Syariah

Hikmah di Balik Teguran Allah terhadap Nabi yang Membakar Kawanan Semut

Jum, 23 Desember 2022 | 09:00 WIB

Hikmah di Balik Teguran Allah terhadap Nabi yang Membakar Kawanan Semut

Seorang nabi yang digigit seekor semut membakar sarang semut yang berisi banyak semut. (Ilustrasi: freepik).

Allah pernah menegur seorang nabi-Nya yang melakukan pelanggaran. Padahal, mereka tergolong hamba terpandang di sisi-Nya. Namun, tetap saja Dia menegurnya karena dianggap tak pantas, walaupun pelanggaran itu sifatnya sepele. Hal itu seperti yang dikisahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui riwayat Al-Bukhari (nomor 2319) dan Muslim (nomor 2241) dari Abu Hurairah. 


نَزَلَ نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ تَحْتَ شَجَرَةٍ، فَلَدَغَتْهُ نَمْلَةٌ، فَأَمَرَ بِجَهَازِهِ فَأُخْرِجَ مِنْ تَحْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَ بِبَيْتِهَا فَأُحْرِقَ بِالنَّارِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ: فَهَلَّا نَمْلَةً وَاحِدَةً


Alkisah ada seorang nabi yang singgah di bawah pohon. Tiba-tiba, seekor semut menggigitnya. Maka nabi memerintah agar barang bawaannya dikeluarkan di bawah pohon tersebut, lalu meminta agar rumah semut yang menggigit itu dicari kemudian dibakar. Saat itulah Allah menurunkan wahyu kepadanya, “Mengapa tidak satu ekor semut saja (yang dibakar)?”  


أَنَّ نَمْلَةً قَرَصَتْ نَبِيًّا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَأَمَرَ بِقَرْيَةِ النَّمْلِ فَأُحْرِقَتْ، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: أَفِي أَنْ قَرَصَتْكَ نَمْلَةٌ أَهْلَكْتَ أُمَّةً مِنَ الْأُمَمِ تُسَبِّحُ؟


Ada seekor semut yang menggigit seorang nabi. Saat itu pula, sang nabi memerintah untuk mencari sarang semut tersebut lalu dibakar. Maka Allah menurunkan wahyu kepadanya, “Apakah hanya karena seekor semut yang menggigitmu itu engkau harus membinasakan suatu umat yang senantiasa bertasbih?” 


Benar adanya Allah pernah menegur seorang nabi yang telah membakar satu perkampungan semut hanya karena salah satu di antara semut tersebut menggigitnya. “Apakah hanya karena seekor semut yang menggigitmu itu engkau harus membinasakan suatu umat yang senantiasa bertasbih? Mengapa tidak satu semut saja yang dihukum?”  


Secara tidak langsung Allah hendak menyatakan, “Bukankah pada hari kiamat, seorang hamba akan ditanya pertanggungjawaban atas perbuatannya meski hanya membunuh seekor burung kecil, namun bukan haknya.”  


Prinsip keadilan mengatakan, “Janganlah menghukum sekelompok orang tak berdosa hanya karena kesalahan satu orang.” Demikian pula dalam perkara semut ini. Jangan menghukum semut-semut tak berdosa, hanya karena kesalahan satu ekor semut saja. Mestinya yang dijatuhi hukuman adalah semut yang menggigit saja. Itu pun bukan hukuman api atau dibakar. Sebab, hukuman itu hanya milik Allah di akhirat.  


Di sebutkan pula dalam hadits di atas, seperti makhluk-makhluk yang lain,  semut juga termasuk makhluk dan umat Allah yang senantiasa bertasbih dan menyucikan-Nya. Karenanya, manusia tidak boleh melampaui batas kepada mereka kecuali memang mereka mengganggunya.


Atas dasar itu pula Allah menegur nabi-Nya karena telah bertindak berlebihan, yakni menghukum semut-semut yang tak bersalah hanya karena kesalahan satu ekor.  


Dari kisah di atas, dapat dipetik selaksa pelajaran, di antaranya:  


1. Kita tidak diperbolehkan membunuh sesama makhluk walaupun hanya seekor semut kecuali memang makhluk itu mengganggu atau membahayakan. Dalam hadits jelas dilarang membunuh semut, lebah, burung hudhud, atau burung lainnya, sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud.


Dikecualikan lima jenis hewan yang membahayakan. Ini boleh dibunuh. Kelima hewan tersebut, seperti yang diinformasikan al-Bukhari, ialah tikus, kalajengking, gagak, burung rajawali, dan anjing galak.   


Termasuk kelima binatang yang boleh dibunuh, sebagaimana perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah cecak. Bahkan, menurutnya,  membunuh cecak mendapat pahala. Begitu pula dengan segala jenis ular selain ular yang biasa turut tinggal di rumah. Maka ular-ular yang biasa tinggal di rumah seperti itu tidak boleh dibunuh hingga diizinkan terlihat sebanyak tiga kali. Jika terlihat lebih dari itu, maka ia boleh dibunuh. 


2. Membakar makhluk yang masih hidup tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan alasannya, yaitu hanya Allah yang boleh memberikan hukuman dengan api. Namun demikian, mungkin saja tindakan itu diperbolehkan dalam syariat nabi-nabi terdahulu. 


3. Layaknya makhluk-makhluk yang lain, semut pun selalu bertasbih kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan hadits. Bahkan, Allah sendiri telah menginformasikan dalam Al-Quran bahwa segala sesuatu, termasuk benda-benda mati, selalu bertasbih dan memuji kepada-Nya, Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka,(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 44). 


4. Sebagaimana diinformasikan hadits di atas, semut juga termasuk salah satu umat Allah. Bahkan ditegaskan-Nya, burung-burung dan hewan-hewan lainnya juga termasuk umat seperti kita. Mereka juga akan dibangkitkan dan dihimpun layaknya manusia, sebagaimana firman-Nya, Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan, (QS. al-An‘am [6]: 38). 


5. Berdasarkan bunyi hadits “Mengapa tidak satu ekor semut saja (yang dibakar)?” kita diajarkan untuk bersikap jeli dan obyektif dalam melihat kesalahan. Kesalahan dari satu ekor semut tidak kemudian membuat kita boleh menumpahkan kemarahan kepada kawanan semut lainnya.  


6. Jika mengganggu atau membunuh semut kecil saja tidak boleh—jika tidak sesuai dengan kesalahannya—apalagi mengganggu atau membunuh manusia, terlebih sampai membakarnya dengan api. Jika melakukan kerusakan kecil saja dilarang, apalagi melakukan kerusakan besar. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, halaman 165). Wallahu ‘alam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.