Syariah

Kewajiban Menolong Korban Kecelakaan

Sel, 26 Januari 2016 | 15:01 WIB

Masyarakat kota identik dengan individualitas dan masa bodoh dengan kehidupan orang lain. Sikap ini bisa dilihat dari struktur bangunan rumah mereka. Hampir sebagian besar rumah perkotaan dipagari dengan besi dan tembok tinggi. Tidak ada yang bisa masuk kecuali lapor terlebih dahulu kepada penjaganya. Bahkan antara satu rumah dengan rumah yang lain tak saling kenal.

Jika dilihat lebih dalam, sebenarnya sikap masa bodoh ini muncul dari adanya kekhwatiran terhadap diri sendiri ketika hendak menolong orang lain. Misalnya, ketika ada orang teriak maling dan ingin menolong orang yang perhiasannya sedang ingin dicuri orang lain, bisa jadi yang dipukuli nantinya adalah orang yang berteriak dan  ingin menolong itu, sebab kejahatan di kota sudah teroganisir dengan rapi dan baik. Akibatnya, orang-orang jadi takut ketika ingin menolong orang lain, termasuk menolong orang yang sedang kecelakaan.

Sebagian kita mungkin pernah merasakan dan menyaksikan, ketika ada yang kecelakaan, penontonnya lebih banyak ketimbang orang yang menolongnya. Bahkan, usaha untuk menolong korban kecelakan terkesan lambat, karena masyarakat malu-malu dan takut untuk menolong. Takut dimintai kesaksian oleh polisi dan urusan dengan polisi itu akan menganggu aktivitas dan kesibukannya.

Perilaku semisal ini tidak dibenarkan dalam fikih. Ketika melihat korban kecelakaan, seharusnya segera ditolong. Menyelamatkan nyawa orang lain termasuk perbuatan yang mulia. Kita boleh tidak menolong orang lain ketika pertolongan tersebut dapat membahayakan diri kita sendiri. Akan tetapi, selagi tidak membahayakan atau bahayanya tidak terlalu parah, maka diwajibkan untuk menolong.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syaukani dalam kitabnya as-Sailul Jarar al-Mutadaffiq ‘alal Hada’iqil Azhar:

لا شك أن إنقاذ الغريق من أهم الواجبات على كل قادر على إنقاذه فإذا أخذ في إنقاذه فتعلق به حتى خشي على نفسه أن يغرق مثله فليس عليه في هذه الحالة وجوب لا شرعا ولا عقلا فيخلص نفسه منه

Tidak diragukan lagi bahwa menolong orang yang tenggelam adalah sebuah keniscayaan dan kewajiban bagi setiap orang yang mampu menolongnya. Apabila ada kekhwatiran di dalam dirinya akan terjadi bahaya, seperti ia akan tenggelam seperti korban, maka secara syariat dan akal dia tidak wajib untuk menolongnya.

Berdasarkan penjelasan ini, menolong orang yang nyawanya sedang terancam adalah kemestian atau kewajiban. Hal ini tentu tidak dibatasi pada kasus korban tenggelam saja, tapi korban apapun perlu dibantu ketika dia memang kesusahan, terlebih lagi jika nyawanya sedang dipertaruhkan.

Namun jika pertolongan tersebut akan membahayakan diri kita, maka tidak diwajibkan untuk memberi pertolongan. Bahaya yang dimaksud di sini adalah bahaya berat, bukan bahaya ringan. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)