Sirah Nabawiyah

Nikah Beda Agama, 3 Wanita Muslimah Ini Cerai dari Suaminya

Sab, 12 Maret 2022 | 15:00 WIB

Nikah Beda Agama, 3 Wanita Muslimah Ini Cerai dari Suaminya

Perkawinan beda agama terjadi sebelum turunnya ayat 10 surat al-Mumtahanah yang melarangnya..

Pernikahan beda agama wanita muslimah yang terjadi pada masa awal Islam tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalkan pernikahan seperti itu di masa sekarang, sebab hal itu terjadi sebelum turunnya ayat 10 surat al-Mumtahanah yang melarangnya. Berikut ini 3 wanita muslimah generasi sahabat yang cerai dari suaminya karena nikah beda agama.  


1. Subai’ah bintil Harits al-Aslami

Perjanjian Hudaibiyah, tahun ke-6 setelah hijrah, baru saja usai. Rasulullah saw beserta 1.400 kaum muslimin pun pulang ke Madinah mengurungkan niat umrah karena perjanjian tersebut. Di tengah perjalanan pulang itulah Suabi’ah bin al-Harits istri Musafir al-Makhzumi, versi riwayat lain istri Shaifi bin ar-Rahib, menyusul kaum muslimin dan menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah saw. 


Mengetahui istrinya lari menyusul kaum muslimin, suaminya yang masih dalam kekufuran bersama serombongan kaum musyrikin menyusulnya, segera menemui Rasulullah saw. 


“Hai Muhammad, kembalikan istriku. Sungguh dalam perjanjian tadi kamu telah sepakat untuk mengembalikan siapa saja dari golongan kami yang mendatangimu. Tinta perjanjian ini pun belum kering,” protesnya kepada Rasulullah saw. 


Sebenarnya Rasulullah saw hendak mengembalikan Subai’ah kepada suaminya, namun saat itu pula turun ayat 10 surat al-Mumtahanah yang melarangnya, “Lâ hunna hillul lahum wa lâ hum yahillûna lahunn,” artinya wanita muslimah tidak halal bagi lelaki kafir dan lelaki kafir otomatis tidak boleh menikahi wanita muslimah. Sebab keislamannya Subai’ah tidak lagi halal menjadi istri atau otomatis terceraikan dari suaminya yang masih dalam kekufuran. 


Akhirnya Subai’ah ikut rombongan kaum muslimin dan tinggal di Madinah. Kelak di Madinah ia kemudian menikah dengan Sa’d bin Khaulah. (Mar’i bin Yusuf al-Karami, Qalâidul Marjân fi Bayânil Nâsikh wal Mansûkh fil Qur’ân, [Kuwait, Dârul Qur’ânil Karîm, 1400 H], halaman 207-208), Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîzis Shahâbah, [Beirut: Dârul Jîl, 1412 H], juz  VII, halaman 690).


2. Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Mu’aith

Kisah serupa juga dialami Ummu Kultsum sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab kumpulan hadits shahih karyanya, al-Jami’ as-Shahîh. Ia melarikan diri ke Madinah, lari dari suaminya Amru bin al-‘Ash yang masih dalam kekufuran di Makkah. 


Mengetahui Ummu kultsum melarikan diri ke Makkah, kedua saudaranya yaitu al-Walid dan ‘Amarah menyusulnya. Di Madinah mereka menemui Rasulullah saw untuk mengajak pulang Ummu Kultsum ke Makkah. Lagi-lagi Rasulullah menegaskan bahwa Ummu Kultsum tidak boleh diajak pulang, sebab ia tidak halal lagi menjadi istri bagi suaminya yang masih dalam kekufuran. Kemudian di Makkah ia menikah dengan Zaid bin Haritsah. (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1421 H/2001 M], juz XXIX, halaman 265-264), dan (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz VII, halaman 454), dan (al-Asqalani, al-Ishâbah, juz  VIII, halaman 219).


3. Umaimah binti Bisyr

Selain itu, ada Umaimah binti Bisyr istri dari Hassan bin ad-Dahdahah, ia lari dari suaminya yang saat itu masih kafir. Umaimah lari ke Madinah dan oleh Rasullullah saw dinikahkan dengan Sahl bin Hanif. Ia termasuk wanita yang cerai dari suaminya karena turunnya ayat 10 surat al- Mumtahanah yang mengharamkan wanita muslimah menjadi istri lelaki nonmuslim. (Al-Asqalani, Fathul Bâri, juz V, halaman 348), dan (al-Asqalani, al-Ishâbah, juz  VII, halaman 508).


Nah setelah mengetahuinya, bukankah kita semakin paham, bahwa setelah turun ayat 10 surat Al-Mumtahanah, maka wanita muslimah tidak boleh lagi menikah beda agama dengan lelaki nonmuslim? Karenanya bila nekat melakukannya maka pernikahannya tidak sah, dan hubungan yang terjalin bukan hubungan pernikahan, tetapi hubungan perzinaan. Wallâhu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.