Syariah

Hacking dan Doxing sebagai Begal Digital dalam Pidana Islam

Sel, 13 September 2022 | 18:00 WIB

Hacking dan Doxing sebagai Begal Digital dalam Pidana Islam

Hacking dan doxing merupakan kejahatan di era digital di mana pelaku melakukan pembobolan data.

Hacking merupakan tindakan membobol data pribadi yang dilakukan lewat media digital oleh seorang cyber crime guna mengetahui riwayat (history) selancar korban. 


Adapun doxing adalah tindakan menyebarluaskan data pribadi milik pihak lain ke muka umum - termasuk riwayat selancar media digital yang dimilikinya - untuk maksud melakukan bullying (perundungan). 


Hacking dan doxing adalah ibarat dua keping mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Terkadang pihak yang telah melakukan hacking, menjadikan data yang diperolehnya itu untuk menebar ancaman. Ancaman itu kadang juga disertai untuk meminta tebusan. Adakalanya juga disertai ancaman untuk menebar aib korban. 


Sasaran yang dikehendaki sebenarnya oleh para hacker dan doxer adalah kecemasan dan ketakutan dari para korban peselancar dunia digital. 


Ditilik dari modus operandinya, baik hacker maupun doxer, keduanya adalah menyerupai pelaku qutha’u al-thariq (begal). Dia tidak lagi bisa dikelompokkan ke dalam kejahatan sirqah (pencurian) karena illat hukum ancaman perundungan yang ditebarkannya. Kok bisa? Untuk lebih jelasnya, simak definisi dasar dari qutha’u al-thariq berikut ini!


قُطّاع الطريق … وسمي بذلك لامتناع الناس من سلوك الطريق خوفا منه، وهو مسلم مكلف له شوكة؛ فلا يشترط فيه ذكورة، ولا عدد


Artinya: “Begal jalanan (perampok) …disebut demikian karena cirinya yang menghambat manusia dari mengambah suatu jalan tertentu karena takut dengannya. Pelakunya adalah muslim, mukallaf, dan memiliki anak buah. Tidak harus dari jenis kelamin laki-laki serta terdiri dari sejumlah orang.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfazh al-Taqrib, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005, Juz 1, halaman 287).


Menurut tipenya, qathi’u al-thariq ini memiliki 4 karakteristik dasar, yaitu:


وقطاع الطريق على أربعة أقسام إن قتلوا ولم يأخذوا
المال قتلوا فإن قتلوا وأخذوا المال قتلوا وصلبوا وإن أخذوا المال ولم يقتلوا قطعت أيديهم وأرجلهم من خلاف فإن أخافوا السبيل ولم يأخذوا مالا ولم يقتلوا حبسوا وعزروا ومن تاب منهم قبل القدرة عليه سقطت عنه الحدود وأخذ بالحقوق.


Artinya, “Ada 4 macam tipe perampok, yaitu: (1) mereka membunuh namun tidak mengambil harta, maka mereka dihukum mati. (2) Jika mereka membunuh dan merampas harta, maka mereka dihukum mati dan disalib. (3) Apabila mereka merampas harta namun tidak disertai pembunuhan, maka mereka dihukum potong tangan dan kakinya secara bersilangan. (4) apabila mereka hanya menakut-nakuti orang yang lewat saja, namun tidak merampas harta serta tidak membunuh, maka mereka dipenjara dan dita’zir. Apabila mereka bertaubat, sebelum mampu menunaikan pengembalian harta, maka mereka diterima taubatnya dan gugur pidana bagi mereka, dan selanjutnya diambil hak yang wajib mereka tunaikan.” (Abi Syuja’, Matan al–Ghayah wa al-Taqrib, Tanpa Kota: ‘Alami al-Kutub, TT., halaman 39-40)


Tipe yang menyerupai tindakan hacking dan doxing adalah tipe ketiga dan keempat, bergantung pada ada atau tidaknya harta yang terambil dengan jalan menebar intimidasi. 


Jika ada harta yang terambil akibat intimidasi, maka had bagi pelakunya secara syara’ adalah dipotong kaki dan tangannya secara bersilangan. 


Pendekatan hukum menurut perspektif diyat (ta’zir bi al-maal) adalah kurang lebih memiliki rincian sebagai berikut:


Pertama, diyat tangan


وفِي اليَد خَمْسُونَ من الإبِل ولِأنَّهُما أعظم نفعا


Artinya, “Diyat untuk (kedua) tangan adalah 50 ekor onta, karena keduanya merupakan organ paling besar manfaatnya.” (Taqiyuddin al-Hishny, Kifayatu al-Akhyar fi Hilli Ghayati al-Ikhtishar, Damsyiq: Dar al-Khair, TT, halaman 464). 


Menurut ketentuan dhahir nash di atas, maka 1 tangan adalah setara dengan 25 ekor onta. Jadi, apabila seorang begal dita’zir dengan membayar diat senilai 1 tangan, maka ia harus menebusnya dengan harga senilai 25 ekor onta. Jika harga 1 ekor onta diasumsikan senilai 4500 riyal, dan 1 riyal adalah setara Rp3.964, maka harga 1 ekor onta adalah setara dengan Rp17.838.000,00. Dengan demikian, 1 had tangan, adalah setara dengan Rp17.838.000,00 x 25 ekor onta = Rp445.950.000,00, hampir setara dengan 450 juta rupiah. Untuk 2 tangan senilai kurang lebih Rp891.900.000 juta rupiah. 


Kedua, Diyat Kaki


Diyat kaki adalah separuh dari diyat tangan (12,5 unta) atau senilai Rp222.975.000. Dengan demikian, diyat sepasang kaki, adalah senilai Rp445.950.000. 


Alhasil, total denda kerugian yang bisa diterapkan kepada pelaku hacking dan doxing yang disertai dengan menebar ancaman adalah kurang lebih senilai Rp1.337.850.000,-. 


Nilai hanya merupakan angka estimasi saja ketika tidak ditemui adanya indikasi lain yang menyebabkan pemberatannya atau peringanannya. Harta yang terambil akibat kasus hacking yang disertai pemerasan atau pencurian berstatus wajib dikembalikan kepada korban. 


Ketiga, Penjara


Adapun bila dalam hacking itu tidak ada kasus pemerasan, melainkan dijual ke pihak lain sehingga membahayakan harta korbannya, maka kasusnya adalah menyerupai had pencurian (sariqah). Hudud atau pendekatan diyat hukumah, diterapkan apabila ada harta yang terambil. 


Bila tidak ada harta yang terambil, maka hakim bisa menjebloskannya ke penjara sebagai bentuk ta’dib. Pendapat ini mengikut pada jenis begal yang keempat sebagaimana tertuang dalam penjelasan Kitab Fathu al-Qarib di atas.


Walhasil, kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa hacking dan doxing adalah perilaku begal/perampok berbasis digital. Oleh karena itu tindakannya jangan didukung! Mereka adalah pelaku cyber crime yang bisa dikenai had (pidana) atau diyat (denda) pelaku quthau al-thariq


Mendukung tindakannya adalah sama dengan mendukung aksi begal dan perampok digital karena keserupaan delik tindakannya dengan begal dan perampok di dunia nyata.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim.