Qadzaf Digital: Hati-Hati Menuduh Zina di Media Sosial
NU Online · Selasa, 22 Juli 2025 | 15:00 WIB
Moh. Zainal Abidin
Kolomnis
Di era digital, siapa pun dapat dengan mudah menyampaikan pendapat, komentar, bahkan tuduhan secara terbuka melalui media sosial. Namun perlu disadari, tidak semua yang bisa dilakukan adalah sesuatu yang boleh secara hukum syariat. Salah satu dosa besar yang kian marak di dunia maya adalah tuduhan zina tanpa bukti atau dalam fiqih Islam disebut qadzaf.
Qadzaf bukan sekadar dosa personal, perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap kehormatan, yang dalam Islam digolongkan sebagai hudud, yakni pelanggaran berat yang telah ditetapkan hukumannya secara langsung oleh syariat. Apalagi jika tuduhan itu dilakukan di ruang publik yang bisa diakses ribuan orang dalam sekejap. Maka ini menjadi 'qadzaf digital', sebuah kezaliman besar yang dampaknya meluas.
Allah SWT telah menegaskan larangan menuduh berzina kepada seseorang tanpa disertai dengan bukti, dalam Surat An-Nur ayat 4 Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita terhormat (berzina), lalu mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik."
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tiga sanksi langsung bagi pelaku qadzaf:
- Dihukum 80 cambukan.
- Kesaksiannya tidak diterima di pengadilan selamanya.
- Dicap sebagai fasiq, yaitu pelaku dosa besar yang tercela.
Ulama tafsir seperti Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa qadzaf berlaku untuk pria maupun wanita, karena menjaga kehormatan diri merupakan hak universal. Bahkan, menuduh seorang laki-laki juga termasuk qadzaf jika tanpa bukti sah.
Sementara itu, Nabi Muhammad SAW memasukkan qadzaf ke dalam kelompok tujuh dosa besar yang membinasakan, beliau bersabda:
اجتنبوا السبع الموبقات... قذف المحصنات المؤمنات الغافلات
Artinya: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Mereka bertanya: “Apa saja itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap wanita-wanita mu'minah yang suci dan tidak tahu apa-apa.” (HR. Bukhari Muslim)
Qadzaf di Medsos: Lisan dan Jari yang Tak Selamat
Tuduhan zina bisa dilontarkan bukan hanya lewat lisan, tetapi juga tulisan, status, komentar, caption, bahkan gambar yang bersifat sindiran jelas. Imam An-Nawawi dalam Raudhah at-Thalibin menyatakan bahwa qadzaf bisa terjadi dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat yang dapat dipahami sebagai tuduhan zina.
ويشترط كون القذف بصريح الزنا أو نفي النسب، سواء كان بلفظ، أو كتابة، أو إشارة مفهمة، وسواء كان القاذف جادًّا أو هازلاً
Artinya: "Disyaratkan bahwa qadzaf itu berupa pernyataan zina secara terang atau penafian nasab, baik dengan ucapan, tulisan, atau isyarat yang dapat dipahami, dan berlaku baik pelakunya serius maupun bercanda." (Imam Nawawi, Raudhah at-Thalibin, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003], juz 10, hal. 62)
Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, media penyampaian tuduhan tidak membatasi status qadzaf. Selama maksud dan maknanya menunjukkan tuduhan zina atau penolakan nasab, maka itu termasuk dalam hudud qadzaf.
Dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, para ulama menegaskan bahwa qadzaf tidak terbatas pada ucapan lisan saja, melainkan bisa terjadi melalui berbagai bentuk komunikasi lain yang menyampaikan makna tuduhan zina atau penafian nasab secara jelas. Hal ini mencakup tulisan, isyarat, simbol, atau ekspresi yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai tuduhan. Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Al Majmu:
ولو كتب القذف على حائط، أو ورقة، أو أشار إليه إشارة مفهمة كان قاذفًا تجري عليه أحكام القذف، سواء كان جادًّا أو هازلاً
Artinya: “Jika seseorang menuliskan tuduhan zina di dinding, atau di atas kertas, atau memberi isyarat yang bisa dipahami (sebagai tuduhan zina), maka ia tergolong sebagai pelaku qadzaf dan berlaku atasnya hukum-hukum qadzaf, baik ia melakukannya secara serius ataupun main-main.” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Dar al-Fikr, 2000], juz 20, hlm. 127)
Selanjutnya, menurut keterangan dari Syekh al-Khatib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj menjelaskan:
ولو أشار إلى القذف إشارة مفهمة أو كتب ذلك أو رمز بما يدل عليه كان قاذفًا تجري عليه أحكامه
Artinya: “Jika seseorang menuduh zina dengan isyarat yang dapat dipahami, atau menuliskannya, atau menyimbolkan dengan sesuatu yang menunjukkan tuduhan tersebut, maka ia termasuk pelaku qadzaf dan berlaku atasnya seluruh hukum qadzaf.” (Syamsuddin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1997], juz 5, hlm. 438)
Ibnu Hajar al-Haitami juga menjelaskan dalam kitab Tuhfahtul Muhtaj:
ويتحقق القذف بكل ما يفهم منه رمي بزنا أو نفي نسب، صريحًا كان أو كناية، لفظًا أو كتابة أو إشارة مفهمة، جادًّا أو لاعبًا
Artinya: “Qadzaf dianggap terjadi dengan setiap hal yang dipahami sebagai tuduhan zina atau penafian nasab, baik secara eksplisit maupun tersirat, baik melalui ucapan, tulisan, atau isyarat yang jelas, dan berlaku hukumnya baik dilakukan secara serius maupun bercanda.” (Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfahtul Muhtaj fi Syarhl Minhaj, [Beirut: Darul Fikr, 2001], juz 9, hlm. 126)
Penjelasan ini menyiratkan bahwa bercanda pun tidak menggugurkan dosa qadzaf, jika yang diucapkan atau ditulis mengarah pada makna tuduhan zina. Maka menjadi sangat penting bagi umat Islam untuk berhati-hati dalam berkomunikasi, baik secara langsung maupun di media sosial.
Dengan demikian, menyebarkan tuduhan zina melalui komentar Youtube, TikTok, Facebook, IG, Cuitan atau repost tanpa klarifikasi, meme atau video satir dengan narasi tuduhan zina, Forward pesan WhatsApp berisi tuduhan semuanya bisa masuk kategori qadzaf jika tanpa bukti sah dan niat fitnah. Rasulullah SAW bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: “Seorang Muslim sejati adalah yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Etika Digital dan Regulasi Negara
Di Indonesia, UU ITE Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa penyebaran konten pencemaran nama baik di media elektronik bisa dipidana. Tuduhan zina tanpa bukti termasuk dalam kategori pencemaran berat. Bahkan bisa dikenai pasal fitnah, ujaran kebencian, dan perbuatan tidak menyenangkan menurut KUHP maupun UU Perlindungan Perempuan dan Anak.
Menuduh seseorang berzina tanpa bukti sah di media sosial termasuk kategori pencemaran nama baik (UU ITE Pasal 27 ayat (3), serta bisa dianggap fitnah. (UU KUHP Pasal 311/UU 1/2023 Pasal 434). Ancaman pidananya adalah penjara antara 4 sampai 9 bulan atau denda, kecuali jika termasuk fitnah, bisa lebih berat hingga 3 tahun penjara
Oleh sebab itu, qadzaf digital bukan hanya dosa besar, tetapi juga masuk dalam kategori kejahatan menurut hukum positif. MUI dan tokoh-tokoh NU melalui Risalah Surabaya 2016 telah menegaskan pentingnya menjaga akhlak digital dan menghindari dosa bermedsos.
Menjaga Jari, Menyelamatkan Diri
Menjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari menjaga agama. Sebab, Islam bukan hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia. Tuduhan zina bukanlah bahan guyonan, bukan pula alat balas dendam, apalagi konten viral yang diburu demi like dan komentar. Kita perlu mengingat sabda Nabi SAW:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dunia yang serba cepat dan digital, kita butuh keteguhan hati dan ketenangan jari. Jangan biarkan gawai kita jadi alat menebar fitnah. Sebab, fitnah itu kejam, dan qadzaf itu haram. Qadzaf adalah tuduhan zina tanpa bukti yang sah, dan dalam Islam termasuk dosa besar yang diancam dengan hukuman had: 80 cambukan, penolakan kesaksian, dan cap kefasikan.
Di era digital, qadzaf tidak lagi hanya dilakukan dengan mulut, tetapi bisa melalui jemari yang menulis status, komentar, atau membagikan konten yang mengandung fitnah zina. Ini dikenal sebagai qadzaf digital, dosanya sama beratnya dan bahkan bisa meluas dampaknya ke publik luas.
Selain haram menurut syariat, qadzaf digital juga berpotensi melanggar hukum positif seperti UU ITE dan KUHP. Karena itu, umat Islam wajib menjaga kehormatan sesama dan tidak menjadikan media sosial sebagai tempat menyebar fitnah dan kebencian.
Mari berhati-hati dalam berkata dan menulis, baik di dunia nyata maupun maya. Sebab, lisan digital (jari-jemari kita) akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sebaiknya kita mengisi media sosial dengan dakwah, ilmu, dan kebaikan, bukan dengan fitnah dan kehancuran. Wallahu a’lam
H. Moh. Zainal Abidin, Khodimul Ma’had Al-Muayyad Surakarta, Wakil Rois Syuriyah PCNU Surakarta
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua