Syariah

Hari Hak Asasi Binatang: 5 Cara Rasulullah Memuliakan Mereka

Jum, 13 Oktober 2023 | 14:00 WIB

Hari Hak Asasi Binatang: 5 Cara Rasulullah Memuliakan Mereka

Hewan peliharaan kucing. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Hari Hak Asasi Binatang (Animal Rights Day) merupakan hari yang sangat spesial bagi sekalian binatang. Sebab, di hari itulah komitmen manusia atas hak-hak binatang sebagai makhluk Tuhan kembali dikukuhkan secara formal setelah sekian musim terabaikan. Dan, hari spesial ini diperingati pada setiap tanggal 15 Oktober. Dahulu, kasih sayang kepada binatang telah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw sekitar 14 abad silam. Tentunya, ajaran-ajaran itu masih lestari hingga hari ini; dalam sikap para ulama yang benar-benar mewarisi akhlak baginda Nabi, dalam banyak riwayat hadist, dan juga pastinya dalam kitab suci Al-Qur’an. 


Rasulullah, Manusia Universal Penyayang Binatang

Di tulisan singkat ini, penulis bermaksud merangkum bagaimana akhlak atau cara Rasulullah saw memuliakan para binatang. Melalui beberapa riwayat hadits diharapkan membantu kita semua memahami bagaimana interaksi baginda Nabi dengan dunia fauna, dalam kapasitasnya sebagai manusia universal, yang diutus dalam misi rahmatan lil ‘alamin (penebar kasih sayang untuk jagat semesta).


Apalagi, menyimak pernyataan imam al-Barizi yang menyatakan bahwa baginda Nabi Muhammad saw tidak hanya diutus untuk seluruh umat manusia saja-baik yang hidup sejak zaman Nabi Adam as sampai hari kiamat nanti, tetapi juga untuk seluruh makhluk; untuk flora, fauna, bebatuan, pasir, tanah dan seterusnya. Pendapat ini dikutip syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Kasyifatussaja fi Syarhi Safinatinnaja ([Al-Haramain Jaya Indonesia, 2013], hal. 08). 


Wajah universalitas baginda Nabi sebagai rasul untuk seluruh makhluk, terutama untuk kelompok fauna dalam hal ini, tercermin dari bagaimana keluhuran akhlaknya memperlakukan mereka. Di antaranya adalah sebagai berikut:


Pertama, larangan memberi tanda di wajah binatang.


Bagi Rasulullah, wajah adalah anggota tubuh yang terhormat. Tidak hanya pada manusia, wajah binatang pun patut mendapat kehormatan yang sama. Sehingga, baginda Nabi sangat marah ketika melihat binatang yang di wajahnya diberi tanda. Sayyidina Jabir ra dalam riwayatnya menyebutkan:


أنّ النبي صلى الله عليه وسلم مرّ عليه بحمار قد وسم في وجهه، فقال: أما بلغكم أني قد لعنت من وسم البهيمة في وجهها أو ضربها في وجهها


Artinya, “Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lewat (di suatu tempat) dan melihat seekor keledai yang di wajahnya terdapat tanda. Lalu, Nabi bersabda, ‘Apakah kalian tidak pernah mendengar saya melarang keras orang-orang yang memberi tanda di wajah binatang atau memukul wajahnya?’.” (Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman as-Sijistani, [Maktabah al-‘Ashriyah, Baerut] juz 03, hal. 26)


Kedua, larangan membunuh binatang sebagai hiburan.


Sebagaimana baginda Nabi menjunjung tinggi hak hidup seluruh manusia, ia juga menjaga hak hidup bagi makhluk-makhluk yang lain. Tak terkecuali binatang. Terbukti, baginda Nabi tegas melarang siapa pun yang membunuh binatang tanpa tujuan yang benar (bi ghairi haqq(in)) alias sebagai hiburan saja. Dalam Hadits riwayat Sayyidina Jabir disebutkan:


نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقتل شيء من الدواب صبرا


Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membunuh binatang sebagai hiburan.” (Shahih Muslim, Abu al-Husain Muslim al-Qusyairi, [Dar Ihya’ at-Turast al-‘Arabi, Baerut] juz 03, hal. 1550)


Muhammad bin Ali al-Etiobiya, seorang pakar hadits, ahli fikih, juga seorang ushuly asal Etiopia, Afrika Timur, dalam karyanya al-Bahrul Muhith at-Tsajjaj fi Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj memaknai kata shabr(an) di atas sebagai berikut:


ومعنى صَبْرِ البهائم أن تُحْبَسَ وهي حيّةٌ لتُقتَل بالرمي ونحوه


Artinya, “Makna shabrul baha’im adalah saat kau menahan satu binatang untuk maksud dibunuh baik dengan cara dilempar atau pun yang lain.” (Al-Bahrul Muhith at-Tsajjaj fi Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Muhammad bin Ali al-Etiobiya [Dar Ibni al-Jauzi, Riyadh], juz 33, hal. 306)


Dari makna ini, wajar bila syekh Ali Jum’ah secara lebih tegas memaknai dengan Tuhbasu lil qatli ‘abats(an) (ditahan untuk dibunuh sebagai hiburan). (Al-Bi‘ah wa al-Hifadhz ‘alaiha min Mandhzur(in) Islamiy(in) ([al-Wabil as-Shayyib, Mesir, 2009] hal. 109)


Ketiga, Rasulullah memarahi pemilik unta


Suatu hari, Abdullah bin Ja’far menceritakan kenangannya bersama Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan. Sebuah kenangan, di mana waktu itu ia dibonceng baginda Nabi, berjalan menanjak satu tempat yang tinggi dan menyusuri kebun kurma. Hingga, sampailah mereka di satu kebun milik salah seorang dari kaum Anshar. Di sana baginda Nabi melihat seekor unta. Ketika si unta mengetahui ada baginda Nabi di sana, ia pun merintih seolah sedang mengadukan sesuatu, seraya kedua matanya berkaca-kaca dan perlahan meneteskan air. 


Lalu, baginda Nabi pun menghampiri dan mengelus tulang di belakang telinganya. Kemudian baginda Nabi dengan nada memanggil, menanyakan siapa pemilik unta tersebut. Tak lama kemudian, datang seorang dari kaum Anshar, mengakui bahwa dialah pemiliknya. Baginda Nabi pun dengan nada serius menyampaikan kekecewaannya. Ia menasehati:


أفلا تتقي الله في هذه البهيمة التى ملكك الله إياها؟ فإنه شكا إليّ أنك تجيعه وتدئبه


Artinya, “Apakah kau tidak bertakwa kepada Allah dengan (menunaikan hak-hak) hewan yang Dia karuniakan untukmu? Baru saja dia mengadu kepadaku bahwa kau hanya mempekerjakannya tanpa memberinya makan.” (Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman as-Sijistani, [Maktabah al-‘Ashriyah, Baerut] juz 03, hal. 23)


Keempat, proporsional dalam memperkerjakan binatang


Di antara keluhuran akhlak Rasulullah saw terhadap kelompok fauna adalah saat ia memperkerjakan para binatang secara proporsional. Baginda Nabi tidak pernah memberi beban di atas kemampuan mereka. Tidak hanya itu, bahkan baginda Nabi selalu menjaga agar jangan sampai muncul kesan pemaksaan saat mempekerjakannya. Dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan:


إِذَا ‌سَافَرْتُمْ ‌فِي ‌الْخِصْبِ فَأَعْطُوا الْإِبِلَ حَقَّهَا، وَإِذَا سَافَرْتُمْ فِي الْجَدْبِ فَأَسْرِعُوا السَّيْرَ، فَإِذَا أَرَدْتُمُ التَّعْرِيسَ فَتَنَكَّبُوا عَنِ الطَّرِيقِ


Artinya, “Jika kalian dalam sebuah perjalanan berkendara (baik menggunakan kuda, unta, keledai atau yang lain) menyusuri tempat yang rimbun, tunaikanlah hak untamu (atau lainnya) yang kau kendarai itu (dengan memberinya makan dan atau porsi istirahat). Tetapi, jika kalian menyusuri tempat yang tandus, percepatlah perjalanan kalian. Kalau pun bermaksud istirahat, maka menjauhlah dari jalan (dan carilah tempat yang nyaman).” (Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman as-Sijistani, [Maktabah al-‘Ashriyah, Baerut] juz 03, hal. 28)


Kelima, bersikap ihsan walau saat menyembelih.


Bersikap ihsan kepada binatang, rupanya tidak hanya dalam kondisi normal. Bahkan, saat hendak dan tengah menyembelihnya pun harus tetap berlaku ihsan. Sekilas memang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin saat menyembelih tetap bisa disebut berlaku baik. Bukankah penyembelihan itu selalu berkonsekuensi menyakitinya?


Jawabannya, tepat demikian. Penyembelihan memang selalu berkonsekuensi menyakiti hewan sembelihan. Dan, di sinilah ketelitian sikap luhur baginda Nabi Muhammad saw. Dengan kasih sayangnya yang teramat besar terhadap binatang, membuat baginda Nabi mampu melihat sisi ihsan dalam penyembelihan hewan. Dan, sisi ihsan ini setidaknya terangkum dalam tiga hal yakni sejak sebelum menyembelih, cara menyembelih dan alat yang digunakan menyembelih.


Dalam riwayat Syaddad bin Aus, Rasulullah bersabda:


إِنَّ ‌اللهَ ‌كَتَبَ ‌الْإِحْسَانَ ‌عَلَى ‌كُلِّ ‌شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ


Artinya, “Sungguh, Allah mewajibkan kita berlaku ihsan dalam segala hal; jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan (jangan lupa) tajamkanlah pisaumu terlebih dahulu, dan percepatlah penyembelihanmu.” (Shahih Muslim, Abu al-Husain Muslim al-Qusyairi, [Dar Ihya’ at-Turast al-‘Arabi, Baerut] juz 03, hal. 1548)


Syekh Ali Jum’ah dalam karyanya al-Bi‘ah wa al-Hifadhz ‘alaiha min Mandhzur(in) Islamiy(in) ([al-Wabil as-Shayyib, Mesir, 2009] hal. 109) berhasil memaknai kata ihsan dalam hadits di atas. Ia  mengatakan, Al-ihsan fiha ikhtiyaru ashuli at-thuruq wa aqalliha ilam(an) (Sikap ihsan dalam penyembelihan, maknanya adalah memilih cara menyembelih yang paling mudah dan yang paling potensial meminimalisir rasa sakit).


Dan, cara penyembelihan yang ihsan ini diatur sejak sebelum menyembelih. Yaitu dengan anjuran menajamkan pisau terlebih dahulu. Tujuannya, agar penyembelihan berjalan lancar dan cepat. Tidak melambat hanya karena pisau yang tak tajam, yang tentunya akan memberi rasa sakit lebih kepada hewan sembelihan. Pendek kata, proses penyembelihan yang lama, akan membuatnya semakin sakit. 


Dari lima butir contoh keluhuran akhlak Rasulullah ini, tentu tak ragu lagi bahwa Nabi Muhammad saw adalah insan universal penyayang binatang yang mesti diteladani. Kesimpulan ini, tanpa terelakkan, juga berdampak pada kesimpulan yang lebih tinggi, bahwa, Islam adalah agama yang cinta fauna. Rupanya, Islam sudah jauh lebih dahulu memperingati Hari Hak Asasi Binatang. Wallahu a’lam bisshawab.


Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo, tinggal di Lombok Tengah.