Syariah

Hukum Niat Ihram dan Miqat bagi Wanita Haid atau Nifas

Kam, 6 Juni 2024 | 06:00 WIB

Hukum Niat Ihram dan Miqat bagi Wanita Haid atau Nifas

Wanita yang sedang berihram. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Ihram adalah berniat dalam hati untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah haji atau umrah. Dalam niat ini, disunnahkan melafalkan bacaan niat dan membaca Talbiyah setelahnya.


Ihram harus dilakukan pada waktunya. Bila ihram haji, maka harus dilakukan di bulan-bulan haji yaitu Syawal, Dzulqa'dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah. Bila ada orang berihram haji di selain waktu tersebut maka menjadi ibadah umrah. Sementara ihram umrah sendiri dapat dilakukan kapan saja kecuali setelah Tahallul haji sampai Nafar dari Mina dan kecuali bagi orang yang sedang ihram haji.


Ihram dalam haji atau umrah ibarat niat berbarengan dengan takbiratul ihram dalam shalat. Dengan melakukan niat dan takbiratul ihram berarti seseorang telah shalat sehingga harus melakukan segala rukun shalat dan meninggalkan segala larangannya. Begitu juga dengan haji atau umrah. Dengan melakukan ihram berarti sudah masuk dalam rangkaian ibadah haji atau umrah sehingga harus menjauhi segala hal yang dilarang bagi orang ihram.


Ihram harus dilakukan di miqat atau sebelum memasukinya. Bagi orang yang berkehendak haji namun belum berihram hingga melewati miqat maka harus membayar dam kecuali ia kembali lagi ke miqat kemudian memulai ihram dari sana.


Dam tidak ihram dari miqat ini sama dengan dam haji Tamattu yaitu menyembelih seekor kambing. Bila tidak memungkinkan maka puasa sepuluh hari, 3 hari sewaktu kondisi ihram sebelum Arafah dan 7 hari setelah di tanah air. Bila tidak memungkinkan juga, maka berpuasa 10 hari dilakukan di rumah dengan cara 3 hari puasa kemudian dipisah empat hari ditambah masa normal perjalanan pulang haji (2 hari) kemudian puasa 7 hari.


Berkaitan dengan hal ini, Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 Syawal 1401/30 Agustus 1981 memutuskan, bila jamaah haji Indonesia langsung menuju Makkah hendaknya melakukan niat ihramnya saat pesawat terbang memasuki daerah Qarnul Manazil atau Yalamlam. Jamaah juga bisa mengambil miqat lain setelah mendapat penjelasan dari petugas pesawat udara yang bersangkutan.


Untuk memudahkan pelaksanaannya, dianjurkan agar para jamaah memakai pakaian ihramnya sejak dari lapangan terbang Indonesia tanpa niat terlebih dahulu. kemudian niat baru dilakukan pada waktu pesawat terbang memasuki daerah miqat. Tetapi jika para jamaah ingin sekaligus niat ihram di Indonesia, itu pun diperbolehkan.


Niat ihram tidak diharuskan dalam kondisi suci. Hal ini berdasarkan hadits:


الحائِضُ و النُّفَساءُ إذا أتَتَا على الوقتِ تغْتَسِلانِ و تُحْرِمانِ و تَقضيانِ المناسِكَ كلَّها غيرَ الطوافِ بالبيتِ


Artinya: "Orang yang haid dan nifas bila telah sampai waktu (yang sah untuk ihram) maka mereka mandi, berihram, dan melakukan semua amalan haji umrah selain tawaf mengelilingi Baitullah" (HR.Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abdullah bin Abbas ra. Imam Suyuthi dalam Jamius Shaghir memberi status hadits ini dengan hadits Hasan)


Dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa ketika Sayyidah Aisyah haid di Sarif (tempat sejauh 10 km dari Makkah), Rasulullah bersabda:


اصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي


Artinya: "Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang haji hanya saja engkau jangan tawaf."


Dalam hadits yang lain diceritakan bahwa Asma binti Umais ketika perjalanan sampai Dzilhulaifah melahirkan Muhammad binti Abi Bakar. Kemudian beliau mengirim orang untuk bertanya kepada Rasulullah mengenai apa yang dilakukan. Saat itu Rasulullah saw menjawab:


اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي


Artinya: "Mandilah, balutlah dengan kain, dan jhramlah." (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah).


Berdasarkan hadits-hadits di atas jelas bahwa haid tidak menghalangi untuk ihram. Orang yang sedang haid atau nifas tetap boleh berihram. Bahkan bagi mereka tetap disunnahkan mandi sebelum ihram. Mandi ini tetap sah meski sedang haid atau nifas karena bukan berfungsi untuk menghilangkan hadats namun membersihkan badan. Walau demikian, bila memungkinkan sebaiknya orang yang sedang haid atau nifas menunda ihram hingga suci seperti keterangan berikut :


والأولى لهما تأخير الإحرام إلى طهرهما إن أمكنهما المقام بالميقات ليقع إحرامهما في أكمل أحوالهما اهـ شرح م ر. 


Artinya: "Yang lebih baik bagi keduanya adalah mengakhirkan ihram sampai suci bila memungkinkan bagi mereka untuk berdiam di miqat supaya ihram mereka terlaksana dalam kondisi yang paling sempurna."(Sulaiman Al Jamal, Hasyiyah ala Manhajit Thullab [Beirut, Darul Fikr,tt.),juz 2,hal.412)


Satu-satunya amalan haji atau umrah yang harus dalam kondisi suci adalah Tawaf. Ia harus menunggu suci dulu untuk melakukan tawaf atau setidaknya melakukannya di saat darah tidak keluar dengan mengikuti pendapat sebagian ulama madzhab Syafi'i bahwa masa berhenti di antara darah haid dihukumi suci. Wallahu a'lam


Muhammad Masruhan, Khadim Pesantren Al Inayah Wareng Magelang, Jawa Tengah