Di antara ibadah-ibadah yang memiliki kesunahan adalah adzan. Bagaimana tidak bernilai ibadah, pahala dan keutamaan adzan begitu besar. Bahkan dijamin dalam hadits, bahwa manusia dan jin dan makhluk lain yang mendengar suara adzan akan menjadi saksi di hari kiamat kelak.
ย
Artinya, โKarena sesungguhnya tidak ada manusia, jin, atau suatu hal lain yang mendengar panjangnya suara muadzin kecuali ia menjadi saksi bagi muadzin tersebut di hari kiamat,โ (HR Bukhari).
Adapun sunah-sunah yang bisa dilakukan para muadzin sebagaimana disebutkan Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam Kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafiโi adalah sebagai berikut:
Pertama, menghadap kiblat. Mengapa disunahkan menghadap kiblat? Karena kiblat adalah arah yang paling baik dan juga arah yang paling mulia. Sebagaimana dikatakan oleh ulama salah maupun khalaf.
Kedua, suci dan terbebas dari hadats kecil maupun besar. Dimakruhkan bagi muadzin yang masih memiliki hadats. Terlebih bagi muadzin yang mengumandangkan adzan dalam keadaan junub sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud:
ย
Artinya, โRasulullah Saw bersabda, โSaya memakruhkan menyebut nama Allah SWT kecuali dalam keadaan suci,โ atau disebutkan dengan kata โala thaharatin.โโ
Ketiga, dengan berdiri. Hal ini didasarkan pada perintah Rasul SAW kepada Bilal agar berdiri terlebih dahulu.
ย
Artinya, โRasulullah SAW bersabda, โWahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan adzan untuk shalat.โโ
Kelima, menengok ke kanan (tidak bergerah seluruh badan, hanya kepala saja) saat mengucapkan โHayya alas shalahโ, dan menengok ke kiri saat mengucapkan โHayya alal falahโ sebagaimana disebutkan Bukhari:
ย
Artinya, โSesungguhnya Abu Juhaifah RA berkata, โAku melihat Bilal mengumandangkan adzan, kemudian aku mengamati mulutnya ke arah sini dan sini ketika adzan kanan dan kiri: โHayya alas shalah dan hayya alal falah.โโโ
Keenam, mengulang adzan, yakni seorang muadzin mengucapkan kedua syahadat secara lirih terlebih dahulu baru kemudian mengucapkannya dengan keras. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Mahdzurah dalam Sahih Muslim.
Ketujuh, tatswib, yakni mengucapkan โAs-Shรขlatu khairun minan naumโ setelah mengucapkan โHayya alal falahโ ketika adzan shalat subuh.
Kedelapan, disunahkan dikumandangkan oleh orang yang memiliki suara bagus agar menarik simpati dari masyarakat dengan harapan masyarakat tersebut tergerak untuk menuju masjid sebagaimana sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Dalam pesan Rasul tersebut disebutkan bahwa Bilal diperintah untuk adzan karena ia memiliki suara yang kuat dan indah.
Kesembilan, disunahkan muadzin adalah orang yang berakhlak baik dan terpercaya. Hal ini karena mempengaruhi kepercayaan masyarakat apakah memang benar-benar sudah masuk waktu shalat atau belum.
Kesepuluh, tidak berlaku tamthit (mencaci dan merendahkan azan), yakni dengan memanjangkan bacaan adzan terlalu panjang dan melagukan bacaan adzan seperti nyanyian. Bahkan hal ini dimakruhkan.
Kesebelas, disunahkan adzan dua kali, yakni ketika sebelum masuk waktu fajar (shalat subuh) dan sesudah masuk waktu fajar.
Keduabelas, bagi yang mendengarkan adzan, disunahkan untuk diam, khusyuk dan mengikuti serta menirukan bacaan adzan tepat setelah muadzin. Kecuali ketika โhayya alas shalah dan hayya alal falรขh,โ maka disunahkan mengucapkan โlรขhaula wa lรข quwwata illรข billรขh.โ
Ketiga belas, membaca doa dan shalawat kepada Rasul SAW setelah adzan berikut doanya:
ย
Allรขhumma Rabba hรขdzihi -daโwatit tรขmmati, wash shalรขtil-qรขimah, รขti sayyidanรข Muhammadanil washilah wal fadhรฎlah, wad darajatar rafรฎโah wab โatshu maqรขman mahmรปdanil ladzรฎ waโadtah.
Artinya, โYa Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, karuniakanlah Nabi Muhammad wasilah (tempat yang luhur) dan kelebihan serta kemuliaan dan derajat yang tinggi dan tempatkanlah dia pada kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan.โ
Sedangkan muadzin disunahkan untuk melirihkan bacaan doa dan shalawatnya.
ย
Artinya, โMuadzin membaca shalawat dan doa dengan suara yang lebih lirih dari suara ketika adzan serta terpisah setelah adzan. Sehingga orang-orang tidak mengira bahwa doa dan shalawat yang dibaca tersebut bagian dari lafaz adzan,โ (Lihat Mustafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafii, [Damaskus: Darul Qalam, 1992] halaman 119). Wallahu aโlam. (Muhammad Alvin Nur Choironi)
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
6
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
Terkini
Lihat Semua