiasa berkembang.

النصوص محصورة الوقائع والأحوال الحياتية دائمة التجدد والتزايد والتغير

Artinya, “Teks-teks agama terbatas. Sedangkan kejadian dan kondisi kehidupan manusia senantiasa diperbaharui, bertambah, dan berubah, (Lihat Syekh Ali Jumah, Tārikh Uṣul Fiqh, [Kairo, Dārul Maqṭum: 2015 M], halaman 102).

Dalam hal seperti inilah maka para ahli ushul menggunakan qiyas sebagai metode pengambilan hukum (istinbaṭ al-ḥukm), walau ada juga beberapa perdebatan terkait keabsahan qiyas itu sendiri.

Salah satu rukun qiyas yang harus difahami adalah illat. Mengetahui dan memahami illat menjadi bagian penting dari qiyas karena tidak mungkin qiyas bisa digunakan tanpa diketahui terlebih dahulu illatnya.

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan tiga cara yang paling umum digunakan untuk mengetahui sebuah illat dalam sebuah hukum syariat.

Pertama, Nash (teks). Illat dalam naṣh ini ada kalanya ṣhāriḥ (jelas) dan ada kalanya bil imā’ wal isyārah (dengan tanda atau petunjuk).

Adapun beberapa contoh illat naṣh ṣhāriḥ adalah biasanya menyebutkan secara langsung ‘sebab dan alasannya’ dalam badan naṣh, misalnya dengan lafal “li ajli”, “li alla”, “li sababi”. Contohnya:

أقم الصلاة لدلوك الشمس

Artinya, “Dirikanlah shalat karena matahari sudah bergeser dari titik tengahnya.”

Atau bisa juga naṣh yang ghairus Sārih, seperti:

لايقض القاضي وهو غضبان

Artinya, “Seorang hakim tidak boleh menghukumi sesuatu ketika ia sedang marah,” (Lihat Abdul Wahhāb Khallāf, Ilmu Uṣūlil Fiqh, [Kairo, Maktabah Dakwah Al-Islāmiyah: 1956], halaman 76).

Kedua, Ijmāʽ. Jika para mujtahid berijtihad terhadap illat dari suatu hukum pada suatu masa, maka illat tersebut sah berdasarkan ijma’. Seperti ketetapan para ulama bahwa illat dari didahulukannya saudara kandung (akh syaqīq) daripada saudara seayah (akh lil ab) dalam masalah warisan adalah unggulnya saudara kandung atas kedekatan pada ibu. Maka dari ilat tersebut bisa diqiyaskan bahwa seorang anak laki-laki dari saudara kandung lebih didahulukan dari pada anak laki-laki dari saudara seayah dalam hal perwalian.

Ketiga, As-Sabru wat Taqsīm. Yang dimaksud dengan As-Sabr adalah meneliti sifat-sifat yang memungkinkan untuk bisa dijadikan illat, kemudian melihat apakah illat tersebut sesuai untuk hukum atau tidak. Kemudian menanggalkan illat-illat yang tidak sesuai dan hanya memilih illat yang sesuai.

Adapun Taqsīm adalah menyeleksi dan meringkas lagi sifat-sifat yang telah sesuai dan mengandung aslul qiyas.

Secara eksplisit, dengan mengutip Al-Ghazali dalam Al-Mustaṣfā, Syekh Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa As-Sabru wat Taqsīm adalah:

جمع الأوصاف التي يظن كونها علة في الأصل ثم اختبارها بإبطال مالايصلح منها للعلية فيتعين الباقي للتعليل

Artinya, “Mengumpulkan sifat-sifat yang dikira sebagai illat dalam aṣhl, kemudian menelitinya dengan membatalkan sifat-sifat yang tidak sesuai untuk dijadikan illat, kemudian menentukan sisanya sebagai illat.” (Lihat Syekh Wahbah Zuhayli, Uṣhul Fiqhil Islāmī, [Beirut, Dārul Fikr: 1986 M], juz I, halaman 671).

As-Sabr wat Taqsīm dilakukan apabila ada naṣh yang menerangkan tentang suatu kasus, tetapi tidak ada naṣh yang menerangkan ‘illatnya. Misalnya ketika ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasul SAW mengadu bahwa ia telah berhubungan seksual dengan istrinya pada bulan Ramadhan.

Kemudian Nabi SAW menyuruhnya membayar kafarah berupa memerdekakan budak. Jika tidak dapat, diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Jika masih tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.

Tidak diragukan lagi bahwa hukum ini memiliki illat. Namun yang menjadi illatnya adalah apakah sekadar membatalkan puasa atau atau karena berhubungan suami dan istri?

Menjimak istri jelas bukan haram secara dzatnya. Namun jimak pada siang hari bulan Ramadhan merusak kemuliaan Ramadhan. Hal ini juga sama dengan hal-hal yang membatalkan puasa yang lain. Maka diputuskan bahwa yang menjadi illat adalah kesengajaannya, (Lihat Muḥammad Abū Zahrah, Uṣhūlul Fiqh, [Beirut, Dārul Fikril ʽAraby: tanpa tahun], halaman 245).

Itulah beberapa cara untuk mengetahui illat. Hal ini dirasa sangat penting untuk diketahui sebagai jalan bagi kita memahami sebuah hukum dengan komprehensif, juga agar kita tidak terjebak pada pemahaman yang kaku dan ujung-ujungnya merugikan bagi diri sendiri. Wallahu alam.


Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat Kajian Tafsir dan Hadits.