Syariah

Hukum Menjarah Harta Orang yang Sedang Terkena Musibah

Rabu, 5 Februari 2025 | 16:30 WIB

Hukum Menjarah Harta Orang yang Sedang Terkena Musibah

Menjarah orang yang sedang terkena Musibah (NU Online).

Musim penghujan selalu membawa kekhawatiran tersendiri, bukan hanya karena potensi bencana alam, tetapi juga risiko kecelakaan di jalanan yang licin. Para pengendara dituntut untuk lebih berhati-hati, terutama di jalur yang menurun dan menikung.
 

Seperti yang terjadi pada Minggu malam (26/1/2025) sekitar pukul 23.30 WIB di Kampung Banjarmasin, Kecamatan Baradatu, Kabupaten Way Kanan, Lampung. Sebuah mobil pick up yang mengangkut durian terguling akibat jalan licin setelah hujan deras. 
 

Bukannya membantu, warga sekitar justru berbondong-bondong menjarah durian yang berserakan. Tidak hanya itu, uang tunai Rp 1,5 juta serta STNK milik sopir pun raib di tengah kekacauan. 
 

Sungguh ironis ketika kemalangan seseorang justru menjadi kesempatan bagi orang lain untuk mengambil keuntungan. Sebuah kecelakaan yang seharusnya menjadi momen kepedulian dan tolong-menolong justru berubah menjadi ajang penjarahan.  
 

Lantas bagaimana hukum menjarah harta orang lain yang sedang terkena musibah? 
 

Islam adalah agama kasih sayang (rahmah) dan sangat mengecam segala bentuk tindakan tidak bermoral serta tidak berperikemanusiaan, termasuk menjarah harta orang lain yang sedang terkena musibah. Dalam ajaran Islam, mengambil, memanfaatkan, atau menguasai harta milik orang lain tanpa izin adalah perbuatan yang diharamkan. Rasulullah saw bersabda:
 

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
 

Artinya, “Tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR Ad-Daraquthni).
 

Hadits ini menegaskan bahwa kepemilikan seseorang itu dilindungi, dan mengambil hak orang lain tanpa izin atau kerelaannya adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
 

Penjarahan termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam sangat melarang tindakan ini.  Allah swt berfirman: 
 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ 
 

Artinya: "Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil." QS An-Nisa: 29).
 

Terkait dengan ayat di atas Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Az-Zawajir menegaskan: 
 

الْكَبِيرَةُ السَّابِعَةُ وَالثَّمَانُونَ بَعْدَ الْمِائَةِ أَكْلُ الْمَالِ بِالْبُيُوعَاتِ الْفَاسِدَةِ وَسَائِرِ وُجُوهِ الْأَكْسَابِ الْمُحَرَّمَةِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ﴾ [النساء: ٢٩] وَاخْتَلَفُوا فِي الْمُرَادِ بِهِ، فَقِيلَ الرِّبَا وَالْقِمَارُ وَالْغَصْبُ وَالسَّرِقَةُ وَالْخِيَانَةُ وَشَهَادَةُ الزُّورِ وَأَخْذُ الْمَالِ بِالْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ الْإِنْسَانِ بِغَيْرِ عِوَضٍ -إلى أن قال- وَقِيلَ: هُوَ الْعُقُودُ الْفَاسِدَةُ، وَالْوَجْهُ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ إنَّهَا مُحْكَمَةٌ مَا نُسِخَتْ وَلَا تُنْسَخُ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ اهـ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَكْلَ بِالْبَاطِلِ يَشْمَلُ كُلَّ مَأْخُوذٍ بِغَيْرِ حَقٍّ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى جِهَةِ الظُّلْمِ كَالْغَصْبِ وَالْخِيَانَةِ وَالسَّرِقَةِ، أَوْ الْهُزْؤِ وَاللَّعِبِ كَالْمَأْخُوذَةِ بِالْقِمَارِ وَالْمَلَاهِي وَسَيَأْتِي ذَلِكَ كُلُّهُ، أَوْ عَلَى جِهَةِ الْمَكْرِ وَالْخَدِيعَةِ كَالْمَأْخُوذَةِ بِعَقْدٍ فَاسِدٍ 
 

Artinya, "Dosa Besar ke-187: Memakan Harta dengan Jual Beli yang Rusak dan Berbagai Bentuk Penghasilan yang Diharamkan.
 

Allah Ta’ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil." (QS An-Nisa: 29).
 

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna "memakan harta dengan cara batil". Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud adalah riba, perjudian, perampasan, pencurian, pengkhianatan, kesaksian palsu, dan mengambil harta dengan sumpah dusta. Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diambil dari seseorang tanpa adanya imbalan.
 

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah akad-akad yang rusak (al-'uqud al-fasidah).
 

Pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa ayat ini tetap berlaku dan tidak akan dihapus hingga Hari Kiamat. Sebab, larangan memakan harta dengan cara batil mencakup segala bentuk perolehan yang tidak sah, baik dengan cara kezaliman seperti perampasan, pengkhianatan, dan pencurian; dengan cara permainan dan hiburan yang terlarang seperti perjudian dan permainan sia-sia; maupun dengan cara tipu daya dan penipuan seperti transaksi yang rusak (akad fasid)." (Az-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair, [ Beirut, Darul Fikr: 1407 H], juz I, halaman 383). 
 

Walhasil, menjarah harta orang lain yang sedang tertimpa musibah adalah perbuatan yang tidak bermoral dan merupakan bentuk kezaliman yang hukumnya haram. Tindakan ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil, yang jelas dikecam dalam Islam dan termasuk dosa besar. Selain melanggar syariat, perbuatan tersebut juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
 

Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita semua dijauhkan dari tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Amin. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.