Syariah

Keharaman Nikah Beda Agama dalam Kajian Ushul Fiqih

Ahad, 26 Mei 2024 | 11:00 WIB

Keharaman Nikah Beda Agama dalam Kajian Ushul Fiqih

Keharaman nikah beda agama dalam kajian ushul fiqih (freepik).

Pernikahan beda agama selalu menjadi isu hangat untuk diperbincangkan.Terlebih banyaknya orang yang masih menganggap pernikahan beda agama adalah hal yang diperkenankan oleh negara dan agama.
 

Dalam hukum positif, sah atau tidaknya sebuah pernikahan dikembalikan kepada ajaran agamanya masing-masing. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1).
 

Jika merujuk pada fiqih Islam, maka status pernikahan beda agama secara umum adalah haram dan tidak sah. 
 

Perlu diketahui, bahwa hukum haram nikah beda agama tidak serta merta ada. Namun terbentuk melalui dalil-dalil yang diproses oleh suatu disiplin ilmu, yaitu fiqihd dengan basis kajian ushul fiqih, kemudian melahirkan hukum tersebut.
 

Apabila ditinjau dalam kajian  ushul fiqih, setidaknya ada beberapa kaidah ijmaliyah (umum) yang menjadi cikal bakal hukum haram nikah beda agama.
 

1. Takhsisul ‘Amm

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221, Allah swt berfirman:
 

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
 

Artinya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu; dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).
 

Ayat ini dengan jelas menegaskan keharaman muslim dan muslimah menikah dengan orang yang musyrik. Akan tetapi, siapakah yang dimaksud dengan “musyrik” dan “musyrikat” dalam ayat?
 

Sekiranya ada dua pendapat mengenai makna “musyrik” dan “musyrikat”.
 

Pertama, maknanya ialah seluruh orang yang tak beragama Islam, baik itu Watsani (penyembah berhala) ataupun ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). (Muhamad Amin Al-Harari, Hadaiqur Ruh wa Raihan, [Beirut, Daru Tauqin Najah: 2001 M], jilid III, halaman 288).
 

Berangkat dari pendapat ini, laki-laki muslim ataupun wanita muslimah tak boleh melangsungkan pernikahan beda agama. Hanya saja, perempuan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani dikhususkan dan dikecualikan dari hukum ini dengan surat Al-Maidah ayat 5:
 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
 

Artinya, “(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS Al-Maidah: 5).
 

Ayat ini dengan gamblang membolehkan pernikahan seorang muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Sehingga keumuman Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dibatasi dengan surat Al-Maidah ayat 5. Dalam kajian ushul fiqih pola semacam ini dikenal dengan istilah takhsisul ‘amm.
 

Kedua, kelompok ini cenderung membedakan antara laki-laki musyrik dan perempuan musyrikah. Laki-laki musyrik adalah mereka yang menyekutukan Allah, meliputi penyembah berhala dan Ahli Kitab. Sedangkan perempuan musyrikah, mereka hanyalah penyembah berhala, tidak termasuk perempuan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani. Hal demikian sebagaimana paparan Syekh Nawawi Al-Jawi:
 

ولا تتزوجوا المشركات بالله إلى أن يؤمن بالله بأن يقررن بالشهادة ويلتزمن أحكام الإسلام، هذا مقصور على غير الكتابيات ... ولا تزوجوا الكفار ولو كانوا أهل كتاب المؤمنات حتى يؤمنوا
 

Artinya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang menyekutukan Allah, hingga mereka beriman kepada Allah dengan cara mengucapkan syahadat dan sanggup mematuhi hukum-hukum Islam. Namun, ini hanya berlaku pada wanita selain Ahli Kitab … Dan janganlah menikahkan laki-laki kafir meskipun mereka Ahli Kitab dengan perempuan muslimah hingga mereka beriman.” (Nawawi Al-Jawi, Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiah: 1417 H], jilid I, halaman 76).

Bertolak dari makna seperti ini, maka metode takhsisul ‘amm tidak berlaku, karena setiap ayat memiliki maknanya masing-masing.
 

2. Ijma’

Ijma’ adalah metode pengambilan hukum berdasar pada mufakat para ulama di suatu zaman setelah wafatnya Rasulullah saw. Karakteristik dari metode ijma' adalah memiliki sifat yang qath’i (pasti), sehingga apabila suatu hukum telah ditetapkan berdasarkan ijma’ maka tidak boleh untuk ditentang. (Asif Abdul  Qadir Jailani, Riyadhatul ‘Uqul fi Idhahi Ghayatil Wusul, [Tarim, Daruz Zahabi: 2012 M], jilid III, halaman 259-278).
 

Pernikahan beda agama jika dilihat dari perspektif ijma’, maka kurang lebih terbagi menjadi tiga bagian, sebagaimana berikut:
 

a. Laki-laki kafir termasuk dalamnya ahli kitab

Ijma’ telah memutuskan bahwa hukum perempuan muslimah menikah dengan mereka adalah haram. Hal itu seperti yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami:
 

يحرم بالإجماع زواج المسلمة بالكافر
 

Artinya, “Haram hukumnya pernikahan muslimah dengan seorang kafir berdasar ijma’.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr], jilid IX, halaman 6652).

 

b. Perempuan kafir selain ahli kitab

Ijma’ telah menetapkan bahwa hukum pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan kafir selain ahli kitab juga berstatus haram. Berikut ungkapan syekh Abdullah Al-Gumari:
 

الخلاصة : حرمت آية البقرة نكاح المشركات عامة، ووقع عليه إجماع العلماء
 

Artinya: “Kesimpulan: Ayat 221 dari surat Al-Baqarah mengharamkan pernikahan Muslim dengan semua wanita musyrik (selain Ahli Kitab), dan ijma’ ulama telah memutuskan itu.” (Abdullah bin Muhammad  bin As-Siddiq Al-Gumari, Mausu’atul Allamah Al-Muhadits Al-Mutafannin Sayyid Syarif Abdullah bin Muhammad bin As-Siddiq Al-Gumari Al-Hasani, [ Kairo, Darus Salam: 1438], jilid XI, halaman 46).
 

c. Perempuan kafir dari kalangan ahli kitab

Ulama berbeda pandangan antara mengharamkan dan menghalalkan tentang masalah ini. Namun, Syekh Abdullah Al-Gumari menerangkan bahwa ahli kitab dapat dinikahi selama mereka tidak memerangi umat Islam. (Al-Gumari, XI/48-51).
 

3. Saddud Dzari’ah

Saddud dzari’ah merupakan proses pengambilan hukum dengan cara menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Musthafa Dibil Bugha, Atsarul Adillah Al-Mukhtalaf fiha,[Damaskus, Darul Imam Al-Bukhari], jilid II, halaman 572).
 

Tak bisa dipungkiri bahwa pernikahan beda agama menjerumuskan muslim dan muslimah pada kerusakan agama. Wanita muslimah bisa saja masuk dalam agama suaminya yang kafir, karena tabiat wanita adalah mengikuti suami. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqaf was Syunil Islamiah: 1427 H], jilid XXXV, halaman 27).
 

Adapun laki-laki muslim yang menikah dengan wanita kafir, maka bisa jadi anak yang lahir akan masuk dalam agama ibunya. Karena kebiasaan anak selalu cenderung kepada ibunya. (Al-Gumari, XI/53).


Simpulan

Inilah beberapa metode dan kaidah ijmaliyah dalam kajian ushul fiqih yang digunakan ulama Islam dalam mengharamkan pernikahan beda agama.
 

Sejatinya masih ada lagi sejumlah kaidah yang mereka gunakan dalam permasalahan ini. Sebut saja rukhsah, nasakh, al-‘am urida bihil khas, tarjih antara ayat dan lain sebagainya. Hanya saja, tak sedikit ulama yang menolaknya.
 

Akhirnya, pernikahan beda agama dengan segala bentuk dan macamnya adalah pernikahan yang diharamkan dan tidak sah. Penentuan keharamannya kadang disepakati dan kadang juga diperdebatkan. Akan tetapi, mayoritas ulama mengunggulkan pandangan yang mengharamkan. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhamad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff Yaman