Syariah

Dinilai Berlebihan, Bagaimana Hukum Menerima Upah dari Pengobatan Ruqyah? 

Sel, 9 Agustus 2022 | 16:00 WIB

Dinilai Berlebihan, Bagaimana Hukum Menerima Upah dari Pengobatan Ruqyah? 

Ustadz Muhammad Faizar lakukan Ruqyah Syariah kepada Denny Sumargo. (Foto: Tangkapan Layar YouTube/ CURHAT BANG Denny Sumargo).

Ruqyah merupakan metode pengobatan islami dengan cara membacakan ayat-ayat Al-Qur’an atau zikir-zikir tertentu baik yang diajarkan oleh Nabi melalui hadits-haditsnya (ma’tsur) atau Nabi tidak mengajarkannya tapi praktiknya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dasar metode pengobatan ini adalah firman Allah swt berikut: 


وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا 


Artinya, “Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Al-Isra [17]: 82) 


Ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu manfaat Al-Qur’an adalah sebagai obat baik untuk penyakit jasmani ataupun ruhani. Semua ulama sepakat dengan tafsir demikian seperti Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib dan Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an


Dalam praktiknya, tidak sedikit praktisi ruqyah menerima imbalan dari pasien bahkan mematok harga sekian rupiah. Bagaimana pandangan Islam dengan praktik demikian? 


Dalam praktik ruqyah, orang yang mengobati (biasa disebut juga praktisi) sudah memberikan jasa kepada pasien yaitu berusaha menyembuhkan penyakit. Sebagai imbalan atas jasa tersebut, praktisi boleh menerima upah atau bahkan mematoknya sesuai dengan nilai yang telah disepakati kedua belah pihak. Transaksi demikian disebut dengan ju’alah, yaitu memberi imbalan yang telah disepakati kepada seseorang atas jasa yang telah diberikan. 


Dasar pengambilan hukum ini adalah hadits tentang salah satu sahabat Nabi yang meruqyah seorang kepala suku akibat tersengat hewan berbisa. Sahabat tadi meminta imbalan beberapa ekor kambing dan kedua belah pihak menyepakatinya. Nabi kemudian menyetujui perbuatan ini. Riwayat ini dijelaskan dalam hadits berikut:   


انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟


فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 


Artinya, “Sebagian sahabat Nabi saw pergi dalam suatu perjalanan yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. 


Kemudian sebagian mereka berkata, ‘Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?’ Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, ‘Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?’ 


Lalu di antara sahabat ada yang berkata, ‘Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami.’


Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ (surat Al-Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit.


Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu. Lalu sebagian sahabat berkata, ‘Bagikanlah.’ Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, ‘Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi saw lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang beliau perintahkan kepada kita.’ Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah dan menyebutkan masalah itu. 


Kemudian Nabi bersabda, ‘Dari mana kamu tahu, bahwa Al-Fatihah bisa sebagai ruqyah?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu.’” (HR Bukhari dan Muslim) 


Para ulama bahkan menjadikan hadits ini menjadi dasar keabsahan transaksi Ju’alah. Berangkat dari riwayat di atas, Syekh Sulaiman al-Bujairimi menjelaskan:


قال الزركشي ويستنبط منه جواز الجعالة على ما ينتفع به المريض من دواء أو رقية وإن لم يذكروه وهو متجه إن حصل به تعب وإلا فلا أخذا مما يأتي شرح م ر 


Artinya, “Imam az-Zarkasyi berkata, ‘Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bolehnya menarik upah dari hal yang dapat bermanfaat bagi orang sakit baik berupa obat atau ruqyah bila mengobatinya terdapat kesulitan. Akan tetapi jika tidak ada kesulitan maka tidak boleh menarik upah. (Sulaiman al-Bijaurimi, Hasyiyah al-Bujairimi, 2017: juz III, h. 266) 


Dari penjelasan di atas disimpulkan, menerima upah dari pengobatan ruqyah diperbolehkan dalam Islam dengan catatan ada kesepakatan besaran upah antara kedua belah pihak sehingga, jika semisal ada praktisi yang mematok tarif fantastis sehingga memberatkan pasien makan tidak boleh. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta