Definisi Ilmu dalam Kajian Ushul Fiqih
NU Online ยท Senin, 12 Maret 2018 | 14:30 WIB
Salah satu di antaranya adalah pengetahuan untuk melakukan penafsiran terhadap teks Al-Quran.
Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam Al-Lumaโ fรฎ Ushรปlil Fiqih (Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2010) halaman 4 menyebutkan bahwa secara definitif.
Ilmu dimaknai sebagai berikut:
Artinya, โIlmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan apa adanya (kenyataan), sedangkan kaum Muโtazilah berpendapat bahwa ilmu ialah meyakini sesuatu sesuai dengan apa yang memuaskan hati seseorang. Definisi ini keliru karena bisa saja seorang pendosa meyakini bahwa ia berbuat benar.โ
As-Syirazi yang merupakan penganut Madzhab Teologis Asyariyyah berusaha menyinkronkan pengetahuan dan kenyataan, berbeda dengan kaum Muโtazilah yang mengkaitkan pengetahuan dan keyakinan, yang tentu saja keliru sebagaimana kasus seorang pendosa yang bisa saja ia meyakini apa yang dilakukannya benar. Namun, akal sehat manusia tentu saja menyatakan bahwa nyatanya tidaklah demikian.
Dalam memilah ilmu, As-Syirazi membuat kategorisasi sebagai berikut:
Artinya, โIlmu terbagi atas dua, yakni qadim dan muhdits. Ilmu qadim ialah pengetahuan Allah yang berkaitan dengan keseluruhan pengetahuan. Ilmu muhdits ialah ilmu yang diberikan kepada makhluk. Terbagi menjadi dua yakni dlaruri dan muktasab. Ilmu dlaruri ialah ilmu yang didapat tanpa proses karena ia datang secara spontanitas seperti pengetahuan yang didapat dari hasil rasa panca indera, yakni pendengaran, penglihatan, perabaan, penciuman, dan perasaan. Ilmu muktasab ialah ilmu yang hadir sesudah proses pemikiran dan pencarian dalil seperti pengetahuan tentang ketidakkekalan alam, wajib keberadaan Sang Pencipta, kebenaran risalah Rasul, kewajiban shalat beserta jumlah rakaatnya, dan pengetahuan lainnya yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan proses pemikiran dan pencarian dalil.โ
Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa di balik sifat kemahatahuan Allah, terdapat potensi yang Allah berikan kepada manusia untuk berpikir dan menghasilkan pengetahuan yang didapat dari proses pencarian dalil dan pemikiran.
Sebagai contoh, akal kita tidak mungkin menerima jika Allah memiliki tangan karena memiliki tangan adalah sifat makhluk. Sementara Allah mustahil sama dengan makhluk (mukhalafatu lil hawadits). Oleh karena itu kita melakukan proses pentakwilan bahwa yang dimaksud dengan tangan di situ adalah kekuasaan.
Menelan mentah-mentah teks Al-Quran tanpa proses berpikir bisa jadi akan berakibat melemahnya keimanan kita. Oleh karena itu, jangan berputus asa terhadap kemampuan akal yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Wallahu aโlam. (Muhammad Ibnu Sahroji)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
5
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
6
Buka Workshop Jurnalistik Filantropi, Savic Ali Ajak Jurnalis Muda Teladani KH Mahfudz Siddiq
Terkini
Lihat Semua