Nikah/Keluarga

Hukum Nikah Beda Agama

Kam, 6 Oktober 2022 | 21:30 WIB

Hukum Nikah Beda Agama

Menikah berbeda agama selalu menuai polemik di tengah masyarakat.

Banyak pernikahan beda agama di Indonesia dilakukan secara diam-diam atau terang-terangan, bahkan dicatatkan dalam dalam data kependudukan sebagai pasangan yang terdaftar. Namun heboh soal nikah beda agama setelah ada putusan Pengadilan Negeri Surabaya.


Putusan untuk mengizinkan pencatatan nikah beda agama ini ditetapkan dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby". Alasannya karena adanya  kekosongan hukum, demi  Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghindari kumpul kebo. Padahal saat yang bersamaan ia telah melanggar hukum yang berlaku, tidak memenuhi HAM dan melegalkan kumpul kebo.


Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di bagian Bab hak untuk berkeluarga dan melanjutnya keturunan pasal 10 dikatakan, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” 


Adapun ketentuan undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa sahnya peerkawinan apabila sesuai deangan hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ini jelas tidak sesuai ajaran agama Islam yang melarang pernikahan beda agama. 


Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan beda agama.  


Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.


Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum agama yang dipeluknya. Bagi yang beragama Islam maka acuan sah dan tidaknya suatu perkawinan adalah berdasarkan ajaran agama Islam.


Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan". Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragam Islam.


Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam". Pasal 61 disebutkan: "Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien."


Tentu undang-undang dan peraturan perkawinan itu menyerap dari hukum Islam. Surat al-Baqarah ayat 221 Allah SWT melarang pernikahan beda agama dan sama sekali tak membuka peluang disahkan:


‎وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن ࣖ - ٢٢١


Artinya, “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).


Adapun  sebab  turun ayat 221 ini, menurut riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi anak seorang  wanita Quraisy yang miskin tapi cantik yang dulu menjadi kekasihnya sebelum masuk Islam, namun masih musyrikah. Sedangkan Ibnu Abi Martsad adalah seorang Muslim. Rasulullah SAW melarang sahabatnya untuk menikahinya. Lalu Allah menurunkan ayat ini. (Tafsir Al-Baghawi).


Ibnu Katsir mengulas tafsir ayat di atas, bahwa Allah SWT mengharamkan bagi orang mukmin menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala. Lalu ayat ini menggeneralisir hukum haramnya menikah dengan orang musyrik dari kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) dan Watsaniyah (penyembah berhala). Akan tetapi Ibnu Katsir mengecualikan pernikahan orang muslim dengan perempuan Ahli Kitab dengan landasan  ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah Surat al-Maidah ayat 5:


‎اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ - ٥


Artinya, “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5). 


Ayat ini memberi peluang pernikahan beda agama, yaitu bagi laki-laki muslim boleh menikah dengan Ahli Kitab. Menurut Syekh at-Thanthawi dalam Kitab Al-Wasith, yang dimaksud Ahli Kitab dalam ayat ini ialah Yahudi dan Nasrani.


Al-Nawawi menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’i, laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab sucinya. Sementara menurut tiga mazhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali, bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama Ahli Kitab tersebut telah dinasakh (diubah).


Sahabat Abdullah bin Umar dan sebagian sahabat lainnya menyatakan, bahwa haram dan tidak sah menikah dengan Ahli Kitab karena mereka telah mengubahnya dan menyatakan bahwa Allah SWT adalah yang ketiga dari ketiga tuhan (trinitas). Maka sebenarnya mereka telah menyekutukan Allah SWT (syirik) dalam aqidah. Mereka menakwil kepada makna yang lebih dekat, ialah boleh menikah dengan Ahli Kitab di zaman turunnya ayat ini belum banyak perempuan muslimah sehingga diberi dispensasi oleh Allah SWT. Sedangkan zaman sekarang sudah banyak perempuan muslimah maka hilang dispensasi itu dan hukumnya haram menikah dengan Ahli Kitab.


Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:


‎يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ - ١٠


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”. (QS. Al-Mumtahanah: 10).


Menurut At-Thabari ayat di atas menjelaskan tentang perjanjian Rasulullah saw dan kaum musyrik Mekkah di Hudaibiyah, bahwa setiap orang yang datang dari mereka harus dikembalikan kepada kaum musyrik Mekkah. Lalu ketika ada perempuan yang datang dari musyrik Mekkah dikecualikan jika setelah diuji ternyata ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka perempuan itu tidak boleh dikembalikan kepada kaum musyrikin Mekkah. Sebab orang mukmin tidak halal menikah dengan perempuan orang kafir dan orang muslimah tidak halal dinikahi oleh laki-laki kafir.


Majelis Ulama Indonesia nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama sebagai berikut: - Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. - Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.


Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan  dalam Muktamar Ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.


Sedangkan organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih Ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau Ahlul Kitab, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
- Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. - Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah SWT, dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani). - Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. - Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.


Simpulannya, pernikahan beda agama antara wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim hukumnya tidak sah menurut kesepakatan para ulama salaf dan khalaf. Pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dan wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada yang melarangnya. Namun ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah bersepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslimah. 


Dari uraian di atas yang memaparkan dari berbagai perspektif, mulai dari rujukan tafsir, fiqih, peraturan perundang-undangan, dan sosial keagamaan dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat pernikahan beda agama antara pasangan laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang musyrik atau musyrikah hukumnya tidak sah dan haram.


Begitu juga ulama sepakat bahwa pernikahan perempuan muslimah dengan musyrik, kafir atau Kitabi hukumnya tidak sah dan haram. Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) ada perbedaan pendapat antara para ulama zaman salaf, namun ulama kontemporer khususunya ulama-ulama yang tergabung pada organisasi-organisasi Islam di Indonesia bersepakat hukum nikah beda agama secara mutlak tidak sah dan haram.


KH M Cholil Nafis, Dosen Hukum Islam PSKTTI Universitas Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta