Syariah

Hukum Berkurban dengan Hewan Hamil

Ahad, 25 Juni 2023 | 16:00 WIB

Hukum Berkurban dengan Hewan Hamil

Hukum Berkurban dengan Hewan Hamil. (Foto: NU Online/Freepik)

Kurban merupakan salah satu ibadah sunnah sangat dianjurkan dalam Islam (sunnah muakkad). Kurban biasa dilakukan oleh umat Islam yang mampu satu kali dalam setiap tahunnya, tepatnya pada hari raya Idul Adha. Karenanya, tidak heran jika sebagian besar umat Islam cukup familiar dengan istilah yang satu ini.


Adanya anjuran berkurban dalam Islam merupakan bentuk syukur kepada Allah swt atas segala nikmat yang telah diberikan. Itulah sebabnya, daging hasil kurban harus dibagikan kepada orang lain sebagai bentuk saling berbagi dan membantu antara satu dengan yang lainnya. Anjuran-anjuran kurban sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadits nabi, di antaranya yaitu:


إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)


Artinya, “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS Al-Kautsar [108]: 1-2).


مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا


Artinya, “Siapa saja yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).


Syarat-syarat hewan kurban

Anjuran kurban sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan memiliki kriteria dan syarat-syarat khusus yang harus terpenuhi. Artinya, hewan yang sah untuk dijadikan kurban memiliki beberapa ketentuan tersendiri. Tidak semua hewan bisa memenuhi syarat dan kriteria tersebut. Di antara syaratnya adalah kurban harus berupa hewan ternak, seperti unta, sapi, dan kambing.


Syarat lain di antaranya adalah usianya sudah mencapai umur yang telah ditentukan dalam syariat, yaitu: (1) Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk 6 tahun; (2) Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3; dan (3) kambing harus berumur 1 tahun dan telah memasuki tahun ke-2.


Selain itu, syarat yang lain juga tidak boleh berupa hewan yang cacat seperti hewan yang matanya jelas-jelas buta, fisiknya dalam keadaan sakit, kakinya pincang, serta badannya kurus dan tidak berlemak. (Syekh Taqiyuddin ad-Dimisyqi, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, [Darul Khair: 1994], juz 1, halaman 528).


Itulah sebagian dari beberapa syarat hewan kurban yang harus terpenuhi. Jika tidak, maka kurbannya tidak sah. Lantas, bagaimana jika berkurban dengan hewan yang sedang hamil? Apakah termasuk dari bagian hewan yang cacat, sehingga tidak sah hukumnya. Atau justru tidak termasuk dari bagian tersebut sehingga hukumnya sah? Mari kita bahas.


Berkurban dengan hewan yang hamil

Berkurban dengan hewan yang hamil pada prinsipnya tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah. Karena hamil pada dasarnya bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada hewan, yaitu sangat kurus ketika sudah melahirkan, bahkan daging janin yang ada dalam kandungan tidak bisa menjadi penambal kekurangan daging hewan yang hamil. Hewan kurban yang hamil sama halnya dengan hewan pincang yang gemuk, sekalipun memiliki daging yang sangat banyak, namun tidak bisa menutup kekurangan pincang yang diderita hewan.


Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Sa’id Muhammad Ba’asyin al-Hadrami dalam salah satu karyanya, yaitu:


وَلَا يَجُوْزُ التُّضْحِيَّةُ بِحَامِلٍ عَلىَ الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْباً كَعَرْجَاءَ سَمِيْنَةٍ


Artinya, “Tidak boleh berkurban dengan hewan yang hamil menurut pendapat yang mu’tamad, karena kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, sedangkan bertambahnya daging disebabkan janin tidak dapat menutup kekurangan, seperti binatang pincang yang gemuk.” (Sayyid Sa’id, Syarh Muqaddimah al-Hadramiyah al-Musamma Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Darul Minhaj: 2004], halaman 698).


Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Sykeh Sulaiman al-Bujairami dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa hewan yang hamil tidak sah untuk dijadikan kurban, karena dengan kehamilan bisa mengurangi dagingnya,


وَالْحَامِلُ فَلَا تُجْزِئُ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا وَإِنَّمَا عَدُّوهَا كَامِلَةً فِي الزَّكَاةِ ، لِأَنَّ الْقَصْدَ فِيهَا النَّسْلُ دُونَ طِيبِ اللَّحْمِ


Artinya, “Hewan hamil tidak cukup (tidak sah dijadikan kurban), dan ini menurut pendapat yang mu’tamad, karena hamil bisa mengurangi dagingnya. Dan sesungguhnya para ulama menilai sempurna (hewan hamil) dalam bab zakat, karena tujuan di dalamnya adalah keturunan bukan daging yang enak.” (Syekh al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Minhaj: tt], juz XIII, halaman 232).


Selain dua pendapat ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya yang berjudul Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, (Maktabah at-Tijariyah al-Kubra: tt), juz 8, halaman 81, juga mengatakan tidak sah. Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj (Beirut, Darul Fikr: tt), juz V, halaman 254, juga mengatakan tidak sah, serta semua mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah lainnya.


Karena hewan hamil tidak sah dijadikan kurban, jika sudah terlanjur untuk berkurban dengannya, maka hukumnya tetap halal yang penting memenuhi syarat-syarat penyembelihan. Hanya saja daging yang dibagikan tidak berstatus kurban, namun berstatus sedekah biasa dan tetap mendapatkan pahala sedekah.


Kendati demikian, terdapat ulama yang menilai dan berpendapat bahwa hewan hamil yang dijadikan kurban hukumnya tetap sah. Pendapat ini sebagaimana disahihkan oleh Imam Ibnu Rif’ah, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Zakaria al-Anshari dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:


وَفِي الْمَجْمُوْعِ عَنِ الْاَصْحَابِ مِنْعُ التُّضْحِيَّةِ بِالْحَامِلِ، وَصَحَّحَ اِبْنُ الرِّفْعَةِ الْاِجْزَاءَ


Artinya, “Dan dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzab dari pengikut mazhab Syafi’iyah, melarang kurban dari hewan yang hamil, dan Imam Ibnu Rif’ah mensahihkan bahwa kurban hewan hamil dianggap cukup (sah).” (Syekh Zakaria, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajit Thullab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1418], juz II, halaman 328).


Kendati pendapat yang sahih menurut Imam Ibnu ar-Rif’ah itu boleh, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah, dengan argumen bahwa janin terkadang belum bisa sampai pada batas waktu yang bisa dimakan. Sehingga janin yang ada dalam perut hewan kurban tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak bisa menutupi kekurangan hewan kurban yang hamil. (Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma;ani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VI, halaman 128).


Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa berkurban dengan hewan yang hamil hukumnya tidak sah, karena status kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, dan janin yang ada di dalamnya tidak bisa menutupi kekurangan tersebut. Namun demikian, Imam Ibnu ar-Rif’ah mensahihkan bahwa kurban dari hewan yang hamil hukumnya sah, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.